In Memoriam Jalaluddin Rahmat: Untuk Urusan Duniawi, Berundinglah Di Antara Kamu'

| Rabu, 17 Februari 2021 | 11.42 WIB

Bagikan:

“Nabi (Muhammad) pun untuk urusan duniawi bisa salah. Ia misalnya salah dalam memberi arahan soal pohon kurma. Akibatnya, pohon kurma itu tidak berbuah.”


“Karena itu Nabi berkata. Untuk ursan agama, tanya pada saya. Tapi untuk urusan duniawi, berundinglah di antara kamu.”


“Di kalangan Muslim sendiri, tumbuh dua kelompok yang berbeda. Ada kelompok yang meyakini, Nabi hanya maksum (dijaga dari kesalahan, tak pernah salah) hanya untuk soal agama saja.  Karena itu untuk soal duniawi, tak usah merujuk pada Nabi.


Ada pula kelompok yang meyakini Nabi maksum (dijaga dari kesalahan, tak pernah salah) untuk segala urusan. Apapun segala perkara ikuti perintah Nabi.”


Di hari wafatnya Kang Jalal (Jalaluddin Rahmat), pandangannya di atas saya selami lagi.


Sekitar tahun 2014-2015, Yayasan Denny JA membuat serial talk show bincang-bincang Islam.


Novrianto Kahar di hari wafatnya Kang Jalal kembali membagi rekaman video itu. Novri sendiri yang menjadi pewawancara.


Ucapan Kang Jalal di awal tulisan berasal dari talk show itu.


Kang Jalal, di video itu, seperti biasa, renyah jika bicara. Ia kuasai tradisi klasik Islam, dan bicara bahasa Arab dengan  fasih. Ia kuasai juga ilmu barat, dengan bahasa Inggris yang bagus.


Ia mendalami khasanah pemikiran Islam, mulai dari sejarah Islam, Fiqih, filsafat Islam, politik Islam hinggga mistisisme Islam. Ia jebolan pesantren.


Tapi Kang Jalal juga menguasai khazanah ilmu barat. Ia Ph. D lulusan universitas di Australia. Ia kuasai filsafat ilmu, psikologi hingga ilmu politik.


Paduan dua ilmu itu, Islam dan Barat, ditambah dengan gaya bicara yang sistematis, runtut, sederhana, membuat Kang Jalal digurukan oleh banyak orang.


Kecanggihannya sebagai ulama dan ilmuwan sosial, sebagai pemikir dan aktivis, membuat daya tariknya sekuat Nurcholish Madjid.


-000-


Terakhir saya berkomunikasi dengan Kang Jalal sekitar Juli- Agustus tahun lalu, 2020. Lima bulan lalu.


Saat itu, Ia membuat esai khusus mereview buku saya:  Spirituality of Happiness. (1)


Dengan becanda Kang Jalal berkata: “Dulu Pak  Denny yang membaca buku saya. Sekarang, saya yang membaca buku Pak Denny.”


Saat itu  Kang Jalal  memanggil saya: “Pak.” Tak hanya menyebut nama saya “Denny,” tapi “Pak Denny.” 


Tiga puluh tahun lalu, Ia hanya memanggi nama saya saja, tanpa kata Pak atau Bung. 


Balas saya. “Waduh Kang, terasa saya bertambah tua. Sekarang Kang Jalal menyebut saya, “Pak.” 


Saya tertawa. Kang Jalal juga tertawa.


Saya ingat di tahun 1989-1990. Usia saya dua puluhan tahun. Saya baru tamat kuliah di FHUI. Dan sedang bersiap sekolah ke Amerika Serikat. 


Kang Jalal saat itu sudah menjadi rising star cendikiawan Muslim.


Paramadina acapkali membuat diskusi bulanan. Kita menyebutnya pengajian modern. Ini mengkaji Islam, tapi di tempat yang saat itu sangat mewah bagi saya yang mahasiswa kere. Hotel Kartika Chandra.


Ikut dalam kajian itu, harus terlebih dahulu membeli tiket. Ujar Pak Tom, Utomo Dananjaya, ini pola baru pengajian untuk kelas menengah Islam Kota. Yang ingin menambah ilmu, harus ikhlas juga membiayai pengajian ini dengan membeli tiket.


Tapi saya selalu membujuk Pak Tom, agar bisa hadir di sana lewat jalur khusus. Gratis. Tak usah beli tiket. Pak Tom mengerti karena ia tahu saya anak muda yang mau belajar, tapi acapkali kekurangan uang.


Nurcholish Madjid selalu menjadi pembicara utama pengajian itu. Dan hampir setiap kali diskusi, hadir pula pembicara pendamping.


Setiap kali Jalaluddin Rahmat menjadi pembicara pendamping, saya upayakan hadir. Kang Jalal jika bicara selalu memikat. 


Itu paket lengkap: Cak Nur dan Kang Jalal. Dua guru. Sekali datang, saya mengaji pada dua suhu sekaligus.


Selesai diskusi, saya acapkali menemui Kang Jalal.  Ikut mengeksplor paparannya di luar panggung.


Ketika mendengar Kang Jalal wafat, beberapa momen saya di usia dua puluhan, dengan Kang Jalal di Hotel Kartika Chandra itu datang kembali. Aneka gambar itu melintas dalam memori seperti film.


-000-


“Untuk urusan duniawi, berundinglah di antara kamu.” Pandangan Kang Jalal soal sikap Nabi kini semakin relevan.


Semakin banyak urusan duniawi yang memang tak lagi merujuk pada kitab suci. Tak lagi bertanya pada peninggalan Nabi.


Mulai dari mencari vaksin untuk covid-19. Berkembangnya artifical inteligence. Membuat public policy. Lahirnya revolusi industri keempat.

Semua urusan duniawi ini berjalan tanpa perlu lagi merujuk kitab suci.


Mengelola negara modern, mengelola perusahaan global, riset di labolatorium, hal duniawi itu, semakin otonom dan tak merujuk kitab suci.


Ruang publik, urusan duniawi ini, semakin netral dari pertarungan interpretasi aneka agama.


Tapi, seperti yang dikatakan Kang Jalal, selalu ada kelompok yang ingin apapun urusan, segala pekara, urusan duniawi,!harus merujuk pada kitab suci.


Selamat jalan Kang Jalal. Selamat jalan, Sang Guru.***


Oleh: Denny JA

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI