Bernasindonesia.com - Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Achmad Ru'yat menyampaikan solusi soal kelangkaan pupuk bersubsi di sejumlah daerah akhir-akhir ini. Dia mengatakan banyak petani yang melengeluhkan kelangkaan pupuk tersebut setelah dirinya berkeliling ke sejumlah Daerah di Jawa Barat.
"Dua minggu lalu saya ke Jonggol Kabupaten Bogor, yang saya jumpai diantaranya kelangkaan pupuk dan kekeringan. Itu sebelum hujan belakangan ini. Kemudian di wilayah pertanian lain di Sukamakmur, Pamijahan dan sekitarnya, juga Jawa Barat secara realitas di lapangan ada kelangkaan pupuk di Karawang, Subang, Garut, dan lainnya,” ujar Ru’yat pada kanal youtube “Berisik” saat podcast dengan host HMU Kurniadi, Rabu (6/12/2024). Yang bersangkutan sudah mengijinkan media mengutip.
Menurut Ru’yat, pemerintah mestinya tidak membiarkan kelangkaan pupuk terjadi. Sebab, ketika terjadi kelangkaan pupuk maka masyarakat yang bergantung pada pupuk bersubsi terpaksa akan membeli pupuk komirsial. Pupuk komirsial ini nilai jualnya lebih tinggi dari pupuk bersubsidi dan itu merugikan petani.
“Karena penghasilan jual pasca panen itu, petani, nilai tukar petani, jadi di dalam petani ada nilai tukar petani, dapat 100 berarti break even point, rugi. Karena kalau punya modal 100 di depositkan dengan suku bunga 8 persen maka 108 point. Jadi dikatakan untung kalau nilai tukar petaninya di atas 115 point,” katanya.
Ru’yat kemudian mengajak diskusi Kepala Dinas Perkebunan Jawa Barat soal kelangkaan pupuk bersubsidi tersebut. Dia juga melakukan koordinasikan dengan anggota Komisi IV DPR RI. Kepada anggota DPR tersebut, Ru’yat menjelaskan soal keluhan masyarakat yang kesulitan membeli pupuk bersubsidi.
“Akhirnya setelah saya dalami ternyata hasil maping kebutuhan se Indonesia pupuk subsidi ini harus memenuhi 6 juta haktar karena yang disubsidi itu yang punya lahan maksimal 2 haktar, ternyata hitungan Kementan itu sampai menyentuh 60 triliun,” jelasnya.
“Sementara hasil kajian di komisi IV DPR menurut Dr Slemat itu 80 triliun. subsidi 70 triliun. 6 juta haktar 2024. Ternyata setelah pembahasan, politik anggaran yang ditetapkan DPR, untuk subsidi pupuk itu hanya 26 triliun. jomplang sekali. Berarti ada kesenjangan antara yang dibutuhkan dan ketersediaan pupuk subsidi sekitar 50 triliun. Makanya selalu terjadi kelangkaan,” tambahnya.
Kenaikan anggaran untuk pupuk bersubsidi, menurut Ru’yat, tidak menyelesaikan masalah. Apalagi kenaikan anggaran tersebut tidak signifikan. Menurutnya, anggaran untuk pupuk bersubsidi hanya naik Rp 2 Triliun pada 2024 mendatang. Padahal, hitungan Komisi IV DPR kebutuhan mencapai Rp 70 triliun.
“Memang betul ada kenaikan dari APBN 2023, yang ditetapkan waktu itu 24 triliun. naik hanya 2 triliun. Yang membingungkan, memang naik tapi tak bisa memenuhi kebutuhan,” paparnya.
Mantan Wakil Walikota Bogor ini kemudian berharap pemerintah hadir dan memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya untuk pupuk bersubsidi. Jika pemerintah memenuhi kebutuhan pupuk bersubsidi, Ru’yat meyakini masyarakat akan sejahtera. pemerintah jangan berbisnis kepada rakyatnya.
“Makanya bagaimana negara mensubsidi supaya terjadi pelayanan kepada masyarakat dan masyarakat sejahtera. Kemudian ada privat sektor, dunia usaha di sana ada BUMN, BUMN saya perhatikan ada yang memproduksi pupuk komirsil, seperti Pupuk Kujang, yang orientasinya keuntungan, tapi bagi petani memberatkan. Karena itu kepada BUMN saya berharap boleh untung tapi jangan gede-gede. Jangan sampai ada kesenjangan yang terlalu jauh antara pupuk bersubsidi dengan pupuk komirsial,” pungkasnya.