Fahri Bachmid: Instruksi Mendagri Soal Protokol Kesehatan Tak Bisa Berhentikan Kepala Daerah

| Jumat, 20 November 2020 | 03.37 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com -  Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar  Fahri Bachmid mengatakan, instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penegakan Protokol Kesehatan tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk memberhentikan kepala daerah. Sebab, menurutnya, instruksi Mendagri terkait pengendalian penyebaran Corona Virus Diesase tersebut bukan produk hukum yang berisi perangkat norma atau kaidah “rechtsregel” yang mempunyai sifat memaksa.


"Instruksi Mendagri No.6/2020 bukan fasilitas hukum untuk pemberhentian kepala daerah. Pada hakikatnya suatu instruksi merupakan perintah atau arahan untuk melakukan suatu pekerjaan atau tugas atau petunjuk dari atasan kepada bawahan jika dalam sebuah lingkungan instansi atau jabatan. Dengan demikian secara teoritis Beleeid atau Instruksi itu bukan merupakan produk yang bersifat hukum yang pada dasarnya memuat perangkat norma dan kaidah," ujar Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya, di jakarta, Jumat (20/11/2020).


Menurut Fahri Bachmid, dalam teori perundang-undangan, instruksi tidak berada dalam struktur dan hirarkis peraturan perundang-undangan, dan jika mengacu pada UU RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, khususnya ketentuan Pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis dan hirarki peraturan perundang undangan terdiri dari : a. UUD NRI Tahun 1945; b. Ketetapan MPR; c. UU/Perpu; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f.Perda Provinsi; g. Perda kab/kota, dengan demikian maka Beleeid selain dari jenis perundang undangan seperti yang diatur oleh UU PPP adalah bukan bersifat “regeling”/mengatur yang dapat mengatur sanksi ataupun larangan terhadap sesuatu.


"Terkait dengan materi muatan instruksi sepanjang berkaitan dengan sanksi pemberhentian kepala daerah yang diangap serta dapat dikualifisir melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya UU RI No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU RI No. 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular; dan serta berbagai peraturan derifatif dari UU tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah kurang proporsional serta cenderung eksesif," katanya.


Disebutkan Fahri, ada semacam surplus kebijakan yang pada akhirnya instruksi tersebut sulit dan tidak dapat di eksekusi  karena tidak sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri. Menurutnya, jika dilihat dari optik hukum tata negara, proses pengisian kepala daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi dengan mengedepankan prinsip daulat rakyat. Dengan begitu, lanjut Fahri, secara teoritik proses pemberhentian kepala daerah tentunya melalui mekanisme yang melibatkan rakyat yaitu lembaga perwakilan (DPRD). Secara khusus prosudur pemberhentian kepala daerah telah diatur sedemikian rupa dalam UU RI No. 23 Tahun 2014 khususnya ketentuan norma pasal 79 sampai dengan pasal 82 terkait Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. 


"Secara teknis yuridis, konstruksi pranata Pemakzulan (impeachment) kepala daerah yaitu melalui pintu DPRD setempat dan kemudian diajukan kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD apakah kepala daerah atau wakil kepela daerah itu dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban,atau MA memeriksa dugaan pelanggarannya menurut hukum," tukasnya.


Untuk itu, Fahri menegaskan bahwa secara konstitusional, tindakan pemberhentian kepala daerah hanya dapat dilakukan dengan alasan hukum berdasarkan putusan Mahkamah Agung, serta prosudur yang ketat berkaitan dengan proses Pemakzulan Kepala Daerah sebagaimana telah diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Pemberhentian seorang kepala daerah harus “pure” berdasarkan postulat-postulat hukum, dan tidak bisa secara politis, karena itu sangat bertentangan dengan prinsip negara demokrasi konstitusional dan negara hukum yang demokratis.


"Sehingga saya berpendapat bahwa Instruksi Mendagri bukan merupakan suatu instrumen serta fasilitas hukum yang memadai untuk melakukan tindakan pemberhentian kepala daerah, karena materi muatan hukum mengenai pemberhentian kepala daerah adalah materi UU, bukan materi kebijakan teknis yang derajatnya dibawah UU. Saya melihat UU No.23/2014 cukup jelas mengatur kebutuhan hukum terkait hal yang demikian, sehingga tidak perlu difasilitasi dengan instrumen/beleeid berupa instruksi, sebab nantinya akan berpotensi menimbulkan berbagai prasangka serta tafsir yang berbeda-beda ditengah masyarakat, yang pada ahirnya menguras energi bangsa ini dengan ragam perdebatan yang destruktif," tutup Fahri. (BSI)


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI