Pemimpin Negara Tidak Perlu Moral

| Selasa, 18 Januari 2022 | 08.03 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Samin Surosentiko yang dikenal rakyat Blora sebagai penganut kepercayaan aliran singkep yang bermoral baik, pada tahun 1859 menolak membayar pajak kepada pemerintah Hindia Belanda. 


Pemerintah menilai ia seorang yang immoral, karena ia tahu bahwa perbuatannya itu salah dan seharusnya tidak dilakukannya. Karena itu dia dituduh telah melakukan pembangkangan sipil (civil disobedience) dan harus dihukum. 

Sebaliknya, di Amerika Serikat meskipun Presiden Thomas Jefferson (1743-1826) seorang protestan yang dikenal toleran terhadap agama Islam, terlibat dalam beberapa skandal sex dengan Betty Walker, Martha Wayles, Maria Cosway dan Sally Hemings, namun telah dinilai sebagai pemimpin negara kebanggaan bangsa Amerika Serikat. 

Presiden John Fitzgerald Kennedy (1961-1964) seorang yang beragama katolik yang juga terlibat skandal sex dengan Marilyn Monroe, Angie Dickinson, Priscilla Weir, Jill Cowan dan Blaza Starr, justru dikenal dunia termasuk Indonesia sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) yang bermoral baik. 

Karena jasanya maka Indonesia dapat memenangkan perang melawan Belanda, ketika merebut kembali Irian (sekarang Papua) ke pangkuan ibu pertiwi pada tahun 1962 tanpa serangkaian pertempuran yang berarti. Demikian pula para pemimpin AS antara lain Bill Clinton yang dituduh telah melakukan pelecehan sex terhadap Paula Jones dan juga terlibat oral-sex dengan Monica Lewinsky, diakui oleh rakyatnya sebagai Kepala Negara dengan administrasi kepresidenan AS yang sangat baik. 

Para pemimpin negara tersebut tidak layak disebut sebagai amoral, yang tidak tahu bahwa mereka telah salah. Tiada kesalahan jika tidak ada yang dirugikan sebagaimana halnya tiada kebenaran yang tidak berguna. 

Artinya, baik buruknya moral seseorang tergantung dari perspektif mana dia dipandang. Kata moral mengacu pada norma yang baik bagi Samin Surosentiko sebagai manusia, bukan sebagai seorang warganegara penjajah Hindia Belanda. 

Demikian pula Thomas Jefferson, John Fitzgerald Kennedy dan Bill Clinton jika dianggap bermoral tidak baik sebagai manusia, ia tetap dianggap baik sebagai seorang pemimpin negara. Sebaliknya, jika mereka buruk sebagai manusia dan juga buruk sebagai pemimpin negara, maka berarti pemimpin negara memang tidak perlu moral. 

Pancasila membahas kegalatan kategori tersebut dari aspek sosial politik, sehingga seorang manusia yang baikpun jika berada di negara yang buruk dapat terimbas buruk. Ke-tidak identik-kan tersebut yang ditengarai dalam Pancasila sebagai dasar pemikiran yang memisahkan, antara orang sebagai manusia dengan dirinya sebagai warganegara. 

Pemisahan yang demikian disebut sebagai sekuler dan aliran berpikirnya kemudian dikenal sebagai sekulerisme, yang pada akhirnya memisahkan antara aliran kepercayaan dan agama dengan politik negara. 

Kesimpulan dialektis antara moral orang sebagai manusia dengan dirinya sebagai seorang warganegara, rawan menyesatkan sekulerisme kepada suatu kegagalan logika (logical fallacy) bahwa pemimpin negara memang tidak perlu moral. 

Karenanya maka para pendiri negara bangsa Indonesia sejak dini mewaspadai hal ini, dengan menyepakati Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai ideologi negara Indonesia yang akan lahir. Kita menghendaki negara Indonesia yang baik untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang baik, atas dasar etika dan moral Pancasila. 

Oleh: AM Hendropriyono

Ketua Senat Dewan Guru Besar Sekolah Tinggi Hukum Militer. 
Guru Besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara.
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI