Tuntut UU Ciptaker Dicabut, Aliansi Sejuta Buruh Bakal Demo 10 Agustus

| Selasa, 12 Juli 2022 | 10.14 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Para pekerja di seluruh Indonesia berencana melakukan aksi unjuk rasa di seluruh Indonesia untuk mendesak pemerintah mencabut UU Omnibus Lawa Cipta Kerja, pada 10 Agustus 2022 mendatang. Mereka tergabung pada Aliansi Aksi Sejuta Buruh. 


Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat mengatakan, UU Cipta Kerja yang sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) inkonstitusional tersebut sangat merugikan masyarakat dan kaum pekerja. Menurutnya, pihaknya tidak akan berkompromi dan berdialog dengan pemerintah jika UU Ciptaker tersebut belum dicabut.

“Tidak ada kompromi. Yang kompromi (dengan pemerintah) penghianat,” ujar Jumhur saat konfrensi pers di Gedung Joang, Jakarta Pusat, Senin (11/7/2022).

Menurutnya, aksi unjuk rasa ini dilakukan karena pemerintah maupun DPR tidak menghiraukan berbagai aksi dan dialog, baik sebelum dan sesudah disahkannya UU tersebut.

"Hal ini malahan direspon dengan mensahkan revisi UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga bisa menjadi alat untuk meegitimasi UU omnibus Law yang telah dinyatakan Inkonstitusional bersayarat oleh MK," lanjutnya.

Aliansi aksi sejuta buruh cabut UU Omnibus Law Cipta Kerja terdiri dari 40 organisasi buruh, konfederasi buruh, organisasi ojek online, buruh bongkar muat dan organisasi buruh lainnya di seluruh Indonesia.

"Aliansi Aksi Sejuta Buruh Cabut UU Omnibus Law Cipta Kerja menuntut pemerintah dan DPR untuk mencabut UU Omnibus Law Cipta Kerja," paparnya. 

Seperti kita ketahui bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja ini sudah bermasalah sejak awal pembentukannya dan hal itu tergambar dengan jelas dari reaksi yang timbul dari banyak komponen masyarakat. Karenanya bisa dikatakan bahwa Pemerintah bersama DPR telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam pembentukan UU tersebut. Tanda-tanda bahwa pemerintah bersama DPR akan tetap melanjutkan cara-cara akrobatik terlihat pada proses revisi UU PPP yang prosesnya sangatcepat.

“Bila kita menyimak Putusan MK tentang UU Omnibus Law Cipta Kerja, akan terlihat bahwa tidak mungkin UU ini menjadi Konstitusional, bahkan setelah revisi UU PPP disahkan kecuali diulang dari awal sejak mulai perencanaan dan penyusunannya. Salah satu pelanggaran yang tidak memungkinkan UU Omnibus Law Cipta Kerja dapat disahkan adalah Putusan MK yang menyatakan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut melanggar asas yang tercantum dalam UU PPP,” bunyi keterangan tertulisnya. 

Pelanggaran asas tersebut adalah tidak secara memadai dilibatkannya berbagai pemangku kepentingan termasuk SP/SB sebagai representasi pekerja/buruh dalam proses pembentukannya.

Secara gambling UU Omnibus Law Cipta Kerja ini melanggar Pasal 5 huruf (g) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu mengabaikan asas keterbukaan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan. Sehingga sebagai pihak terdampak langsung dalam hal ini pekerja/buruh tidak dapat memberikan masukan baik dalam tahap perencanaan dan penyusunan draft/naskah maupun saat pembahasan di DPR.

Dengan mengabaikan asas keterbukaan itu maka Materi Muatan UU Cipta Kerja ini banyak melanggar kaidah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana materi-materi muatannya di antaranya mengabaikan asas pengayoman, asas keadilan dan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan di mana setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan dan rasa keadilan sehingga menciptakan ketenteraman dalam masyarakat.

Akibat proses pembentukan UU yang banyak melanggar asas sebagaimana telah disebutkan diatas, maka pekerja/buruh merasakan ketidakadilan serta hilangnya perlindungan dari negara dalam masa bekerja karena status kerja yang tidak ada kepastian akibat kerja kontrak, alih daya (outsourcing) dan ancaman PHK yang setiap saat menghantuinya serta aturan yang menurunkan standar kesejahteraan. Tentu saja hal ini akan menyebabkan terganggunya keseimbangan, keserasian dan keselarasan serta produktivitas dalam hubungan industrial.

Di samping itu UU Omnibus Law Cipta Kerja juga telah mengabaikan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena mulai dari perencanaan dan penyusunannya tidak melibatkan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit dan ini artinya tidak terjadi proses komunikasi, konsultasi, musyawarah secara tuntas sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (19) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Demikian juga halnya UU Omnibus Law Cipta Kerja telah mengabaikan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) & (2), pasal 25 ayat (1) & (2), pasal 27, yang pada dasarnya SP/SB berfungsi memperjuangkan kepentingan anggotanya agar sejahtera dan berperan dalam mewakili pekerja/buruh dalam LKS Tripartit.

Faktanya SP/SB tidak dilibatkan dalam perencanaan penyusunan draft/naskah RUU Cipta Kerja padahal ini menyangkut nasib lebih dari 56 juta pekerja formal beserta keluarganya yang artinya juga pasti mempengaruhi kesejahteraan rakyat secara umum.
Dari uraian di atas, ALIANSI AKSI SEJUTA BURUH CABUT UU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA menuntut Pemerintah dan DPR untuk mencabut UU Omnibuslaw Cipta Kerja No. 11 tahun 2020. 

“Bila tuntutan ini dikabulkan maka SP/SB siap berdialog secara konstruktif dari awal untuk ikut serta menyempurnakan Kebijakan Nasional tentang Ketenagakerjaan baik yang akan diatur dalam sebuah UU maupun aturan-aturan turunannya,” pungkasnya. 


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI