Jangan Biarkan Anak Hidup Dalam Perilaku Salah Keluarga Gangguan Jiwa

| Selasa, 07 September 2021 | 08.06 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Persoalan hidup yang panjang dan tidak selesai, seringkali menjebak manusia mulai mendekati yang disebut ‘ilmu hitam’. Sayangnya perilaku diluar nalar ini, seringkali mendatangkan bisnis yang mudah meraup uang di masyarakat. Sayangnya ketika dianggap ‘kesaktiannya’ mulai berkurang. Mereka merasa perlu meningkatkan, dan korbannya selalu saja orang terdekat, dikenal dan keluarga sendiri. Ini peristiwa yang terus berulang.


Berperilaku di luar nalar, sangat sulit dibaca secara keimanan dan rasional. Apa yang terjadi kepada ibu yang ingin mencongkel matanya adalah proses panjang beban hidup dan memilih mendalami ‘ilmu hitam’. Namun kalau mendalami ilmu kejiwaan, ada latar belakang dari  sebab dari proses panjang yang di alami Ibu tersebut. Trauma trauma masa lalu yang kemudian tidak pernah ‘merasa terjawab’ menjadi disorder. Meski alasan ‘ilmu hitam’, namun sebenarnya ada kekecewaan yang mendalam dan tidak terjawab, dan ingin orang lain merasakan hal yang sama dengan yang dideritanya. 

Dengan alasan ilmu hitam hanya sebagai alasan merasional tingkah laku yang sebenarnya mengalami gangguan kejiwaan. Merasa apa yang dilakukannya berdampak, kemudian ia menjalani hidup tersebut. Namun ketika ‘kesaktiannya; dianggap berkurang, dan dianggap ‘untuk lebih kuat’ lagi ilmu hitamnya, kemudian mengorbankan anak pertama. Dan peristiwa berulang mencongkel mata, adalah bagian dari proses hidup meyakini dan menyebutnya dengan Ilmu Hitam. Sayangnya perilaku seperti ini, seringkali mendapat tempat di masyarakat. Dengan bukti dalam video peristiwa, banyak orang yang menyaksikan.

Dalam pandangan ahli kejiwaan, perilaku Ibu tersebut adalah termasuk perilaku menyimpang.Ada  gejala gangguan kejiwaan mulai ringan sampai berat, namun sayangnya isu ini masih jauh dari masyarakat. Seringkali reaksi hanya terjadi saat orang sudah merasakan gangguan jiwa berat. 

Ada berbagai sebutan kepada mereka yang kemudian berbuat di luar rasional dan keimanan. Diantaranya seperti mendengar pesan pesan ghaib, yang sebenarnya menjadi gangguan kejiwaan yang berat (waham) yang merupakan ciri ciri mengalami Skizofrenia, yang dapat mencelekakan orang di sekitarnya. 

Peristiwa seperti ini akan terus berulang, jika masyarakat memberi tempat kepada mereka. Apalagi bila hal tersebut mengorbankan anak anak, tentu sangat memilukan dan sangat tidak kita inginkan. Namun, hal ini sangat berbeda dengan orang orang indigo, yang lebih memunculkan sifat empati, karena tidak mengalami perilaku menyimpang, namun perlu pendampingan.


Kementerian Kesehatan mencatat jumlah penyandang disabilitas gangguan jiwa selama pandemi meningkat di Indonesia, dari 197 ribu orang di 2019, kini mencapat 277 ribu orang. Data Riset Kesehatan Dasar Kemenkes menyatakan 11,2 persen warga Negara Jakarta adalah masalah kejiwaan, sehingga 1 dari 4 orang di deteksi mengalami gangguan jiwa. Artinya banyak anak Indonesia yang mendapatkan perilaku salah karena situasi ini, dari mulai gejala ringan sampai beat.

Apalagi kita tahu kondisi ini diperparah dengan cara perilaku politik belakangan, yang banyak menyerang kejiwaan, seperti kasus persekusi melalui sosial media yang terus ada, persekusi yang bahkan masuk ke rumah rumah ibadah dan privacy keluarga, Yang menyebabkan kedisharmonisan dalam kelaurga itu sendiri. Artinya ini masa pandemic ini, orang akan lebih mudah mengidap gangguan kejiwaan. Bahkan kita tahu dampaknya sekarang, dunia melawan post truth yang tidak mudah sampai sekarang. Karena ada perilaku menyimpang yang menjadi keresahan di masyarakat.

Tentu dampaknya harus menjadi perhatian serius, dalam menjawab ledakan masalah gangguan kejiwaan. Namun jangan menjadi stigma, fokusnya lebih pada antisipasi penanganan. Jangan sampai terulang kembali peristiwa seperti yang dilakukan pelaku. Tentu Ibu tersebut tetap harus bertanggung jawab atas perilakunya, karena mengerti resiko perbuatannya, apalagi ini adalah peristiwa berulang, yang sebelumnya membawa korban jiwa anaknya sendiri. Lalu bagaimana respon representasi pemerintah di daerah tersebut, juga perlu di gali, sehingga ikut bertanggung jawab kondisi ini. Karena ada Undang Undang 23 2014 tentang pembagian kewenangan pusat dan daerah dalam pembagian permasalahan masyarakat, diantaranya mandat daerah kepada tanggung jawab di keluarga rentan. Sehingga kondisi tersebut, bisa benar benar terjawab, sehingga dapat memberi efektifitas dalam kebijakan dan penanganan.

Kalau kita lihat lebih jauh, penanganan anak dalam keluarga gangguan jiwa, masih minim penanganan. Hal ini ditandai dari evaluasi instrumentasi Kota Layak Anak di beberapa daerah yang belum bisa memotret anak hidup dalam keluarga rentan, dengan kebijakan menyebutkan dengan anak anak membutuhkan perlindungan khusus. Berbeda dengan kebijakan daerah di urusan lain untuk anak, seperti hak pendidikan, hak sipil yang telah memiliki norma, SOP dan anggaran, sehingga aparat mudah jemput bola bila terjadi permasalahan. Sehingga ketika tidak terpotret kebutuhan anak membutuhkan perlindungan khusus, maka kluster hak anak lainnya menjadi alpa untuk anak yang mengalami ‘congkel mata’. Juga sangsi kepada petugas atau aparat yang tidak melaporkan, seperti kejadian anak sebelumnya yang diminta makan garam 2 liter. Sekali lagi ini perlu ditelaah lebih dalam, sehingga dapat menjadi potret lebih luas untuk nasib anak anak yang hidup dalam perilaku salah.

Tentu saja, kondisi pembatasan akses dan sosial tentu akan lebih memicu gangguang kejiwaan di Indonesia, tentu apa yang terjadi dengan ‘ibu pencongkel mata anak’ tersebut di masa pandemi juga perlu didalami. Perlu di telaah lebih jauh, situasi sebelumnya yang di alami Ibu, apalagi ini melibatkan keluarga, untuk itu perlu pemeriksaan menyeluruh, agar tidak menjadi pengulangan. Untuk itu peran Kementerian Kesehatan, menjadi penting, termasuk bila punya catatan sebelumnya tentang keluarga ini, termasuk riwayat kesehatan mereka. Kenapa ini menjadi penting, karena perlu penanganan komperhensif, treatment khusus, sehingga tidak ada  korban selanjutnya, termasuk keberadaan pelaku sekarang. 

Sebagai Negara maju, Indonesia tidak terlepas dari persoalan masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan. Pemicunya ada berbagai faktor, seperti pembangunan dibeberapa tempat yang belum merata, respon permasalahan kemanusiaan yang masih berbeda beda standardnya karena perbedaan kebijakan dan prioritas daerah, masalah geografis yang meninggalkan tantangan untuk edukasi dan informasi, penanganan gangguan jiwa masih sangat sedikit di Indonesia, dan kondisi masyarakat yang minim pengetahuan mendeteksi ini, sulitnya masuk ruang privat dalam mencegah perilaku menyimpang, lifestyle hidup yang dipaksakan terutama di perkotaan, kondisi alam bencana yang membutuhkan recovery panjang, penanganan rehabilitasi yang belum dikatakan berhasil 100 persen, letak geografis. 

Lalu bagaimana, ketika anak anak Indonesia hidup diantara keluarga yang mengalami gangguan kejiwaan. Undang Undang Perlindungan Anak menyampaikan, ada kewajiban langkah preventif untuk pemerintah dan pemerintah daerah, dalam rangka menyelamatkan anak anak. Bahkan kita sering mendengar anak anak yang mendapatkan  trauma dalam keluarga seperti ini, dan kemudian ketika tidak tertangani, anak dalam keluarga tersebut juga mengalami gangguan kejiwaan. DItambah shelter rujukan untuk kasus seperti ini lebih banyak ditangani masyarakat, sehingga perlu ada jaminan bahwa penanganannya di jamin selesai. Hal ini juga dialami anak atau orang yang mengalami disabilitas, bila tidak mendapat penanganan kesehatan jiwa, maka hambatannya dalam mengakses sosial kehidupan juga terancam, sehingga dapat mengalami gangguan kejiwaan.

Ibu pelaku tersebut, terancama kehilangan hak pengasuhan, dengan peristiwa yang menyatakan kedua anaknya menjadi korban, apalagi ini melibatkan keluarga, tentu sulit mengembalikan anak kepada keluarga, sebelum semuanya mendapatkan penanganan serius dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial.

Upaya perlindungan anak, dengan situasi keluarga yang dapat menyebabkan perilaku menyimpang, baik kepada keluarga dan anak. Harus mulai di ambil langkah langkah kebijakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Apa tang terjadi pada pelaku yang adalah seorang Ibu dan kekerasan yang terjadi pada anak. Menandakan ada perilaku salah yang di hadapi anak. Anak masih belum memahami perilaku ibunya, karena terbiasa di asuh. Sehingga saat peristiwa terjadi ada kebingungan yang dialami anak dengan perilaku Ibunya.

Selama kebijakan, tidak mampu menjawab, bagaimana ketika terjadi tangisan, kekerasan ringan sampai berat, tidak dapat di deteksi petugas dan mendalami, serta ada kebijakan yang hak untuk menyelamatkan anak sementara. Maka kasus keluarga yang didalamnya mengalami gangguan jiwa, hanya tinggal menunggu korban berikutnya. Karena kasusnya sudah terlalu banyak. Sehingga harus ada upaya koordinasi kebijakan, dalam mendorong pemerintah daerah, terutama RT RW dapat mengambil anak anak tersebut, dan paham bagaimana merujuk. Sehingga bila dalam penanganan terdapat potensi membahayakan untuk anak, bisa diselematkan sejak awal. Apalagi dari peristiwa pertama yang mengorbankan jiwa anaknya, menyatakan adanya pembiaran di keluarga tersebut. Dan pemahaman bahwa perilaku menyimpang tersebut di tolerir. Ini yang perlu ditangani segera, dengan assement mendalam, dan menghindari korban korban jiwa berikutnya, akibat penanganan ini.

Tentu dengan kondisi ini, anak akan terlepas dari pengasuhan utama, sehingga pemerintah dan pemerintah daerah, perlu mengalihkan pengasuhannya, bisa di keluarga sedarah (kindship care) ataupun keluarga pengganti (foster care). Apalagi dalam video saat kejadian, semua keluarga menyaksikan. Namun sangat perlu pengawasan secara periodic, agar anak dapat menjalani tumbuh kembangnya dengan baik, dan cepat pulih. Tentu buat anak adalah penanganan panjang dan berkelanjutan. Karena Negara menjamin anak sampai 18 tahun, untuk mendapatkan hak hak mereka.

Oleh: Jasra Putra
Kadivwasmonev KPAI
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI