Hikmah Kebijaksanaan dalam Komunikasi Politik

| Rabu, 30 November 2022 | 05.39 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Catatan ini agar aktual, tidak "melangit" maka diambil contoh dua tokoh yang sedang banyak diperbincangkan. Pertama adalah Jokowi dan yang kedua adalah Anies Baswedan


Kemampuan artikulatif,  Jokowi (saya tidak ingin menggunakan kata "buruk, rendah"), selevel dengan masyarakat awam. Keunggulan pola komunikasi seperti ini adalah mudah dipahami orang awam, orang yang kurang literasi, "miskin narasi" atau malas membaca karya-karya yang muatannya dikenal dengan istilah "sophisticated". 

Keunggulannya adalah, pesan yang disampaikan mudah diterima "orang awam" tanpa perlu mikir panjang. Kekurangannya adalah, orang awam tidak diajak mikir, sehingga tidak meningkat kecerdasannya. Begitulah selama Jokowi jadi Presiden, pola komunikasi politiknya tidak memberi konstribusi bagi peningkatan pola pikir masyarakat berpendidikan rendah. Alih-alih masyarakat berpendidikan "rendah" itu akan memperoleh semacam "legitimasi" bahwa apa yang mereka pahami sudah benar, karena sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Jokowi sebagai Presiden.

Seorang "yang bijaksana",   akan keluar dari dalam dirinya kebijaksanaan, ketika berhadapan dengan pihak lain (secara theory mesti demikian). 

Jika berhadapan dengan para filosof ia akan berkomunikasi dalam bahasa yang lazim digunakan kalangan filosof. Jika berkomunikasi dengan akademisi ia mengeluarkan narasi dengan pendekatan akademik yang ilmiah, sebagaimana kelaziman kalangan akademisi, jika berhadapan dengan kalangan awam, ia akan berkomunikasi sebagaimana orang awam berkomunikasi. 

Yang nampak pada kebiasaan Jokowi adalah yang terakhir, komunikasi dengan orang awam. Itu juga kita bisa liat dari cara dia berkomunikasi di forum G20 kemarin, misalnya saat mempersilahkan para tamu negara dari G20 menikmati hidangan dengan kalimat "i hope not to spicy" (saya harap tidak terlalu pedas). Tentu ada makna dibalik pesan itu, tapi kalangan awam pun akan mengerti apa yang dimaksud.

Dan begitulah yang kita saksikan selama Jokowi memimpin. Baik saat masih jadi Walikota, Gubernur hingga jadi Presuden. Sama saja ia dalam berkomunikasi, seolah tidak terjadi peningkatan dari sisi literasi sama sekali. Apa Jokowi malas membaca buku? Entahlah, (saya tidak tahu).  Tapi begitulah yang kita saksikan, baik ketika bicara dengan orang awam, dengan para alim ulama, dengan para politisi dan negarawan, dengan para akademisi. Tidak ada distingsi, tidak ada difrensiasi yang dilakukan. Akibatnya, para akademisi, para folosof, para negarawan ketika berhadapan dengan Jokowi harus "meng-downgrade" juga narasi dan artikulasinya agar Jokowi bisa paham.

Dengan tidak bermaksud membanding-bandingkan, karena setiap orang memiliki apa yang ia miliki, (bukan apa yang dimiliki orang lain), nampak jelas hal itu berbeda dengan kemampuan artikulasi seorang Anies Rasyid Baswedan. 

Anies bisa mengeluarkan narasi dan mengartikulasikan suatu permasalahan secara difrensiatif, memperhatikan distingsi, dengan menyesuaikan ia sedang berhadapan dengan  audiens yang seperti apa. Jika berhadapan dengan para akademisi, politisi, agamawan (yang telah mengalami interaksi pemikiran "langit"), maka Anies akan menyesuaikan. 

Demikian pula jika Anies berhadapan dengan para Duta Besar, diplomat, ia akan gunakan bahasa yang lazim di kalangan para diplomat. Juga tentu saja Anies juga mampu berbicara dengan kalangan masyarakat awam. Semuanya telah di tunjukkan saat menjabat Gubernur DKI.

Sebab itu, bukan sesuatu yang tidak beralasan untuk menaruh harapan, bahwa jika Allah izinkan Anies memimpin Indonesia, maka Presiden Indonesia berikutnya, Insya Allah akan berbeda dengan penampilan Jokowi yang saat ini berkuasa. 

Ada harapan bahwa setelah era kegelapan, akan terbitlah renaissance baru. Setelah malam akan muncullah siang. Ada harapan bahwa Kepala Negara dan Pemerintahan juga bisa menjadi Guru Bagi Bangsanya.

Oleh: Hasanuddin
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI
 
BERNASINDONESIA.COM - ALL RIGHTS RESERVED