Hitung Maslahat dan Mudhorat Perpanjangan Masa Jabatan Atau Presiden Tiga Periode

| Senin, 07 Maret 2022 | 04.45 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden terus menjadi polemik. Ada yang setuju dan ada yang menolak dengan beragam alasan. 


Namun, aktivis kepemudaan dan pergerakan, Karman BM menilai wacana tersebut tak bisa disebut sebagai pelanggaran konstitusi. Sebab, masalah yang mencuat itu masih dalam konteks wacana.

"Dalam konteks konstitusionalisme, saya pikir tidak perlu ada penggiringan opini bahwa yang meminta pemilu tunda atau maupun 3 periode itu sebagai sebuah Pelanggaran Konstitusi. Orang itu masih wacana, dan negara (pemerintah) belum ada perbuatan menunda pemilu secara ujug ujug. Dan tidak bisa dikualifikasi Pelanggaran konstitusi. Anggap ini sebagai khazanah demokrasi. Jangan dibangun seolah-olah horor situasinya," ujar Karman BM dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (5/3/2022).

Hal yang disampaikan Karman tersebut juga dipaparkan saat dia
menghadiri Webinar Forum Diskusi Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jayabaya bertema "Penundaan Pemilu dan Bahaya Laten 3 Periode", Jumat 4 Maret 2022 lalu.

Menurut dia, menyikapi hal tersebut sebaiknya semua pihak bisa membangun sikap positif dan husnuzhon terhadap wacana yang ada. 

"Perlu ada penelaahan alasan kenapa wacana itu muncul. Kita hitung maslahah dan mudhoroatnya," katanya. 

Ia mengatakan, dari sudut pandang konstitusional masyarakat sudah saatnya untuk perlu melakukan desakralisasi wacana amandemen. 

"Karena ini bukan kitab suci. Di forum tadi saya sebutkan contoh, terdekat Turki juga amandemen berkali-kali. Tanpa ada konflik. Erdogan  bisa menjabat lama bolak balik dari Presiden, ke PM, juga melewati amandemen konstitusi. Begitu juga di Rusia, Putin lakukan hal yg sama. Jadi, saya katakan, Perubahan atau amandemen itu mengikuti perubahan zaman dan kehendak masyarakat saja,” papar Karman.

Mantan Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) ini juga mengutip petunjuk teknis dari Prof Yusril Ihza Mahendra yang menyebutkan jika memungkinkan, kalau negara mau, bisa pakai tiga cara. Antara lain amandemen, atau dekrit, atau Contitusional Convention. 

"Tinggal kita hitung maslahat dan mudhorat, kalau mau kita jalankan. Kalau nggak, ya stop wacananya," tukasnya.

Ia berharap semua pihak bisa mengedepankan stabilitas keamanan.
"Kedamaian kita rawat. Persatuan kita utamakan. Dan saya, setuju kalau ada amandemen," pungkasnya.

Sementara dalam diskusi yang sama, Pimpinan Rumah Demokrasi Ramdansyah menegaskan pihaknya menolak wacana penundaan Pemilu 2024. 

Ia pun memberikan tanggapan terkait pemikiran pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, bahwa ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk menunda pemilu. Yakni melalui amandemen UUD 1945, Dekrit dan konvensi ketatanegaraan.

Selain itu kata mantan komisioner Panwaslu DKI Jakarta itu, untuk melakukan penolakan penundaan pemilu, dengan cara kreatif. Yakni menciptakan lagu dangdut.

“Rumah Demokrasi Menolak Tunda Pemilu dengan membuat lagu (tetap) Pemilu 2024,” jelas Ramdansyah.

“Melakukan konter dengan menciptakan lagu, itu dinyanyikan dari Aceh sampai Papua. Menolak penundaan pemilu,” sambungnya. 
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI