Persiapkan Restorative Justice bagi Narapidana Dewasa, Ditjenpas Susun Pedoman Libatkan Pakar

| Selasa, 05 Juli 2022 | 08.44 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) kian serius dalam mengupayakan penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice/RJ) bagi narapidana dewasa. Senin (04/07), menggandeng Center for Detention Studies (CDS), Ditjenpas melaksanakan diskusi penyusunan pedoman penerapan RJ dalam penyelenggaraan Pemasyarakatan, di Kantor Ditjenpas, Jakarta Pusat. 


Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Heni Yuwono mengatakan, RJ merupakan salah satu program prioritas yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Menurutnya, institusi penegak hukum lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung telah mulai menerapkan RJ pada kasus tindak pidana anak maupun dewasa. 

“Kita berdiskusi hari ini dengan mengumpulkan pakar untuk membuat kerangka restorative justice Pemasyarakatan, khususnya bagi narapidana dewasa dengan tetap menjaga marwah Pemasyarakatan dan independensi pembinaan warga binaan pemasyarakatan (WBP),” tutur Heni. 

Sementara itu, Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (Bimkemas PA), Pujo Harinto mengatakan, optimisme Pemasyarakatan dalam pelaksanaan RJ bagi narapidana dewasa ini, berkaca pada keberhasilan RJ pada perkara Anak. Pasalnya, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), angka pemidanaan penjara pada Anak berhasil ditekan. 

Berdasarkan data Direktorat Bimkemas PA, di tahun 2020, jumlah pemenjaraan anak turun menjadi 25%, di mana 75% lainnya berhasil diselesaikan dengan putusan nonpenjara. Jumlah ini jauh menurun bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana puncaknya pada 2013 putusan penjara Anak mencapai 90%. 

Pujo menegaskan, konsep utama RJ adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. “Untuk itu, kita mencarikan bagaimana memperlakukan para pelanggar hukum dengan tujuan utama memulihkan dengan tetap mempertimbangkan HAM masing-masing orang,” tutur Pujo. 

Menurut Pujo, RJ sangat berpotensi diterapkan pada kasus kejahatan yang tidak terlalu berat. Terlebih saat ini, semangat punitive (penghukuman) masyarakat telah menyebabkan keadaan kelebihan penghuni (overcrowded) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan). Overcrowded ini menjadi sumber utama berbagai permasalahan Pemasyarakatan, seperti pelarian, kerusuhan, penyelundupan narkoba, pungutan liar, penyakit menular, residivisme, hingga membengkaknya anggaran penyelenggaraan Pemasyarakatan. 

Menurutnya, penyelenggaraan RJ di Pemasyarakatan akan diarahkan pada tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, hingga post-ajudikasi. Di Pemasyarakatan, sebenarnya RJ sudah diimplementasikan, di antaranya melalui keberadaan PK dan Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (Pokmas Lipas). 

“Kita berharap, dengan sinergi dan harmonisasi yang baik antara seluruh institusi penegak hukum, pelaksanaan restorative justice di Indonesia dapat terlaksana dan menyusul keberhasilan sistem Pemasyarakatan Belanda,” tandasnya.

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI