Bernasindonesia.com - The greening of religions, agama yang semakin hijau, yang semakin pro dan ramah lingkungan hidup.
Demikianlah terminologi yang ditulis oleh Lynn White, di tahun 2016, di jurnal akademik. Ia menggambarkan kecenderungan banyak agama kian lama kian ditafsir untuk lebih ramah kepada lingkungan hidup.
Ia melihat gejala lingkungan hidup saat itu semakin lama semakin rusak, semakin dihancurkan. Itu tak lagi bisa diatasi semata-mata secara teknis belaka.
Kita harus menyelam lebih jauh lagi ke akar dari sebab-musabab itu. Dan sampailah kita tidak hanya pada filosofi lingkungan hidup. Tapi kita juga tiba pada teologi lingkungan hidup.
Ini awal Lynn White membuat istilah the greening of religion’s hypothesis.
Mari kita mulai dengan berita. Di tahun 1992, Deklarasi Rio yang diinisiasi PBB sampai pada kesimpulan penting.
Bahwa pembangunan ekonomi hanya akan berkelanjutan jika disatukan dengan proteksi kepada lingkungan hidup. Latar belakangnya, saat itu di tahun 80an dan 90an, kita melihat hutan-hutan terbakar, polusi di air, polusi di udara. Penyakit lahir dari rusaknya aneka lingkungan hidup.
Akibat kampanye PBB, menyebarlah berbagai cara untuk menafsir ulang berbagai ajaran agama. Maka kemudian dibedakan antara teologi lama dan teologi tafsir baru.
Dalam teologi lama, konsepnya: manusia mendapat mandat dari Tuhan untuk menguasai bumi, beserta isinya. Akibat mandat ini, manusia seolah-olah menjadi satu makhluk di atas bumi.
Manusia pun kemudian tidak hanya menikmati bumi, bahkan juga merusak bumi.
Sedangkan teologi baru berbeda. Ia meyakini bahwa hewan, sungai, pohon, udara adalah saudara-saudara kita. Mereka bagian dari keluarga kita.
Dalam perspektif teologi baru, manusia bukan penguasa Alam, bukan penguasa lingkungan. Tapi semua lingkungan itu bagian dari keluarga kita.
Satu tokoh agama yang sangat populer soal ini adalah Fransiskus dari Asisi. Ia hidup sejak lama, di tahun 1181 hingga 1226. Kini Fransiskus dari Asisi dijuluki Santo lingkungan hidup.
Hari 4 Oktober, Hari Fransiskus Asisi, diperingati tidak hanya untuk mengapresiasi hidupnya yang sederhana. Tapi juga untuk teologinya memandang alam semesta.
Ia menganggap lingkungan hidup, hewan, pohon, sungai, menjadi bagian dirinya.
Jika kita ingin menggairahkan agama yang pro lingkungan hidup, tiga prinsip utamanya.
Pertama: prinsip kesatuan. Bahwa manusia, lingkungan sekitar, hewan, pohon, dan sungai-sungai itu adalah satu kesatuan.
Mereka keluarga kita. Pohon itu anggota badan kita. Sungai itu bagian dari kaki kita. Bumi itu ibu kita. Dengan perspektif seperti ini akan lahir passion untuk merawat lingkungan hidup.
Kedua: prinsip keseimbangan. Ada yang kita tebang, tapi ada yang kita tumbuhkan. Ada yang kita ambil, tapi ada yang kita rawat, Ada yang kita rusak karena keperluan kita, tapi kita lakukan juga penghijauan, agar terjadi keseimbangan.
Prinsip ketiga, keberlanjutan. Pembangunan harus berlanjut. Itu hanya mungkin jika alam diproteksi, lingkungan hidup dicintai, dan bumi dihijaukan.
Hari ini kita kumpul teman-teman ESOTERIKA, Forum Spiritualitas. Sekalian kita memperingati hari Fransiskus Asisi. Kita gairahkan agama yang semakin pro lingkungan hidup. The greening of religions. ***
Oleh: Denny JA