Perihal Kemanusiaan, Kemajuan dan Keindonesiaan Kita

| Kamis, 12 Mei 2022 | 10.10 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Almarhum Kiyai Haji Abdurrahman Wahid _rahimakumullah_  sangat konsern dengan persoalan kemanusiaan. Beliau menempatkan harkat dan martabat manusia pada tempat yang tinggi, mulia. 


Dan memang seharusnya demikianlah kita bersikap. Karena Allah sendiri yang telah memuliakan keturunan Adam alaihissalam tanpa kecuali. Bagi Gus Dur, Islam itu adalah agama kemanusiaan. Karena itu  pemikiran Gus Dur, akan lebih mudah untuk dipahami dengan cara pandang demikian. 

Daripada membangun pandangan bahwa beliau seorang wali. Bisa saja memang beliau adalah waliullah, namun urusan tentang kewalian seseorang itu hanya Allah Yang Maha Mengetahui. 

Mereka yang membangun narasi berdasarkan sentimen etnisitas, misalnya anti arab, atau anti cina, jawa luar jawa, sebab itu sama sekali tidak memahami pemikiran Gus Dur. 

Gusdurian tidak menjadikan latar belakang suku atau etnisistas seseorang,   terlebih sebagai alasan untuk membangun barrier apalagi menyebarkan kebencian. 

Ketika Gus Yahya (Ketua Umum PBNU) mengumumkan komposisi kepengurusan PBNU dan menyebut nama Mas Ipul sebagai Sekjend PBNU, saya merasa turut senang. Bukan semata karena beliau berdua senior kami di HMI, tapi karena beliau memang tokoh NU yang memiliki garis ideologis maupun biologis dengan para sesepuh pendiri Bangsa, yang telah berbakti membesarkan NU pada masanya. Sebab itu ada semacam harapan bahwa di bawah kepemimpinan Gus Yahya selaku Ketua Umum dan Gus Ipul selaku Sekjend PBNU insya Allah PBNU akan makin besar peran dan manfaatnya bagi "kemajuan" Bangsa dan Negara. 

Menyebut kata "kemajuan"  memang akan membawa nalar aktual  pada slogan Muhammadiyah "yang berkemajuan". Dan justru karena itu catatan ini diberi judul "kemanusiaan" dan "kemajuan" yang sesungguhnya secara tidak langsung ingin menyapa para senior yang sedang mempimpin  NU dan Muhammadiyah untuk mengambil langkah bersama memajukan Keindonesiaan kita. Istilah "keindonesiaan" sendiri akan mengingatkan kita kepada Cak Nur, (Prof. Nurcholish Madjid) yang dikenal sebagai salah satu tokoh pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Beliau senang menggunakan kata ",Keindonesiaan" itu, dan seolah telah menjadi "clue" tersendiri bagi kalangan aktifis muslim di tanah air. Dan entah kebetulan atau bagaimana, para pemimpin NU maupun Muhammadiyah dewasa ini, boleh saya sebut memiliki  "kedekatan," dengan pemikiran  Cak Nur. 

Gus Dur maupun Cak Nur adalah dua pembaru pemikiran Islam tanah air yang terkemuka. Keduanya mewakili sisi NU secara struktural (Gus Dur) dan secara kultural (Cak Nur).

Namun tidak banyak tokoh pemikir nasional yang memiliki kecakapan dalam mengurai pokok-pokok pemikiran kedua tokoh pembaru (Gus Dur dan Cak Nur) seperti yang seringkali kita baca dalam tulisan-tulisan Prof. Haedar Nashir, yang justru merupakan kader Muhammadiyah. Pada titik inilah, kami yang juga gandrung dengan gagasan-gagasan besar Gus Dur dan Cak Nur, terpanggil untuk mendorong Prof. Haedar Nashir agar berkenan maju pada pemilu 2024 mendatang. 

Dengan demikian,  kami tidak mesti menjabarkan panjang lebar, arti dan makna "kemanusian dan kemajuan" yang kami maksud dalam catatan ini.

Mencermati kondisi "Keindonesiaan" kita, nampaknya memang interpretasi terhadap makna "Keindonesiaan" ini perlu disegarkan kembali. Tata ruang publik (public sphare) perlu "ditata ulang" agar filosofi kehidupan kebangsaan kita, Pancasila benar-benar terimplementasikan dalam kehidupan. 

Sebutlah misalnya karena kebun sawit yang luas dan menjadikan Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar dunia, pada awal program pembukaan lahan di masa pemerintahan Suharto semata demi mencapai program swasembada pangan. Bukan untuk memenuhi kebutuhan mesin-mesin. Bisa saja kebutuhan memberi "minum" mesin-mesin itu menjadi bagian yang diperhatikan, tentu setelah kebutuhan perut masyarakat terpenuhi. Untuk manusia, bukan untuk  memenuhi kebutuhan mesin. Demikian halnya dengan berbagai sumber daya alam kita lainnya. Setelah urusan kemanusiaan bisa teratasi, barulah kita beralih keurusan "kemajuan", yang nuansanya lebih dekat kapada urusan kemoderenan. Menurut henat kami, affirmative action mesti ada dalam situasi saat ini, agar apa yang di sebut "public sphare" itu benar-benar dapat digunakan oleh seluruh warga bangsa, tanpa merasa ada yang kehilangan hak-haknya sebagai pemegang kedaulatan. Tak kala pentingnya interpretasi "keindonesiaan kita" itu dilakukan dengan memperhartikan perkembangan geopolitik maupun georstrategik dunia yang kian "kecil" dengan kemajuan teknology informatika. Perihal geopolitik yang mengitari Bangsa kita dewasa ini, insya Allah akan kami "turunkan" pada catatan dikesempatan yang lain.

Dalam banyak hal, persoalan kebangsaan kita masih berada pada ranah yang sangat "domestik". Dalam arti masih berkutat pada problem kebutuhan dasar. Masih sedikit diantara warga bangsa yang telah menyesuaikan dengan tuntutan kemajuan. 

Tingkat kemiskinan masih tinggi. Bahkan ada sejumlah kasus  bunuh diri karena himpitan kemiskinan; lapangan pekerjaan yang mampu disediakan pemerintah masih terbatas, akibat pengangguran meningkat; begal dan aneka kriminalitas turut menyertai. 

Dengan realitas demikian itu, hikmah kebijaksanaan sangat dibutuhkan dari para elit politik Nasional.

Dengan dan demi alasan kemanusiaan, kita masih harus berdamai dengan kata "subsidi". Yang sayangnya dalam banyak hal tidak tepat sasaran. Sebab itu perlu dibenahi. Serta banyak persoalan lainnya yang telah menjadi pengetahuan umum kita.

Kenapa catatan ini ditujukan kepada pimpinan NU dan Muhammadiyah, bukan kepada Pemerintah? Kata Bung Karno, Jasmerah! Jangan lupakan sejarah. NU dan Muhammadiyah itu pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (bersama elemen bangsa lain tentunya).  NKRI adalah anak kandung NU dan Muhammadiyah (tanpa mengurangi peran serta elemen lain). Sehingga jika NKRI sakit, sudah seharusnya NU dan Muhammadiyah terpanggil untuk tampil mengatasi keadaan.

Kembali kepada tantangan pada agenda kemanusiaan dan agenda kemajuan, merupakan momentum yang sangat baik, jika pimpinan NU dan Muhammadiyah lebih intens melakukan dialog, dan disertai sinergi, memelopori elemen bangsa yang lain untuk bersama-sama merawat keindonesiaan kita. Mengajak warga Muhammadiyah dan para nahdiyyin bersama elemen masyarakat lainnya, membangun kembali keindonesiaan kita dengan semangat berdikari dan gorong royong. 

Saya tidak mengatakan bahwa NU dan Muhammadiyah tidak boleh berpolitik hanya karena bukan Partai Politik. Lebih jauh kami ingin mengatakan bahwa NU dan Muhammadiyah mesti kembali ke dunia politik seperti di era pra-kemerdekaan, tentu dengan konteks kekiniannya. NU dan Muhammadiyah di era pra-kemerdekaan juga bukanlah partai politik, namun sikap politik NU dan Muhammadiyah itulah yang memperkukuh perjuangan kebangsaan kita hingga mampu merebut kemerdekaan. Politiknya adalah politik kebangsaan, yang mempersatukan kekuatan potensi Bangsa. Dan dalam konteks itulah sebagian dari "keindonesiaan" kita dewasa ini mesti diterjemahkan. Penting untuk kami kemukakan pula bahwa catatan ini masih merupakan rangkaian dari catatan sebelumnya yang berharap sosok figur Prof. Haedar Nashir (Ketua Umum PP. Muhammadiyah) diberi kesempatan memimpin Indonesia sebagai Presiden pada Pilpres 2024.

Kami tentu tidak lupa dengan pepatah: "jangan ajari ikan menyelam". Sebab itu kami cukupkan sekian, semoga Allah Yang Maha Sempurna senantiasa menyempurnakan nikmat karunia-Nya bagi kita semua.

Hasanuddin

(Ketua Umum PBHMI 2003-2005)


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI