Jokowi Di Tengah Pertarungan Ideologi

| Rabu, 03 Juli 2019 | 01.57 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Pemilu presiden 2019 sudah selesai. The game is over. Putusan MK sudah final. Penetapan KPU sudah menutup pintu gerbang.

Tapi kita tahu, pertikaian politik akan terus berlanjut. Sahut- sahutan, saling kritik, saling menghujat, akan tetap mewarnai ruang publik kita hingga Pilpres 2024 nanti.

Situasi perpecahan yang kita alami kini tak akan mereda. Mengapa? Karena dibalik pertikaian kelompok politik itu, ada elemen pertikaian ideologis. Ada perbedaan soal mimpi indonesia masa depan. Ada posisi yang berseberangan soal paham kenegaraan.

Ada 4 kelompok ideologi yang ikut bertikai dalam pilpres 2019 ini. Seandainyapun terjadi koalisi antara Jokowi dan Prabowo, pertarungan 4 ideologi itu akan terus berjalan. Pertarugan ideologi hanya berhenti jika ideologi itu kehilangan pengikutnya dalam jumlah yang signifikan.

Ada 4 ideologi yang kini hidup dalam ruang publik kita.

Pertama, kita sebut saja ideologi politik reformasi. Paham ini mulai dibawa oleh Presiden Habibie ketika ia menjadi presiden pertama era reformasi. Lalu dilanjutkan Gus Dur, Megawati, SBY dan sekarang Jokowi.

Apa itu paham politik reformasi? Itu adalah varian demokrasi yang khas Indonesia. Ada kebebasan politik di sana. Berbeda dengan Orde Baru ataupun Orde Lama. Ada kebebasan ekonomi. Semua warga negara punya hak yang sama, apapun agamanya.

Tapi berbeda dengan demokrasi di barat, di Indonesia, kita punya departemen agama. Negara memberikan peran yang lebih besar pada agama, dibanding demokrasi barat.

Ini ideologi mainstrem. PDIP ada di sini. Juga Golkar. Juga kaum minoritas. Dalam pilpres 2019 tempo hari, mayoritas pendukung ideologi ini ada di kubu Jokowi.

Ideologi ini mendapat tantangan dari 3 ideologi lainnya.

Kedua, ideologi Islam Politik. Paham ini menginginkan syariat Islam lebih berperan di ruang publik. Bentuknya bisa macam- macam. Bisa Negara Islam. Bisa sistem khilafah. Bisa juga dengan nama NKRI bersyariah.

Bagi  paham ini, ideologi yang berlaku sekarang terlalu sekuler. Terlalu liberal. Terlalu memisahkan politik dari agama.

Yang menonjol dalam ideologi ini adalah FPI, HTI. Kedua ormas ini berperan signifikan dalam pilpres 2019, di belakang Prabowo.

Ketiga, ideologi “kembali ke UUD 45 Yang asli.” Paham ini tak menyetujui sistem politik ekonomi yang berlaku sekarang. Mereka menganggapnya, secara politik terlalu liberal. Secara ekonomi, terlalu memberikan ruang pada perusahaan asing.

Pelopor paham ini awalnya adalah Persatuan Purnawirawan Angkaran Darat. Di tahun 2009, tokohnya adalah letnan jendral suryadi. Mantan panglima TNI Djoko Santoso juga ada di barisan ini.

Dalam pilpres 2019, Tokoh kembali ke UUD 45 yang asli, Djoko Santoso juga berada di kubu Prabowo.

Keempat, ideologi Hak Asasi Manusia. Paham ini juga banyak mengkritik pemerintahan Jokowi karena dianggap justru karena kurang liberal. Jika islam politik menganggap pemerintahan Jokowi terlalu liberal, pendukung hak asasi justru sebaliknya: kurang liberal.

Jokowi dianggap kurang tuntas menyelesaikan isu HAM, mulai dari kasus gerakan 65 hingga pembunuhan Munir. Tokoh ideologi ini lebih banyak dari LSM.

Di tahun 2019, salah satu tokohnya memilih abstein. Harry Azhar sebagai misal, ia mengkritik keras Jokowi. Tapi ia juga tak mau membela Prabowo yang ia anggap punya catatan hitam hak asasi manusia.

-000-

Pilpres 2024 akan semakin ramai karena dua hal. Pertama 4 ideologi itu kembali bertarung. Bisa jadi keempat- empatnya lebih kuat, lebih punya pengalaman.

Kedua, yang bertarung nanti, semuanya adalah penantang. Tak ada incumbent. Jokowi tak bisa mencalonkan diri kembali. Radar LSI sudah menangkap 15 capres 2024 itu.

-000-

Saya berterima kasih banyak kepada teman teman dari Leprid, atas anugrah pada saya The Legend Award, karena saya dan LSI Denny JA ikut 4 kali memenangkan presiden berturut-turut.

Alhamdulilah. Terima kasih banyak. Saya terima hadih ini dengan dua catatan.

Pertama, adalah disclamer. Yang paling menentukan kemenangan Jokowi adalah Jokowi sendiri dan maruf. Lalu tim suksesnya dan partai pendukung. LSI hanya mengisi ruag yang kosong. Peran LSI hanyalah komplementer.

Kedua, anugrah ini tak hanya untuk saya pribadi, tapi seluruh tim kerja LSI. Kerja konsultan politik adalah kerja orkestra. Peran saya hanya sebagai dirigennya sekaligus pencipta lagu.

Tapi orkestra hanya berbunyi dan harmoni karena ada pemain piano. Ada pembunyi biola. Ada penabuh gendang.

Hadiah ini dipersembahkan untuk teman teman LSI dengan satu pesan. Apa pesannya?

Bersama kita perkuat paham politik reformasi. Semoga di tahun 2024, juga kembali terpilih presiden yang memperkuat politik reformasi.

Oleh: Denny JA
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI