Bernasindonesia.com - Optimalkan semua potensi menghadapi dampak cuaca ekstrim dengan mengupayakan langkah antisipatif dan adaptif, serta menyediakan kebijakan yang dibutuhkan untuk menjamin ketahanan pangan, kesehatan dan ekonomi.
"Kita harus mengoptimalkan semua potensi yang kita miliki untuk bisa menjawab berbagai ancaman terkait dampak perubahan iklim dan kemarau panjang yang diperkirakan akan melanda Indonesia," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi Puncak Ancaman El Nino di 2023, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (26/7).
Diskusi yang dimoderatori, Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D (Kepala Pusat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika/ BMKG), Dr. Rustian, S.Si., Apt., M.Kes (Plt. Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana /BNPB) dan Dr. Rachmi Widiriani (Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan, Badan Pangan Nasional), sebagai narasumber.
Selain itu, hadir pula Avianto Amri, Ph.D (Ketua Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia/MPBI) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, catatan World Meteorological Organization (WMO) pada Mei 2023 menyebutkan, suhu global cenderung meningkat dan mencapai rekor baru dalam lima tahun mendatang. Hal itu dipicu oleh gas rumah kaca yang memerangkap panas dan secara alami menyebabkan terjadinya peristiwa El Nino
Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat dalam setiap fenomena cuaca, seperti dampak El Nino, kerap kali sulit untuk dihindari dampaknya. Informasi terkait cuaca sangat dibutuhkan.
Diakui Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, saat ini informasi BMKG cukup akurat sehingga bisa menjadi acuan bagi masyarakat luas dalam menyikapi dampak sejumlah fenomena cuaca yang terjadi.
Berdasarkan data tersebut, menurut Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, bagaimana kita bersikap dan penerapan strategi yang tepat, sangat menentukan dalam menekan dampak dari perubahan iklim dan El Nino yang terjadi.
Berbagai upaya dalam menyikapi dampak perubahan iklim itu, menurut Rerie, juga harus ditempatkan sebagai bagian pemenuhan SDGs No. 13 yaitu penanganan perubahan iklim dengan mengambil tindakan sesegera mungkin untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya.
Pada kesempatan yang sama, Plt. Sekretaris Utama BNPB, Rustian mengutip pidato Presiden Joko Widodo yang menyebutkan bahwa apa yang ditakuti dunia saat ini adalah bukan lagi pandemi atau perang, tetapi perubahan iklim. Karena perubahan iklim menyebabkan frekuensi bencana meningkat.
Menurut Rustian perubahan iklim menyebabkan bencana hidrometeorologi yang menyebabkan kekeringan, peningkatan suhu, hingga kebakaran hutan.
Catatan BNPB, tambah dia, pada rentang 1 Januari 2023-25 Juli 2023 tercatat 2034 kejadian bencana. Pada pekan terakhir Juli 2023, bencana di Indonesia masih diwarnai oleh kebakaran hutan, banjir, puting beliung, kekeringan dan tanah longsor.
Menurut Rustian, pada rentang Agustus-September 2023 masyarakat harus mewaspadai dampak El Nino.
Pada kesempatan itu, dia berharap, dalam menyikapi dampak perubahan iklim, pemerintah dan masyarakat antara lain harus mengutamakan pencegahan, infrastruktur harus tersedia hingga skala kecil dan mencari solusi permanen agar tidak ada pembukaan lahan secara membakar.
Kepala Pusat BMKG, Dwikorita Karnawati mengungkapkan bahwa fenomena iklim dan cuaca di Indonesia itu unik, karena dipengaruhi Samudera Hindia dan Samudera Pacifik serta Benua Asia dan Australia.
Saat ini, menurut Dwikorita, iklim Indonesia dipengaruhi oleh angin Monsoon yang dingin dari Australia.
Namun, tambahnya, karena suhu muka air Samudera Pacifik lebih panas daripada suhu permukaan Samudera Hindia, angin bergerak ke arah Samudera Pacifik membawa uap air yang ada di Indonesia sehingga potensi kekeringan pun meningkat.
Kondisi tersebut, menurut Dwikorita, harus diantisipasi sejak dini. Meski diakuinya, fenomena El Nino tahun ini diperkirakan tidak separah tahun-tahun sebelumnya.
Meski begitu, tambah dia, BMKG tetap melakukan observasi, monitoring, prediksi terkait kondisi cuaca dan iklim untuk 10 hari ke depan, serta menyampaikan informasi tersebut kepada masyarakat.
Pada kesempatan itu, Dwikorita berpesan, agar masyarakat memanfaatkan air secara bijaksana di tengah potensi dampak kekeringan yang diperkirakan terjadi.
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan, Badan Pangan Nasional, Rachmi Widiriani mengungkapkan ada empat hal yang harus diantisipasi dalam kaitan ketersediaan pangan yaitu kondisi geopolitik, perubahan iklim, perubahan kebiasaan konsumen pangan, dan peningkatan penyebaran penyakit hewan ternak.
Melihat perkiraan ancaman El Nino itu, Rachmi berpendapat, langkah antisipasi harus segera diambil agar tidak terjadi gangguan ketersediaan pangan.
Badan Pangan Nasional, ujar dia, bertugas memperkuat cadangan pangan di tingkat pusat dan daerah. Jangan sampai, tegas Rachmi, terjadi kerawanan pangan.
Status ketahanan pangan di Indonesia, ujar Rachmi, berada pada posisi 63 dari 113 negara. Sejumlah upaya yang dilakukan Badan Pangan Nasional dalam mengupayakan ketahanan pangan, tambah dia, antara lain menggelar bazar pangan murah dan penguatan cadangan pangan, agar harga pangan lebih terjangkau bagi masyarakat.
Menurut Rachmi, pada 2022 prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan atau Prevalence of Undernourishment (PoU) Indonesia yaitu proporsi dari suatu populasi tertentu dengan konsumsi energi sehari-hari dari makanan tidak cukup untuk memenuhi tingkat energi yang dibutuhkan untuk hidup normal, aktif dan sehat, tercatat 10,21%.
Padahal, ujarnya, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada 2023 prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan ditargetkan hanya 5%.
Rachmi mengungkapkan dengan kondisi tersebut, setiap ada peringatan dari BMKG pihaknya juga ikut mengkoordinir antar kementerian dan lembaga terkait dalam menjaga ketersediaan pangan.
Rachmi juga mendorong pemanfaatan pangan lokal di setiap daerah, sebagai bagian dari upaya memperkuat ketahanan pangan nasional.
Ketua MPBI, Avianto Amri berpendapat terkait sejumlah potensi ancaman perubahan iklim itu kita bisa saja bersikap bahwa semua kondisinya aman dan tenteram, tetapi kita juga harus bersiap pada skenario terburuk.
Menurut Avianto, musim kemarau tidak bisa dicegah, yang bisa diantisipasi adalah dampaknya.
Langkah penting menghadapi El Nino, tambah Avianto, adalah bagaimana informasi terkait iklim dan cuaca dapat disampaikan dan dipahami dengan baik oleh masyarakat, termasuk dampak dan risikonya.
Upaya mendorong partisipasi generasi muda dalam penyebaran informasi cuaca, menurut dia, merupakan langkah strategis mengingat dekatnya kelompok milenial dengan gawai dan informasi.
Pada kesempatan itu, wartawan senior, Saur Hutabarat berpendapat, sejumlah lembaga terkait penanganan perubahan iklim dan dampaknya sudah menunjukkan kinerja yang baik.
Masyarakat, ujar Saur, harus mengikuti dan tidak mengabaikan informasi terkait perubahan cuaca dan dampaknya, yang disampaikan sejumlah lembaga tersebut.
Informasi untuk menghemat air dan panen hujan, tambah dia, bukan semata anjuran dalam menghadapi kedaruratan, tetapi karena air adalah sumber kehidupan.