Restu Publik Belum untuk Amandemen UU 1945 ke-5

| Selasa, 31 Agustus 2021 | 08.07 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Reformasi yang diperjuangkan oleh para mahasiswa dengan taruhan darah dan nyawa, telah banyak menghasilkan perubahan yang baik, salah satu hasil dari perjuangan mahasiswa tersebut dibidang ketata negaraan adalah dirubahnya sistem parlementer menjadi persidensial dengan mengamandemen UUD 1945.

 
Hasil Perjuangan Reformasi yang penuh dengan pengorbanan kini mau direduksi oleh para politisi koalisi senayan, mereka’ politisi koalisi bersepakat ingin mengamandemen UUD 1945, wacana amandemen UUD 1945 tersebut disampaikan oleh ketua MPR RI Bambang Soesatyo disidang tahunan MPR RI 2021. Selain tidak ada urgensi untuk amandemen timingnya juga tidak tepat, disaat rakyat dan pemerintah berjuang melawan pandemi para politisi malah berorentasi demi sebuah kepentingan kelompok oligarki lewat amandemen UUD 1945. Menjadi tidak etis ketika kita masih berjuang melawan pandemi covid-19 namun masih ada yang berpikiran dan bersikap ingin melangengkan kekuasaan oligarki. Sehingga timbul pertanyaan..? apakah etika dan moral publik kita sebagai anak bangsa butuh untuk diedukasi dan ditatar lagi agar kita lebih arif dan bijaksana dalam mengambil kebijakan.
 
Selain itu reasoning atau alasan yang dibangun oleh para politisi koalisi untuk melakukan amandemen UUD 45 ini tidak cukup logis dan tidak cukup mendesak serta tidak berkualitas sebagai sebab untuk merealisaaikanya amandemen UUD 45 ke 5. Mereka membangun alasan hanya dengan argumen untuk menghidupkan lagi GBHN, ketidak mampuan melakukan pembangunan negara secara integral dan sustainable harusnya tidak mengorbankan konstitusi dengan mengamandemen UUD 45.
 
Jika yang menjadi problem adalah pembangunan mestinya yang harus dievaluasi adalah model kebijkan dan model pembangunannya, bukan mengamandemen konstitusi dasar negara kita; misalnya pembangunan yang kita terapkan masih menganut model pembangunan yang berpijak pada pembangunan institusional dan pembangunan residual, mestinya yg di evaluasi model pembangunanya, pemerintah harus bergeser menerapkan kebijakan pembangunan yang mengarah pada pembangunan sosial, untuk itu agar kesejahtraan atau well-being bisa terwujud konsep pembangunan sosial juga harus diimplementasikan. untuk menderivasi visi dan misi pemerintahan eksekutif, pemerintah juga bisa menerapkan kebijakan yang lebih terintegrasi dan sustaineble dengan program-program unggulan yang sudah disiapkan. Dengan sistem tersebut pemimpin bisa lebih merdeka untuk berinovasi demi newujudkan walfare state dengan membangun partisipasi anak bangsa yang cerdas dan smart. sebetulnya apapun problemnya pasti bisa dicarikan solusinya tanpa harus mengamandemen UUD 45 dan mendegradasi kedudukan lembaga maupun institusi.
 
Sikap yang dipaksakan oleh politisi koalisi ini sangat disayangkan karena bisa memperburuk demokrasi yang sudah dibangun dengan baik. MPR RI yang seharusnya berperan sebagai  the guardian of state ideology kini malah berperan mendistorsi konstitusi dan ketatanegaraan kita, maka menjadi wajar jika publik memiliki asumsi atau pertanyaan besar apa hidden agenda sebetulnya dari politisi koalisi untuk mengamandemen UUD 45….???
 
Karena ketidak cukupan alasan dan tidak adanya urgensi untuk mengamandemen UUD 45 sikap politik para politisi koalisi senayan kini mendapat penolakan yang kuat dan keras dari publik. bila kemudian hari politisi koalisi masih memaksakan kehendaknaya maka dengena sendirinya politisi tersebut menolak dirinya sebagai manifestasi dari aspirasi rakyat atau publik karena banyaknya penolakan publik terhadap wacana amandemen UUD 45. Anggota DPR RI sebagai implementasi dari teori kontrak mengatakan dirinya merupakan perwujudan dari bagian kuasa rakyat yang dititipkan kepada mereka untuk mewujudkan harapan dan keinginan publik untuk lebih sejahtera, lebih makmur, bebas dan merdeka. selain itu dibentuknya lembaga Dewan Perwakilan rakyat agar berperan menjadi checks and balances kekuasaan eksekutif. namun jika sikap dan wujud tindakan politisi dewan tidak mempresentasikan kehendak publik. Mestinya sikap politisi inilah yang harus diamandemen.
 
Sikap memaksakan kehendak oleh politisi koalisi ini sekarang menjadi polemik yang kuat dipublik, pro kontrak bermunculan menghiasai seluruh media saat ini. Seolah negara dan publik dalam kondisi normal, mereka tidak menyadari bahwa dirinya sendiri masih harus berjuang melawan pandemi yang begitu ganas dan beringas. Namun disaat yang sama para politisi koalisi yang ada didewan malah membangun kegaduhan dengan mewacanakan amandemen UUD 45. Tindakan untuk mengamandemen UUD 45 tentunya berimplifikasi terhadap kedudukan konstitusi dan ketata negaraan, dengan adanya amandemen maka akan terjadi perubah yang signifikan, MPR RI menjadi lembaga tertinggi negara dan persiden ada dibawah MPR RI, Selain itu amandemen juga ditengarahi akan menyisir pasal yang berkaitan dengan jabatan persiden dimana jabatan persidan yang tadinya dibatasi 2 priode kini bisa diubah menjadi 3 priode atau diperpanjang sampai 2027. Jika ini terjadi maka ini yang membuat demokrasi mundur kebelakang kembali.
 
Kita semua tau bahwa Konstitusi adalah the living constitution yang artinya bahwa konstitusi itu bukan kitab suci dan bukan kebenaran final yang tidak bisa dikoreksi, konstitusi adalah naskah yang hidup dan berkembang mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat, artinya Konstitusi suwaktu-waktu bisa dirubah sesuai dengan kebutuhan dan keadan bangsa dan negara kita, tentunya perubahan yang dikehendaki adalah perubahan kearah yang lebih baik dan benar. Bukan perubahan yang hanya sekedar mengakomodir kepentingan kekuasaan.
 
Selain konstitusi bersifat the living constitution, semua juga tau kalau konstitusi merupakan resultan dari berbagai kepentingan dan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang ada saat ini. Faktor utama yang menentukan pembaharuan (Perubahan) UUD adalah adanya kondisi yang mendesak untuk pembaharuan atau perubahan keadaan di masyarakat. Misalnya adanya Dorongan demokratisasi pelaksanaan negara kesejahteraan (walfare state), perubahan pola dan sistem ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi kekuatan atau (Forces Mayor) pendorong pembaharuan Undang-Undang Dasar. Jadi secara lebih sederhana dapat dikatakan masyarakatlah yang seharusnya menjadi pendorong utama perubahan Undang-Undang Dasar. Bukan politisi yg berkedudukan di dewan.
 
Lagi-lagi dalam konteks amandemen UUD 45 tahun 2021 Kekuatan politik yang tidak in line dengan harapan dan aspirasi rakyatlah yang memiliki niat  dominan dalam upaya untuk melakukan perubahan UUD 45. Ini menandakan bahwa perubahan atau amandemen konstitusi syarat akan konflik kepentingan, Sehingga subtansi untuk bernegara menjadi kabur atau sumir.
 
Memahami konstitusi tentu banyak pendapat yang telah ada, namun secara sederhana konstitusi dapat dikatakan sebagai kontrak sosial antara pemerintah dan yang diperintah atau dalam bahasa lain konstitusi merupakan kontrak antara rakyat dan penguasa. Menurut C.F. Strong menyampaikan bahwa Konstitusi pada dasarnya merupakan kumpulan asas-asas mengenai kekuasaan pemerintah, mengenai hak-hak yang diperintah, dan mengenai hubungan antara pemerintah dan yang diperintah. Relasi antara rakyat dan penguasa ini diabadikan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai konstitusi, Tentu kontrak ini dimaksudkan agar terjadi keharmonisan untuk hidup bersama dalam suatu negara antara rakyat dan penguasa. Selain itu, dengan adanya konstitusi tersebut juga dimaksudkan agar terjadinya harmonisasi antara kepentingan-kepentingan dan kehendak kekuasaan agar sejalan  dengan kehendak rakyat. Dengan demikian semua kepentingan, baik kepentingan rakyat maupun kepentingan penguasa terakomodasi oleh konstitusi tersebut, sehingga semua pihak merasa terlindungi kepentinganya. Konstitusi dibuat Bukan hanya sekedar mengakomodir kepentingan kekuasaan oligarki yang selalu nembuat gaduh dalam membuat aturan atau UU.
 
Relasi antara rakyat dan pemerintah harusnya menghasilkan kesepakan untuk saling melindungi kepentingan. Membahas kepentingan publik sebagai kehendak umum harus dipahami secara utuh,  tentu hal yang harus diperhatikan adalah untuk menjaga kehidupan bersama dalam negara yang damai dan sejahtera.
 
Untuk itu agar tidak terjadi kegaduhan dan perubahan konstitusi maka para politisi koalisi bisa menahan politik behavioral yang tidak arif dan tidak sesuai kehendak umum.
 
Oleh: Qomaruddin

Penulis adalah Kepala Biro Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) Departemen V  DPP Partai Demokrat

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI