Agama: Bahasa Ibu

| Kamis, 01 Desember 2022 | 07.44 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Saudaraku, agama bagiku ibarat rumah tanda pertama tempat aku dilahirkan. Aku tidaklah terlahir di ruang vakum tanpa alas simbolisme. Begitu terlahir, aku langsung ditimang lantunan azan; bagi pemeluk agama lain, mungkin dengan doa dan ritual sejenis. 


Sejak itu, agama menjadi bahasa ibu spiritualitas. Simbolisme pertama yg menuntunku utk bisa mengenali tanda dan menafsir dunia; simbolisme yg memberiku pandangan dunia menyeluruh, manautkan yg nyata dan niskala; simbolisme yg memberiku seperangkat tata bahasa ttg tata laku yg baik; simbolisme yg membuatku merasa nyaman menjalin komunikasi dan saling pengertian dlm komunitas iman.

Betapapun, kusadari sepenuhnya, di luar sana ada banyak manusia yg terlahir dgn bhs ibu berbeda. Untuk bisa saling bercakap membangun kesepahaman mewujudkan kebahagiaan bersama, aku hrs bisa mengenali bhs mereka, atau memerlukan bantuan lingua franca.

Agar bisa membangun lingua franca, masing-masing pemeluk agama hrs dpt menyibakkan perbedaan kulit harfiyah, dgn kemampuan menangkap maksud dan substansi. 

Apabila kita dpt menyibakkan cabang-ranting harfiyah dari berbagai agama agar dpt menjangkau inti batang pohon yg tegak lurus menjulang ke langit, kita akan dipersatukan dgn seluruh pemeluk agama dlm akar tunjang yg menghunjam ke bumi kebajikan hidup yg sama dan menjunjung keluhuran langit spiritualitas yg sama.

Untuk bisa menangkap inti persamaan, kita hrs dapat meninggikan jangkauan visi kesadaran. Bila kita melihat lanskap realitas dari kerendahan penglihatan, yg terlihat hanyalah keragaman jenis pohon. Namun, dari ketinggian penglihatan elang, segala perbedaan pohon tampak sbg kesatuan hutan. Cakrawala kehidupan tampak terhampar luas, rangkaian aksi-reaksi terdeteksi, ragam realitas tersambung.

Kematangan hidup memijarkan kesanggupan menghargai perbedaan seraya merajut persamaan. Kearifan Nusantara memuliakannya dlm sesanti "Bhinneka Tunggal Ika". Bahwa beda itu (bhinna ika), sama itu (tunggal ika). Sejauh berjalan di atas jalan kebenaran dan kebaikan, akan selalu ada titik-temu; karena tak ada jalan darma kebajikan yg mendua dalam tujuan (tan hana dharma mangrwa). 

Oleh: Yudi Latif
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI