Penjelasan BMKG Soal Potensi Zona Megathrust Yang Dapat Memicu Gempa Dan Tsunami di Sukabumi

| Jumat, 28 Februari 2020 | 19.13 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, menjelaskan soal potensi zona megathrust yang dapat memicu gempa dan tsunami di Sukabumi, Jawa Barat. Dia mengatakan wilayah pesisir Sukabumi secara tektonik berhadapan dengan zona megathrust Samudra Hindia, yang merupakan zona subduksi lempeng aktif dengan aktivitas kegempaan yang tinggi.

"Catatan sejarah menunjukkan bahwa wilayah selatan Jawa Barat dan Banten sudah beberapa kali terjadi gempa kuat, seperti pada 22 Januari 1780 (M=8.5), 27 Februari 1903 (M=8.1), dan 17 Juli 2006 (M=7.8)," ujar  Rahmat dalam keterangan persnya, Jumat (28/2/2020).

Menurut Rahmat, hasil kajian BMKG yang dilakukan pada tahun 2011 menunjukkan bahwa zona megathrust selatan Sukabumi memiliki magnitudo gempa tertarget yaitu M=8,7. Kajian potensi bahaya sangat penting dilakukan untuk tujuan mitigasi dan pengurangan risiko bencana, bukan untuk menakut-nakuti masyarakat, melainkan agar pemerintah daerah segera menyiapkan upaya mitigasinya secara tepat, baik mitigasi struktural (teknis) maupun kultural (non teknis).

Disebutkan juga bahwa hasil pemodelan peta tingkat guncangan gempa (shakemap) oleh BMKG dengan skenario gempa dengan magnitudo M=8,7 di zona megathrust, menunjukkan dampak gempa di Sukabumi dapat mencapai skala intensitas VIII-IX MMI yang artinya  "dapat merusak bangunan".

"Jika besaran magnitudo M=8,7 ini digunakan untuk masukan skenario model tsunami, maka wilayah Pantai Sukabumi diperkirakan berpotensi mengalami status ancaman “AWAS” dengan tinggi tsunami di atas 3 meter," katanya

Namun demikian, Rahmat melanjutkan satu hal penting yang harus dipahami oleh masyarakat bahwa besarnya magnitudo M=8,7 tersebut diatas adalah potensi hasil kajian dan bukan prediksi. Meskipun kajian ilmiah mampu menentukan potensi magnitudo di zona megathrust, tapi hingga saat ini teknologi belum mampu memprediksi dengan tepat dan akurat kapan gempa akan terjadi.

"Untuk itu, di tengah ketidakpastian kapan akan terjadi gempa yang berpotensi memicu tsunami, maka yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi dengan menyiapkan langkah-langkah kongkrit untuk meminimalkan risiko kerugian sosial, ekonomi, dan korban jiwa seandainya gempa benar terjadi," katanya.

Menurut Rahmat, penting bagi pemerintah memperhatikan peta rawan bencana sebelum merencanakan penataan ruang dan wilayah. Termasuk dalam hal ini adalah penataan ruang pantai yang aman tsunami. Perlu ada upaya serius dari berbagai pihak dalam mendukung dan memperkuat penerapan “building code” dalam membangun struktur bangunan tahan gempa.

"Adanya hasil kajian potensi bencana oleh para ahli, jangan sampai membuat masyarakat yang bermukim di dekat sumber gempa dan daerah rawan tsunami dicekam rasa takut dan khawatir," tandas dia.

Lebih lanjut, Rahmat meminta masyarakat meningkatkan kemampuan dalam memahami cara penyelamatan saat terjadi gempa dan tsunami serta mengikuti arahan pemerintah dalam melakukan evakuasi. Jalur evakuasi ataupun shelter untuk tempat penyelamatan darurat perlu disiapkan dengan memadai.

Kegiatan sosialisasi di daerah rawan juga harus digalakkan, karena dapat membuat masyarakat lebih siap dalam menghadapi bencana. Kesiapan dalam menghadapi bencana terbukti dapat memperkecil jumlah korban.

"Kepada masyarakat dihimbau agar tetap tenang dan tidak mudah terpancing isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pastikan informasi gempabumi berasal dari lembaga resmi pemerintah dalam hal ini BMKG," katanya. (BSI)

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI