Bernasindonesia.com - Menanggapi berbagai pertanyaan media dan sejumlah pernyataan dari publik, kami perlu menekankan kembali bahwa perjuangan reformasi 1998 adalah perjuangan untuk menegaskan bahwa kritik merupakan jantung kemajuan demokrasi, IPTEK dan masyarakat.
Ibu dan Bapak bangsa Indonesia menempatkan kritik di jantung konstitusi UUD 1945 khususnya pada pasal 28, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang."
Adapun pelaksanaan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia menurut UUD 1945 haruslah memperhatikan pasal 28J, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."
Dalam tradisi dan nilai-nilai demokrasi, kritik merupakan upaya menciptakan dialog setara dan komunikasi timbal balik di antara aktor-aktor dalam negara demokrasi yaitu masyarakat sipil (aktor non-negara seperti media, ormas, lembaga kemahasiswaan, LSM, dan lainnya), masyarakat politik, masyarakat ekonomi, birokrasi/pemerintah dan aparatus hukum. Cara kerja kritik adalah berusaha membentuk hubungan setara antar aktor berdasar komunikasi timbal balik (komunikasi intersubyektif) yang berimplikasi pada penemuan kebaikan bersama (common objective).
Praktik kritik yang mengikuti kaidah IPTEK dan demokrasi, tidak akan menggunakan kekerasan komunikasi seperti stigma, fitnah, hinaan, dan perundungan (bully). Hal ini karena kekerasan komunikasi akan menghalangi proses terbentuknya komunikasi timbal balik dan setara. Sebaliknya akan mendorong terbentuknya lingkaran kekerasan (spiral of violence) yaitu kondisi yang ditandai oleh praktik yang hanya bertujuan menjatuhkan dan menghancurkan satu sama lain (zero sum game).
Pada saat bersamaan, demokrasi Indonesia merupakan pertemuan antara beragam nilai-nilai global dan nilai-nilai keindonesiaan. Setiap praktik kebebasan kritik perlu melandaskan pada tatanan nilai sosial keindonesiaan yang ditopang nilai saling menghormati, kesantunan, tata krama, toleransi dan kegotongroyongan. Kata Presiden Joko Widodo, "Ini negara demokrasi, jadi kritik itu boleh-boleh saja. Tapi juga ingat kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesopansantunan."
Presiden Joko Widodo selama ini telah memberikan keteladanan dalam upaya membangun komunikasi timbal balik dalam negara demokrasi Indonesia dengan narasi kebebasan dalam tatanan nilai sosial keindonesiaan. Oleh karenanya Presiden menjauhi praktik stigma, perundungan, fitnah, dan anti toleransi.
Aktor-aktor negara demokrasi yang mempraktikkan kebebasan kritik dalam narasi nilai sosial keindonesiaan akan menciptakan komunikasi timbal balik. Yaitu kondisi yang lebih memungkinkan lahirnya berbagai pemecahan masalah kolektif bangsa untuk mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu seluruh aktor negara demokrasi perlu meneladani praktik kebebasan demokrasi yang berbasis pada tatanan nilai sosial keindonesiaan yang dicontohkan oleh Presiden Joko Widodo dan menjadi tradisi dalam kebudayaan Indonesia dan tradisi berpikir kritis (critical thinking) dalam kemajuan IPTEK.
Panjang umur perjuangan demokrasi Pancasila. Dalam 76 tahun kemerdekaan, kita yakin Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh. Kita yakin Indonesia Maju!
Dr. M. Fadjroel Rachman
(Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi)