Pakar HTN Bedah Kesalahan Fatal Stafsus Presiden Andi Taufan Garuda Putra

| Minggu, 19 April 2020 | 16.09 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid, membedah kesalahan fatal tindakan Staf Khusus Presiden Andi Taufan Garuda Putra yang mengirim surat berlogo Sekretariat Kabinet Republik Indonesia kepada camat seluruh Indonesia terkait penanggulangan pandemi wabah virus corona atau covid-19.

"Surat stafsus presiden (Andi Taufan Garuda Putra) itu bercorak tranding in influence atau perdagangan pengaruh serta berpotensi maladministrasi. Jadi presiden harus meninjau dan menata kembali keberadaan staf khusus presiden agar tidak terjadi “overlapping” dengan tugas-tugas kemeterian negara atau struktur pemerintahan konfensional yang ada saat ini. Desain kelembagaan maupun pola hubungan tata kerja harus diletakan dalam bingkai kaidah-kaidah ketatanegaraan sesuai sistem pemerintahan presidensial, agar semua sumber daya “resourching” yang ada dapat berdaya guna dan berhasil untuk kepentingan kesejahteraan bangsa dan negara," ujar Fahri, melalui keterangan tertulisnya, Minggu (19/4/2020).

Jika dilihat dari prosudur serta teknis ketatanegaraan terkait dengan mekanisme kerja pemerintahan dalam sistem pemerintahan Presidensial, Fahri mengatakan, surat serta pola korespondensi semacam yang ditulis Stafsus Andi Taufan tersebut tidak dikenal dalam nomenklatur administrasi pemerintahan negara, sebagaimana diketahui dalam desain konstitusional mengenai sistem pemerintahan Indonesia.

Dalam ketentuan pasal Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan, ayat (1) “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar dan ayat (2) dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Dan untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara maka Presiden dibantu oleh para menteri-menteri yang memimpin Kementerian Negara. Hal ini berdasar pada ketentuan pasal 17 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUD NRI Tahun 1945.


Lebih detail beberapa pasal tersebut, menurut Fahri, tertuang dalam aturan, ayat (1). Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, selanjutnya ayat (2). Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Prsiden, ayat (3). Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, dan ayat (4). Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam UU.

"Dengan demikian maka jelas konstruksi kekuasaan pemerintahan negara sebagaimana diatur dalam sistem ketatanegaraan sesuai desain konstitusional yang berlaku saat ini. Dan untuk kepentingan yang lebih teknis dan operasional pembentukan kemeterian negara sesuai perintah konstitusi (ekspresif verbis) maka dibentuk UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara yang secara lebih rinci diatur tentang kedudukan, tugas pokok, fungsi susunan organisasi, pembentukan, pengubahan, menggabungkan, memisahkan dan/atau mengganti, pembubaran/menghapus kemeterian negara," katanya.

Fahri menjelaskan, secara normatif pengaturan organisasi serta tugas dan kewenangan organ kekuasaan pemerintahan negara secara positif telah diatur sedemikian rupa dalam sistem pemerintahan presidensial di negara ini.Kedudukan lembaga kepresidenan sesuai tugas kepala negara berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memang sangat vital dan strategis, sebab presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD.

"Dengan dasar itu maka sangat komprehensif serta substansial kekuasaan presiden itu, sehingga telah menjadi tradisi kekuasaan negara bahwa setiap presiden selalu membutuhkan serta mengangkat berbagai staf dukungan keahlian dari berbagai pihak, dan untuk kepentingan itu, maka dibentuk Perpres No. 17 Tahun 2012 Tentang Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden, Dan Staf Khusus Wakil Presiden sebagaimana telah di ubah dengan Perpres No. 39 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden, Dan Staf Khusus Wakil Presiden," tukas Fahri.

Dalam ketentuan Perpres tersebut, disebutkan Fahri, jelas mengatur bahwa Stafsus Presiden adalah lembaga non struktural yang dibentuk untuk kepentingan memperlancar pelaksanaan tugas presiden, melaksanakan tugas tertentu diluar tugas-tugas yang sudah diberikan oleh UU kepada Kementerian serta instansi pemerintahan konfensional. Berdasarkan Perpres No. 17 Tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 39 Tahun 2018, Staf Khusus, tugasnya dikoordinasikan dan diberikan dukungan administrasi oleh, dan bertanggung jawab kepada Sekretaris Kabinet dan stafsus bersifat operasional, yaitu melekat 24 jam bersama presiden.

Dengan begitu, Fahri menambahkan, stafsus presiden berbeda kedudukannya dengan Dewan Pertimbangan Presiden, Unit Kerja Presiden atau Kantor Staf Presiden, sehingga secara yuridis sesungguhnya eksistensi stafsus lebih bersifat ”supporting system” kerja presiden. Tidak lebih dari itu, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 20 Perpres No. 17/2012 yang menyebutkan bahwa “Staf khusus presiden dalam melaksanakan tugasnya, wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang baik dengan instansi pemerintah.

"Artinya jika memang bermaksud untuk melakukan koordinasi dengan struktur aparat pemerintahan dengan tujuan khusus untuk penanganan covid-19 maka stafsus presiden wajib berkoordinasi dengan Mendagri untuk urusan camat dan sebagainya, atau gugus tugas Covid-19 yang memang diberikan mandat khusus untuk itu, bukan sifat khusus, sebab memang UU tidak memberikan kewenangan apapun buat stafsus presiden dalam melakukan sebuah tindakan jabatan. Stafsus presiden tidak diperlengkapi dengan instrumen pengambilan kebijakan dan keputusan pemerintahan," tambah Fahri.

Fahri mengatakan pembuatan surat dan korespondensi Stafsus Presidenn kepada perangkat pemerintahan tertentu, seperti yang dilakukan Statsus Andi Taufan sangat fatal dan tidak dapat dibenarkan, sebab perbuatan Andi Taufan itu dapat dikualifisir sebagai tindakan “Trading in Influence” atau penjualan pengaruh dan berpotensi “Maladministrasi” dan melampaui kewenangan. Dan tentu tindakan Andi Taufan tersebut tidak sejalan dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor: 80 Tahun 2012 Tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah, yang mengatur bahwa lambang negara digunakan dalam tata naskah Dinas sebagai tanda pengenal atau identifikasi yang bersifat tetap dan resmi.

"Dengan demikian maka pejabat yang berwenang menggunakan kop naskah dinas jabatan dan cap jabatan dengan lambang negara adalah pejabat negara terkait, sehingga hal ini melanggar prinsip serta kaidah terkait Atribusi, Delegasi, dan Mandat sebagaimana diatur dalam norma ketentuan pasal 11, pasal 12 pasal 13 dan ketentuan pasal 14 UU RI No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Sebab stafsus Presiden tidak diberikan mandat serta kewenangan atributif seperti itu," katanya.

Fahri menegaskan bahwa idealnya setiap pejabat pemerintahan wajib mempedomani UU administarsi pemerintahan, yang mana secara mendasar dan pada hakikatnya disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelengaraan pemerintahan.

"Pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan perlindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan, sehingga instrumen hukum UU No. 30/2014 harus menjadi acuan normatif dalam urusan pemerintahan negara,agar tidak terjadi “Abuse of Power” dalam hal-hal seperti ini," tukasnya.

Menurut Fahri, "Abuse of power” pada hakikatnya adalah penyimpangan jabatan atau pelanggaran resmi, yang sifatnya melanggar hukum yang dilakukan dalam kapasitas resmi, dengan tujuan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dasar hukum yang dipakai adalah ketentuan pasal 17 ayat (1) dan (2) UU RI No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

UU/30/2014 tersebut menyebutkan bahwa : ayat (1). Badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyelahgunakan wewenang; ayat (2). Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Larangan melampaui wewenang; b. Larangan mencampuradukan wewenang dan/atau; c. Larangan bertindak sewenang-wenang.

Selanjutnya ketentuan pasal 18 ayat (2) disebutkan “ Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan mencampuradukan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2) huruf b apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan: a. di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan; dan/atau b. bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.

Kemudian Ketentuan pasal 18 ayat (3) disebutkan  “Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2) huruf c apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan, a. tanpa dasar kewenangan; dan/atau b. bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

"Dengan dasar pijakan normatif diatas maka tindakan stafsus Presiden Andi Taufan dapat dikategorikan sebagai tindakan “Penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) jo pasal 18 ayat (2) dan (3) UU RI No. 30/2014," katanya.
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI