Pakar HTN Nilai SKMA Nomor 73 Rugikan Peradi Dan Harus Dicabut

| Rabu, 11 Desember 2019 | 16.41 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid menilai, Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 73/KMA/HK.01/01/2015 terkait pengangkatan seorang Advokat merugikan Peradi sebabagai organisasi advokat. Fahri kemudian meminta agar SK yang diterbitkan MA tersebut dicabut.

Hal tersebut disampaikan Fahri saat menjadi pembicara seminar nasional bertajuk "Meningkatkan Profesionalitas Advokat Sebagai Officium Nobile Untuk Mendukung Kinerja Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan”. Seminar ini berlangsung di Aula DPRD Provinsi Sematera Selatan, Sabtu (7/12/2019).

Selain Fahri, seminar tersebut juga menghadirkan pembicara lainnya, Pembina Peradi Otto Hasibuan, dan Kabiro Hukum Pemorov Sumsel H. Ardani

Dalam kesempatan itu, Fahri memaparkan panjang lembar perihal problematika yang merugikan organisasi advokat karena adanya SK MA. Menurut Fahri, SK MA No. 73 tersebut tidak ada keharusan hukum serta mandat undang-undang yang mendasari serta memerintahkannya.

Jidi jika dilihat dari optik teori perundang-undangan, Fahri menegaskan, maka tidak ada legitimasi yuridisnya sama sekali, apalagi cuman diatur dalam bentuk surat administrasi biasa, sehingga sulit secara hukum untuk setiap orang ingin men “challenge” kepengadilan, dan tidak cukup tersedia kanal penyelesaian sebagai upaya “ajudikasi” kepengadilan, dan sejujurnya ini adalah sesuatu “Beleeid” hukum yang kurang sehat dalam sebuah negara hukum yang demokratis.

”SK MA No. 73 itu secara faktual merugikan Peradi sebagai “organ negara” yaitu dalam rumpun “independent state organ” yang juga melaksanakan fungsi negara, yang mana Peradi mempunyai 8 kewenangan sesuai undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Jadi itu yang harus dicabut oleh MA. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 itu sendiri sudah cukup mengakomodir kebutuhan hukum masyarakat. Misalkan advokat dalam melakukan pendampingan, memberikan bantuan hukum secara Cuma-cuma, pelayanan hukum kepada masyarakat, akses to justice kepada pencari keadilan, semua itu bisa di atasi oleh Peradi. Secara organisatoris Peradi kan punya perangkat-perangkat itu sampai ke daerah-daerah, sampai ke pelosok-pelosok gitu,” ujar Fahri, Rabu (11/12/2019).

Disebutkan Fahri, SKMA No 73 yang dikeluarkan MA tersebut tidak memiliki bentuk hukum yang jelas, ia bukan peraturan yang bersifat “Regeling”. SKMA No. 73 itu hanya “Beleeid” hukum pimpinan Mahkamah Agung RI. Sehingga menurut Fahri, SKMA No.73 itu tidak memiliki daya ikat secara yuridis dan tidak mempunyai implikasi hukum apapun dari segi muatan materi peraturan perundang-undangan.

Oleh karena ia tidak tergolong dalam hirarkis peraturan perundang-perundangan sebagaimana diatur UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan yang telah dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011.

“Jadi secara yuridis sebenarnya bermasalah SKMA No. 73 itu, sebab ia bukan bentuk hukum yang secara hirarkis disebutkan dalam UU RI No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga secara nyata-nyata  bertentangan dengan norma UU RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Jadi itu yang barangkali harus direvisi," katanya.

Fahri berujar, idealnya Ketua MA RI segera mencabut SKMA No.73/KMA/HK.01/01/2015 ini karena ia menjadi kewajiban konstitusional kepada MA untuk mempedomani Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XVII/ 2018. yang telah mengatur dengan cukup baik tentang tugas dan kewenangan Peradi.

Disebutkan Fahri, putusan MK itu telah mengatur eksistensi Peradi dengan segala atribusi kewenangannya secara proporsional, dan karena putusan MK tersebut memberikan mandat serta rekomendasi konstitusional kepada semua pihak yang berkepentingan, baik MA RI, Pemerintah, maupun Organisasi Advokat itu sendiri.

"Sehingga dengan demikian, lanjut Fahri, kebijakan hukum yang dikeluarkan dalam bentuk apapun, menjadi wajib berpedoman pada spirit konstitusional sebagaimana telah digariskan oleh MK dalam putusan itu," tandasnya.

Menurut Fahri, secara ketatanegaraan, MK berulang kali telah berbicara dalam berbagai putusan sekaitan dengan kedudukan Peradi sebagai wadah tunggal, artinya Peradi sebagai satu-satunya wadah Organisasi Advokat berdasarkan Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Dan eksistensi Peradi, lanjut Fahri, berkali kali telah dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, yang salah satunya adalah Putusan MK No. 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006 yang menyatakan bahwa “Organisasi Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara”.

"Dan terahir MK kembali putuskan serta tegaskan eksistensi yuridis serta konstitusional Peradi dalam Putusan MK No. 35/PUU-XVII/2018, sehingga secara terminologi hukum putusan “a quo” merupakan “vaste jurisprudentie” dan mempunyai derajat
“Expressive verbis” untuk dilaksanakan dan mengikat untuk semua pihak, hal tersebut wajib ditaati sebagai konsekwensi supremasi konstitusi," papar Fahri. (BSI)
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI