Demokrasi Pluralis, Keniscayaan Untuk Indonesia

| Kamis, 22 Juni 2023 | 08.49 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Tantangan untuk memajukan Bangsa Indonesia, agar setara dengan negara-negara yang telah maju tatanan demokrasinya, perlu diakselerasi. 


Tuhan memberikan modal bagi Bangsa Indonesia berupa keanekaragaman hayati flora maupun fauna. Keanekaragaman bahasa yang menjadi sumber keadaban bangunan peradaban, menciptakan aneka adat kebiasaan masyarakat. Hasilnya terwujud ratusan suku-suku Bangsa, dipersatukan oleh alam Nusantara nan indah dengan kekayaan hasil bumi, laut maupun udara yang tiada banding. 

Modal yang diberikan Allah itu tentu mesti kita syukuri menurut agama dan kepercayaan kita masing-masing sebagai warga negara Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa.

Tidak benar bahwa demokrasi adalah tradisi yang kita peroleh atau diberikan oleh Bangsa-Bangsa Barat. Demokrasi telah mentradisi dan menjadi kekayaan nenek moyang kita di Nusantara. Variannya sangat banyak, sebagai konsekuensi logis dari suatu peradaban yang telah berumur panjang. 

Masa kolonialisme hingga pasca kolonialisme, Indonesia sebagai sebuah entitas baru dalam pentas peradaban, memang memerlukan adaftasi atas perubahan-perubahan lingkungan strategisnya. Bagaimanapun juga survivalitas hanya milik mereka yang mampu beradaftasi dengan perubahan-perubahan.

Pemerintahan Demokrasi

Penyelenggaraan pemerintahan sebagai bagian dari upaya mewujudkan tujuan bernegara, menjadi pilihan para pendiri Bangsa. Sebuah langkah bijaksana guna merajut kebersamaan ratusan suku bangsa, dalam sebuah gerak maju menjemput impian Indonesia Raya.

Pelaksanaan Pemilu dalam rangka mengisi struktur fungsi kelembagaan negara dan pemerintahan, tentu saja merupakan bagian penting dari penyelenggaraan demokrasi. Dan oleh karenanya, Pemilu mesti dilaksanakan dengan cara-cara yang demokratis, mencerminkan prinsip-prinsip keadaban sosial, sebagaimana yang telah diatur dalam UU Pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pemberlakuan sistem proporsional terbuka baru-baru ini, mengukuhkan putusan MK sebelumnya (tahun 2008), prihal sistem pemilihan proporsional dengan daftar terbuka. 

Dengan demikian, gerak menuju sistem demokrasi pluralis akan kita teruskan, sebagai suatu bentuk kesadaran bersama akan modalitas kebangsaan kita, demikian pula dengan tantangan yang akan kita hadapi di masa-masa mendatang.

Demokrali pluralis tentu saja memerlukan etika politik demokrasi  yang tinggi dari segenap aktor yang terlibat. Etika demokrasi pluralis menjadi niscaya karena transparansi dan akuntabilitas, sistem politik merupakan sebuah keharusan. Sistem yang transparan, akuntable, kredible sudah tentu membutuhkan aktor yang memiliki integaritas yang baik. Pada aktor yang berintegritas baik inilah jaminan etika demokrasi pluralis itu dapat ditegakkan.

Kita tentu mengharapkan para penyelenggara Pemilu, KPU maupun Bawaslu, termasuk pihak-pihak yang "diperbantukan" bagi kesuksesan pelaksanaan tugas penyelenggara Pemilu, benar-benar menjaga integritas pribadi mereka. Jujur, adil, disiplin, trasparan dan bertanggungjawab atas suksesnya penyelenggaraan Pemilu sebagaimana yang digariskan oleh Undang-Undang.

Dalam konteks inilah kita bisa memahami relevansi kritik berbagai pihak terhadap sikap politik Jokowi yang ingin "cawe-cawe" dalam kapasitasnya sebagai seorang Presiden. Tidak kurang kami membaca kritik pak SBY, pak JK, Pimpinan sejumlah Ormas, dan para tokoh-tokoh masyarakat lain atas prilaku Jokowi ini. 

Tidak sepatutnya, tidak pantas seorang Presiden itu "cawe-cawe" seenak udelnya. Gerak langkah seorang Presiden baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahaan, diatur oleh Undang-Undang. Presiden semestinya memahami dan melaksanakan amanah yang ditugaskan oleh Undang-Undang.

Mengajak Ganjar dan Prabowo makan siang di Istana Negara tentu bagian yang disebut "cawe-cawe" oleh Jokowi itu. Tidak etis hal demikian di pertontonkan. Sementara ada bakal Calon Presiden lain, dalam hal ini Anies Baswedan tidak diperlakukan setara dengan dua calon presiden diatas.

Memperhatikan etika politik demokrasi, prinsip-prinsip demokrasi, maupun aspek konstitutionalitas dari asas Pemilu  yang Luber dan Jurdil, kita dapat dengan mudah berkata  bahwa Jokowi adalah variable tangangan yang mesti diatasi dalam membangun demokrasi pluralis yang substantib. Prilaku Jokowi mesti kita sebut, tidak terpuji dan karena itu tidak patut diteladani dalam upaya Bangsa Indonesia membangun sistem demokrasi pluralis yang sehat dan kuat. 

Kita mesti mendorong seorang Calon Presiden yang lebih baik pada Pilpres 2024.

Semoga Allah swt memberikan pertolongan-Nya kepada kita semua.

Oleh: Hasanuddin
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI