KSPI Soroti Hilangnya UMSK, Karyawan Kontrak, dan Outsourcing di Omnibus Law

| Rabu, 30 September 2020 | 13.17 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan beberapa hal yang ditolak dari hasil pembahasan klaster ketenagakerjaan antara Panja Baleg DPR RI dengan Pemerintah. Di antaranya adalah hilangnya Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK), karyawan kontrak, dan outsourcing. 


Menurut Said  Iqbal, ketika UMSK hilang, berarti upah buruh di sektor industri yang selama ini ada UMSK, akan turun 30 persen dengan berlakunya omnibus law.  Hal ini, karena, UMSK adalah upah minum berdasarkan sektor industri, yang nilainya di atas upah minimum (UMK).


“Jumlah buruh penerima UMSK saat ini adalah puluhan juta orang. Sehingga tidak mungkin dalam satu pekerjaan dengan jumlah jam kerja yang sama akan ada buruh menerima UMK dan yang lainnya UMSK, karena akan terjadi diskriminasi,” kata Said Iqbal.


“Tidak adil, jika sektor otomotip seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara,” lanjutnya.


Karena itu, UMSK harus tetap ada. Tetapi jalan tengahnya, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja. Jadi UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK, agar ada fairnes.


Sedangkan perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Di mana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja sesuai kemampuan sektor industri tersebut. 


“Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” ujar Said Iqbal.


Hal yang lain yang dikritisi KSPI adalah berkaitan dengan karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, tanpa batasan waktu dan jenis pekerjaan. Menurut Said Iqbal, ini adalah masalah serius sekali bagi buruh.


Dengan sistem yang sekarang, bisa jadi tidak ada pengangkatan karyawan tetap. Karena pengusaha akan cenderung mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing. Ketika tidak ada karyawan tetap dan banyaknya buruh kontrak yang mudah dipecat, dengan sendirinya pesangon dan jaminan sosial seperti pensiun, hari tua, serta jaminan kesehatan akan berpotensi hilang (tidak didapatkan buruh).


Selain itu, Said Iqbal juga mempertanyakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing. Siapa yang akan membayar JKP mereka? Sebab tidak mungkin buruh membayar kompensasi kehilangan pekerjaan untuk dirinya sendiri, dengan iuran JKP yang buruh ikut mengiur? 


“Aneh kalau buruh harus membayar kompensasi dengan uangnya sendiri. Itu pun belum jelas, bagaimana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun. Berarti buruh kontrak tidak akan dapat JKP, karena dalam omnibus law di atur kompensasi buruh kontrak yang diberikan setelah bekerja selama 1 tahun,” kata Iqbal.


Apalagi buruh outsourcing. Siapa yang membayar JKP-nya? Karena mustahil agen outsourcing mau bayar JKP. Dari mana uangnya? Apalagi kalau outsourcing dikontrak agen di bawah 1 tahun atau perusahaan pengguna pekerja outsourcing mengembalikan ke agen sebelum habis masa kontraknya. Siapa yang bayar JKP-nya?  


Belum lagi, siapa yang membayar upah sisa kontrak dari karyawan kontrak dan pekerja outsourcing kalau kontraknya diputus di tengah jalan sebelum habis masa kontrak yang diperjanjikan pengusaha? Apakah pengusaha atau agen outsourcing mau bayar? 


Said Iqbal juga berpandangan, untuk saat ini tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau JKP untuk karyawan kontrak dan outsourcing dibayar negara. Bisa jebol APBN. Karena jumlah karyawan kontrak dan outsourcing itu 70% sampai 80% dari total jumlah buruh formal yang bekerja sekitar 56 juta orang, serta turn over  keluar masuk mereka sangat tinggi. Jika JKP-nya ditanggung pemerintah, darimana dananya? 


Sementara JKP yang ditanggung pemerintah, menurut kesepakatan Panja adalah JKP 9 bulan untuk pesangon karyawan tetap. Bukan JKP untuk karyawan kontrak atau outsourcing melalui agen. Bisa saja pemerintah menyetujui ini, karena tahu kalau ke depan sudah tidak ada lagi karyawan tetap.


“Satu yang pasti, dengan DPR setuju dengan karyawan kontrak dan pekerja outsourcing seumur hidup berarti no job security atau tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia. Lalu di mana kehadiran negara dalam melindungi buruh Indonesia, termasuk melindungi rakyat yang masuk pasar kerja tanpa kepastian masa depannya dengan di kontrak dan outsourcing seumur hidup? Dengan disahkannya omnibus law, apakah mau dibikin 5% hingga 15% saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh Indonesia, apa ini tujuan investasi?”.


Dijelaskan lebih lanjut, “Bisa dipastikan, isu hilangnya UMSK, berlakunya karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, akan mendapatkan perlawanan keras dari serikat buruh.  Karena hal kini akan merugikan masa depan puluhan juta buruh yang existing dan calon buruh yang akan memasuki pasar kerja tanpa perlindungan negara, karena JKP hanyalah pemanis saja. Wong pemerintah saja mengakui bahwa hanya 27% pengusaha yang bayar pesangon apalagi harus bayar JKP untuk karyawan kontrak dan outsourcing? Sangat mustahil pelaksanaan di lapangan.”


“Sejarah mencatat hari ini, DPR RI telah mengesahkan perbudakan modern (modern slavery) melalui pengesahan omnibus law. Ini harus ditolak demi masa depan rakyat yang akan memasuki pasar kerja. Negara harus hadir tidak boleh tunduk oleh modal,” tegas Said Iqbal. (BSI)

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI