Soal Anies Baswedan

| Kamis, 05 Agustus 2021 | 00.30 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Suatu ketika, beberapa tokoh dan aktifis terlibat diskusi. Sambil nyerutup kopi dan nyemil makanan ringan, ada yang bertanya: "Gimana 2024? ". Satu pertanyaan dilempar: "mendukung siapa?" "Masih lama..." salah seorang nyeletuk. 


"Sepertinya akan seru", timpal yang lain. "Wah, makanan ringan, tapi diskusinya beraaat", kataku. 

"Kalau kamu dukung siapa Udin?" tanya salah seorang kepadaku. "Kalau Udin sepertinya lebih condong ke Anies, timpal yang lain".  Karena sering diobrolin, sehingga satu dengan yang lain tahu kecenderungan pilihan masing-masing. 

"Iya, aku dukung Anies." jawabku mengiyakan. "Kenapa mendukung Anies?" Tanya yang lain, penesaran. 

Memang, secara umum banyak yang wait and See. Lihat siapa saja yang akan muncul di survei. Membiarkan semua tokoh berkompetisi, dan sikap ini dianggap lebih cair. Tidak terburu-buru menjatuhkan pilihan, takut salah. Membuka peluang kepada sejumlah tokoh nasional untuk muncul. Mencari yang terbaik dari orang-orang yang nantinya muncul. 

Sekilas, ucapan itu bijak. "memberi peluang tokoh-tokoh lain" jadi kata kuncinya. Sehingga, yang dipilih adalah yang terbaik. 

Maksudnya baik, tapi tidak strategis, dan tidak taktis. Yang sering tidak disadari bahwa calon pemimpin itu dilahirkan, bukan lahir sendiri. Kemunculan pemimpin itu direkayasa, tidak secara tiba-tiba. Kalau yang memunculkan dan merekayasa itu orang-orang baik, maka pemimpin yang lahir itu orang baik. Ini aku jelaskan, supaya temen-temen sadar dan tidak terlena. 

Orang-orang baik itu ukurannya tidak punya agenda personal. Tidak ada kepentingan kelompok. Jauh dari vested interest. Kepentingannya semata-mata untuk masa depan dan perbaikan bangsa. Aku mulai berceramah. 

Faktanya, seringkali yang menginisiasi lahirnya calon pemimpin adalah orang-orang yang vested interesnya sangat tinggi. Para pejabat tinggi yang ingin langgeng posisinya. Meski sudah tua, tapi tak siap pensiun. Para pengusaha yang ingin tetap bisa mengeruk uang negara. Para kartel, mulai dari kartel daging, kartel beras, hingga kartel gula yang tak ingin terganggu bisnisnya. Mereka punya cukup modal untuk menyiapkan calon pemimpin. Mereka telah melakukan survei, dan serius menjajagi komunikasi dengan semua bakal calon. Siapa yang mereka mau, akan jadi pemimpin. Mimikku mulai terlihat berubah karena kesal. 

Di sisi lain, para agamawan, rohaniawan, tokoh-aktifis, pimpinan ormas, secara umum terlalu lugu mengenai hal ini. Membiarkan para kartel itu menyiapkan bonekanya, lalu para rohaniawan dan aktifis dimintai dukungan saat calon pemimpin itu dimunculkan. Ini terjadi berulangkali. Lalu orang-orang idealis berdalih demi "moral politik", mereka tidak terjun di politik praktis. Ini "high politik", katanya. Gombal! Itu bukan moral politik, tapi kedunguan politik. 

Kembali soal kenapa mendorong Anies, saya jelaskan lebih dulu bahwa saya tidak punya histori dengan Anies. Saya juga tidak punya hubungan struktural maupun finansial. Meminjam istilahnya Said Didu, saya adalah manusia merdeka. Penjelasan ini diperlukan supaya temen-temen gak curiga. Manusia merdeka kok dicurigai. 

Soal mendukung Anies, jawaban saya: "karena Anies memenuhi syarat untuk jadi presiden".  "Syarat apa?", tanya mereka.

Anies punya tiga hal yaitu integritas, kapasitas dan elektabilitas. 

Soal integritas, tidak ada kebijakan Anies yang memungkinkan ia, keluarga dan koleganya memperkaya diri, baik ketika Anies jadi mendikbud maupun ketika menjadi gubernur DKI. Anies jauh dari kebijakan dan tindakan koruptif. Ini bisa dilacak dari bukti-bukti normatif, maupun bukti-bukti politik. 

Anies juga tidak tersandera dan dikendalikan oleh para pemodal, sehingga tidak harus melakukan pelanggaran konstitusional untuk memberi ruang korupsi kepada mereka.

Setiap ucapan Anies bisa dimintai  pertanggungjawabannya. Setiap janjinya hingga sekarang selalu dipenuhi. Ini hal sangat penting dalam kepemimpinan. Sebab, ucapan, janji dan perilaku pemimpin itu referensi buat sejarah bangsa. 

Selain integritas, Anies punya kapasitas. Semua orang tahu itu. Kemampuannya membuat gagasan dan terobosan, serta kepintarannya merumuskan solusi setiap menghadapi masalah telah terbukti. Termasuk masalah pandemi saat ini. Semua kebijakan dan pekerjaannya terukur. Hasilnya juga terukur. Anies termasuk tokoh yang futuristik. 

Nah, yang tak kalah pentingnya, Anies punya elektabilitas. Banyak tokoh kita yang punya integritas dan kapasitas, yang tak kalah dengan Anies, bahkan plus keberanian dan ketegasan, tapi minus elektabilitas. Kalau kita paksain tokoh-tokoh yang minus elektabilitas ini untuk didukung, hanya akan menghabiskan energi. Kerja sia-sia.

"Kenapa tidak dicoba saja", kata para tokoh itu. Saya pelan-pelan menjelaskan tentang karakter pemilih Indonesia. Faktor psikologis dan sosiologis lebih dominan. Dari karakter pemilih ini, kita bisa memetakan mana tokoh yang punya potensi dipilih rakyat, mana yang sulit untuk ditawarkan. Terutama kalau sudah menyangkut mazhab agama. Belum lagi faktor historis dan kondisi politik yang juga menjadi variabel penting dalam elektabilitas.

"Tapi, Anies punya kekurangan ini dan itu", selah salah seorang tokoh.

"Siapa manusia yang sempurna dan tidak punya kekurangan?" tanyaku balik. Selama kelebihan yang dibutuhkan oleh bangsa ini lebih besar, semua kekurangannya itu akan bisa diisi oleh orang lain yang akan jadi timnya, tegasku.

Kelemahan kita pada umumnya adalah malas mikir, sehingga tidak mampu melihat bagaimana bangsa ini punya nasib kedepan. Telat melangkah, sehingga selalu didahului orang lain. Istikharah dan berdiskusinya kelamaan, sementara orang lain sudah membuat keputusan dan mengeksekusinya. Lalu, kita tak punya pilihan kecuali memilih yang sudah disodorkan orang lain. 

Lagi-lagi, kita akan bilang pilih ini karena terpaksa. Karena gak ada alternatif lain dari yang ada. Dari pada terpaksa, ada yang kemudian jualan suara. Mengais recehan untuk membangun gedung yayasan dan lembaganya. Inikah moral politik?

Oleh: Mang Udin


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI