Menperin: Penurunan Harga Gas Industri Topang Daya Saing Manufaktur

| Senin, 02 Maret 2020 | 00.26 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Pemerintah terus berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan daya saing industri manufaktur. Salah satu yang menjadi perhatian pemerintah saat ini dalam memacu kinerja sektor pengolahan nonmigas tersebut adalah menjaga ketersediaan bahan baku dan energi, termasuk mendorong agar harganya mampu kompetitif.

Hal itu sesuai dengan permintaan para pelaku industri di dalam negeri, misalnya agar harga gas industri bisa dipatok sebesar 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Tarif tersebut sebenarnya sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

“Harga gas industri memang harus kompetitif. Tentunya, dengan penurunan harga gas industri, akan menopang daya saing dan produktivitas di sektor industri nasional menjadi semakin baik,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Sabtu (29/2).

Menperin optimistis, apabila harga gas industri bisa ditekan hingga 6 dollar AS per MMBTU, target pertumbuhan industri manufaktur sebesar 5,3% pada 2020 akan tercapai. “Sejumlah besar industri manufaktur dalam negeri membutuhkan gas, baik sebagai energi maupun bahan baku. Karena itu, harga gas industri di Tanah Air harus ditekan agar menurunkan biaya produksi yang mendukung peningkatan daya saing,” ungkapnya.

Beberapa hal yang menjadi latar belakang pemerintah untuk mendorong penurunan harga gas industri antara lain biaya produksi, harga jual produk, serta permintaan pasar. Bagi industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, seperti industri tekstil hulu, industri petrokimia hulu, industri pupuk, industri keramik dan kaca, harga gas merupakan bagian dari struktur biaya yang cukup besar.

“Misalnya, di industri hulu tekstil yang harga gasnya 25% dari cost structure, harga gas yang sekitar USD9 hingga USD12 mmbtu saat ini menyebabkan daya saing menjadi lemah,” ungkap Agus.  Bagi sektor industri hulu, akibat tingginya harga gas industri, utilisasi produksi cenderung rendah di kisaran 45%, sehingga sebagian besar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) hulu menurunkan kapasitas produksinya.

Pada industri petrokimia, harga gas mempengaruhi 70% cost structure. Selain itu, belum adanya pasokan bahan baku ethylene, propylene, polyethylene, polypropylene, DME dan industri turunannya dari dalam negeri berpengaruh pada lambatnya pertumbuhan hilir methanol. Dari aspek perdagangan, hal tersebut menyebabkan tingginya impor bahan baku methanol dari luar negeri. Ini juga bisa menyebabkan hilangnya potensi penyerapan tenaga kerja dari tumbuhnya industri-industri di hilir, antara lain plastik, kabel, serta komponen elektronika dan otomotif.

Di sektor industri keramik dan kaca, harga gas bumi di Indonesia yang lebih mahal berakibat pada rendahnya daya saing dan meningkatkan impor keramik dan kaca. Harga gas industri untuk sektor tersebut berkisar antara 7,98 – 10,28 dollar AS per MMBTU.

Menurut Menperin, penurunan harga gas juga memiliki efek berganda, seperti peningkatan output produksi, peningkatan PDB, meningkatnya profit pada industri-industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, serta meningkatkan jumlah tenaga kerja. “Bisa disimpulkan, semakin kecil harga gas, semakin besar pula benefit yang diterima oleh semua pihak,” tegas Agus.

Peneliti senior di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, TM Zakir Machmud menyatakan, penurunan harga gas industri dalam jangka pendek dinilai dapat mengurangi penerimaan negara. Namun, dalam jangka panjang, diyakini akan memberi manfaat lebih besar bagi negara seperti dari tambahan pajak seiring pertumbuhan sektor industri.

“Harga input yang tidak kompetitif adalah isu utama di industri manufaktur. Salah satu input itu adalah energi, termasuk gas industri,” ujarnya.

Menurut Zakir, harga energi yang tidak kompetitif akan membuat harga hasil produksi industri menjadi tidak dapat bersaing. Upaya menurunkan harga gas industri dilakukan agar produk yang dihasilkan industri manufaktur dalam negeri bisa kompetitif termasuk saat harus bersaing dengan produk impor.

“Permintaan sisi industri seperti ini, kalau mau mendorong industri, jangan ditarik di depan, tetapi tariklah di belakang. Kalau harga input murah, industri bergerak. Dari situlah akan didapat tambahan perolehan pajak,” paparnya.

Zakir menuturkan, penurunan harga gas diharapkan memperbanyak transaksi seiring harga produk jadi industri yang turun. Dengan demikian, perolehan yang diterima negara melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih tinggi.

Jika masih ada perusahaan yang tidak mau menurunkan harga produknya kendati harga gas sudah turun, setoran Pajak Penghasilan (PPh) badan perusahaan itu harus naik karena marginnya tinggi. "Jadi, enggak perlu khawatir. Ujung-ujungnya tetap bisa ditangkap sama pajak. Bisa melalui PPh badan, PPN, bisa juga melalui PPh orang yang bekerja di situ,” tuturnya.

Desak penurunan harga

Pelaku industri terus mendesak agar Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dapat segera terealisasi. Melalui amanat regulasi tersebut, pemerintah menjanjikan penurunan tarif gas industri ke level 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU).

Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemicals Indonesia (Apolin) Rapolo Hutabarat meyakini, penurunan harga gas industri akan mendukung target pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen dan terwujudnya aktivitas hilirisasi di Indonesia.

“Selama empat tahun lamanya, pelaku industri oleokimia menantikan regulasi itu bisa terlaksana dan dapat diimplementasikan. Apalagi, industri oleokimia termasuk tujuh sektor industri yang masuk dalam Perpres,” paparnya.

Pada Perpres No 40/2016 menyebutkan, tujuh sektor yang mendapatkan ketetapan harga gas industri sebesar 6 dollar AS per MMBTU, yakni industri oleokimia, pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Berdasarkan data Apolin, kebutuhan gas industri oleokimia mencapai 11,7-13,9 juta per MMBTU dari 11 perusahaan anggota Apolin. Saat ini, industri oleokimia harus membayar harga gas industri rerata 10-12 dollar AS per MMBTU. Variasi harga gas untuk industri oleokimia itu bergantung lokasi dan jarak.

Dalam struktur biaya produksi, biaya gas berkontribusi sekitar 10-12 persen untuk produksi fatty acid dan sebesar 30-38 persen dalam menghasilkan fatty alcohol beserta produk turunan di bawahnya. Apabila Perpres No 40/2016 bisa dijalankan untuk industri oleokimia, dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 14.300 per dollar AS, disebutkan akan ada penghematan 47,6-81,8 juta dollar AS per tahun atau Rp0,68-1,1 triliun per tahun.

Selain itu, penurunan harga gas dinilai akan berdampak pada peningkatan investasi baru, penambahan kapasitas produksi, perluasan kesempatan kerja, dan ikut terpacunya daya saing produk-produk oleokimia lndonesia ke negara tujuan ekspor sehingga akan lebih besar perolehan devisa.

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menuturkan, penurunan harga gas akan memberikan empat dampak positif, yaitu biaya produksi turun, harga jual turun, memperkuat daya saing ekspor, dan daya beli masyarakat meningkat.

Saat ini, dikatakan Fajar, industri petrokimia mesti membeli gas sebesar 9,17 dollar AS per MMBTU. Pada tahun ini, kebutuhan gas 24 industri petrokimia mencapai 74 BBTUD (Billion British Thermal Unit per Day). “Yang harus dipahami, turunnya harga gas dapat menggerakkan industrialisasi sehingga pertumbuhan ekonomi nasional berpeluang bisa lewati 5 persen,” jelasnya.

Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik (Asaki) Edy Suyanto mengapresiasi rencana pemerintah untuk menurunkan harga gas industri menjadi 6 dollar AS per MMBTU pada April mendatang. Hal ini diyakini dapat meningkatkan utilisasi industri keramik menjadi 95% dari saat ini 65% sekaligus bakal mendongkrak daya saing produk keramik lokal.

Saat ini, Asaki memiliki 32 anggota industri keramik ubin dengan total kapasitas terpasang 537 juta meter persegi. "Tingkat utilisasi 64,5 persen atau 347 juta meter persegi pada 2019,” ujarnya. Edy menuturkan, biaya energi atau gas pada industri keramik 30-35 persen dari biaya produksi. Harga gas untuk industri keramik di Jawa bagian barat 9,16 dollar AS per MMBTU, Jawa bagian timur 7,98 dollar AS per MMBTU, dan Sumatera 9,3-20 dollar AS per MMBTU.

Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan menjelaskan, pelaku industri menunggu kepastian untuk penurunan harga gas yang diharapkan bisa segera terlaksana. Sebab, para investor meminta implementasi Perpres No 40/2016 bisa dijalankan secepatnya agar mendukung daya saing dan iklim usaha yang kondusif. (BSI)
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI