Ketika Wanita Di Arab Saudi Tak Lagi Wajib Pakai Jilbab

| Jumat, 01 Juli 2022 | 11.31 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Dalam agama, prinsip apa yang esensial dan universal? Aturan apa yang sebenarnya hanya temporer, bisa berubah dan fleksibel saja? Siapa yang memutuskan yang mana yang esensial, yang mana yang temporer? 


Bagaimana jika kita biarkan individu itu sendiri yang memutuskan? Atau yang memutuskan harus ulama?

Inilah jawaban yang standard: yang memutuskan haruslah aturan dalam kitab suci sendiri. Tapi bukankah fakta menunjukkan dua ulama yang sama sama ahli kitab suci dapat berbeda pendapat? 

Lalu apa patokannya untuk tahu pendapat ulama mana yang lebih benar? Apakah dibutuhkan seorang ulama lagi untuk memutuskan ulama mana yang benar? Bagaimana jika dua ulama yang berbeda juga berbeda pendapat soal pandangan ulama mana yang lebih benar?

Inilah renungan dan pertanyaan yang berderet membaca berita yang viral mengenai perkembangan soal kebebasan dan kemandirian wanita di Arab Saudi.

Berbagai media di luar dan juga di Indonesia menggunakan judul yang berbeda. Namun sama isinya.

Wanita di Arab Saudi kini tak lagi harus memakai jilbab di ruang publik. Di jalan- jalan, di kota Arab Saudi, semakin banyak wanita yang menunjukkan potongan rambutnya.

Rambut wanita yang acap terlihat, dan kini trend di ruang publik di Arab Saudi adalah rambut pendek. Atau populernya ini disebut gaya rambut pBoy Cut. (1)

Dari berita itu dapat kita ketahui, yang mendukung wanita tak lagi wajib memakai jilbab di Arab Saudi tak hanya “Raja De Facto” Mohammed Bin Salman (MBS).

Tapi jauh hari sebelumnya, Media Maroko, di tahun 2016, juga menurunkan berita Ulama Besar Arab Saudi. Saya terjemahkan secara bebas berita fatwa ulama itu.

“- Sebuah fatwa baru yang tak mewajibkan pemakaian jilbab telah dikeluarkan minggu lalu oleh seorang ulama Saudi. 

Sang Ulama mengatakan bahwa “Islam tidak mewajibkan wanita untuk memakai jilbab.” Ulama itu juga menambahkan bahwa wanita dapat merias wajah, mengambil gambar untuk diri mereka sendiri dan mempostingnya di jaringan media sosial. 

 Fatwa tersebut dikeluarkan oleh mantan kepala Komisi untuk Promosi Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan di Makkah, Ahmed bin Qassim al-Ghamidi. (2)

-000-

Bagaimanakah efek kondisi mutakhir di Arab Saudi bagi kaum muslimah di Indonesia?

Data dari BPS yang dikutip Jawa Pos (21/3/2019) sekitar 47 persen muslimah Indonesia kini menggunakan jilbab. Dengan kata lain, satu dari dua muslimah Indonesia menggunakan jilbab. (3)

Tak ada masalah dengan data itu sejauh menggunakan jilbab atau tidak sepenuhnya ditentukan oleh kesadaran pribadi. 

Yang menjadi masalah, jika ada institusi yang tak hanya mewajibkan muslimah memakai jilbab. Bahkan yang bukan muslimah pun diharuskan memakai jilbab. (4).

Ini kasus yang terjadi di salah satunya di SMK Negeri 2 Padang, Sumatra Barat.

Perbedaan tafsir soal agama bahkan di kalangan para ulama yang memahami Quran itu tak terhindari. Sejak Nabi wafat, tak ada lagi interpretasi tunggal agama.

Sejarah menyediakan spektrum tafsir begitu luas dari yang paling kiri hingga yang paling kanan. Masing masing tafsir itu punya ulama pendukungnya.

Di Afganistan yang kini mewajibkan wanita menggunakan  jilbab memiliki ulama yang mendukung aturan ini.

Di Arab Saudi yang tak mewajibkan wanita menggunakan jilbab bahkan di ruang publik juga ada ulama pendukungnya.

Kita menyaksikan dengan mata telanjang. Dua negara yang sama mengidentifikasi diri sebagai negara Islam, yang sama sama percaya Al Quran, yang sama sama memiiiki ulama yang ahli soal agama, toh dapat sangat berbeda soal jilbab.

Negara modern tidak ikut campur soal perbedaan tafsir, bahkan perbedaan paham, bahkan perbedaan agama sekali pun. Itu urusan individu dan komunitas.

Itu karena negara modern memisahkan urusan agama dengan urusan public policy. Untuk kasus public policy tertentu bisa saja ia dipengaruhi oleh prinsip keagamaan.

Tapi public policy di dunia modern semakin tergantung pada perkembangan ilmu pengetahuan dan prinsip hak asasi manusia.

Soal ingin memakai jilbab atau tidak, soal yang mana yang benar: Sunni atau Syiah atau Ahmadiyah, soal pernikahan antar agama boleh atau tidak, LGBT boleh atau tidak, biarlah individu dan komunitas yang memutuskan bagi diri masing masing.

Aturan  pemerintahan nasional dibuat untuk semua warga negara, dengan menghormati pilihan tafsir masing- masing. Negara modern juga melarang satu komunitas memaksa tafsirnya, pahamnya, agamanya, bahkan konsep Tuhannya, kepada komunitas dan individu lain.***

Oleh: Denny JA
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI