Membangun Manusia Indonesia Dengan Program Makanan Bergizi

| Selasa, 25 Juni 2024 | 11.04 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Gagasan presiden terpilih Prabowo Subianto tentang program penyediaan Sarapan Bergizi Gratis untuk anak, dan program membuka akses seluas-luasnya bagi anak usia sekolah mengenyam pendidikan, sejatinya melekat pada kewajiban konstitusional negara menyejahterakan rakyat sebagaimana ditetapkan oleh konstitusi.  Dua program ini bisa direalisasikan  dengan meningkatkan efektivitas pemanfaatan APBN melalui refokusing anggaran, penyesuaian skala prioritas program, hingga mempersempit ruang dan peluang korupsi. 


Tema sentral dan esensi dari dua gagasan Prabowo itu tak lain adalah pembangunan manusia Indonesia, sebuah kewajiban konstitusional negara yang sudah begitu sering dijadikan program tapi tak pernah direalisasikan dengan penuh kesungguhan. Hari-hari ini, pemerintah dan masyarakat Indonesia masih harus menerima fakta tentang stunting, fakta jutaan anak putus sekolah hingga masih tingginya angka kematian ibu-bayi. Rangkaian masalah ini menjadi bukti yang menjelaskan bahwa pembangunan manusia Indonesia belum dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, terutama jika diperbandingkan dengan pembangunan sektor lain. 

Lebih dari itu, rangkaian fakta permasalahan itu membuat siapa saja amat prihatin. Betapa tidak; masih ada jutaan anak menderita kekurangan gizi dan lainnya tidak mampu melanjutkan sekolah, ketika pembangunan sektor lain  telah memampukan sebagian besar warga bangsa beradaptasi dengan perubahan zaman dan melakoni digitalisasi pada berbagai aspek kehidupan dewasa ini.  Maka, menjadi sangat relevan jika Prabowo mengajukan gagasan tentang program penyediaan Sarapan Bergizi Gratis untuk anak, dan program membuka akses seluas-luasnya bagi anak usia sekolah mengenyam pendidikan.

Pijakan untuk memahami relevansi dua gagasan Prabowo adalah Konstitusi negara. Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 menegaskan dan memerintahkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Maknanya, UUD menetapkan tanggungjawab negara tentang kewajiban memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin, termasuk gizi. Faktanya, kerja bertahun-tahun untuk menurunkan stunting tak pernah menghasilkan capaian yang memuaskan.

Tentang kewajiban negara menyediakan pendidikan bagi warga negara ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”  Selain itu, ketetapan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 pun tampak amat relevan dengan era terkini. Pasal ini menetapkan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Kewajiban konstitusinal negara itu akan direalisasikan dengan penuh kesungguhan oleh Prabowo selaku presiden terpilih, sebagaimana yang dia janjikan semasa kampanye pemilihan presiden beberapa bulan lalu.  Selain pro-kontra, gagasan Prabowo ini pun ditanggapi dengan beragam sudut pandang. Paling utama, dimunculkan pertanyaan tentang bagaimana mendanai program dimaksud, terutama tentang program penyediaan Sarapan Bergizi Gratis. Tema pertanyaan ini dibahas berbagai kalangan, karena program ini dinilai sangat mahal. Belum lagi soal pelaksanaannya di lapangan. 

Memang, dua gagasan ini butuh anggaran besar. Tapi, kalau program pembangunan fisik boleh menelan biaya besar, mengapa pembangunan manusia tidak boleh mendapatkan perlakuan yang sama?  Perhitungan sementara memunculkan perkiraan anggaran sebesar Rp 350 triliun hingga Rp 400 triliun untuk membiayai sarapan bergizi gratis itu. Volume anggarannya besar karena menargetkan penyediaan makanan untuk 57 juta pelajar, meliputi siswa pendidikan anak usia dini (PAUD), hingga SMU plus siswa pondok pesantren. Sedangkan untuk membuka akses bagi anak usia sekolah untuk mengenyam pendidikan, bisa diwjudkan dengan meningkatkan efektivitas pemanfaatan alokasi 20 persen anggaran pendidikan di APBN (anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).  

Bagi Presiden terpilih yang akan dilantik Oktober 2024, sudah barang tentu akan ada tantangan untuk bisa merealisasikan program Sarapan Bergizi Gratis, utamanya jika APBN 2025 – karena beberapa alasan -- belum bisa mengalokasikan anggaran untuk membiayai program dimaksud. Namun, bukan berarti tidak ada peluang. Presiden terpilih bersama tim ekonominya dituntut kreatif dalam mengelola APBN 2025 agar program prioritas bisa direalisasikan.

Ada beberapa opsi yang bisa dipilih dan dijalankan oleh presiden. Mulai dari refokusing anggaran, meningkatkan efektivitas pemanfaatan APBN dengan tidak menolerir pemborosan, penjadualan utang hingga lebih bersungguh-sungguh menutup ruang korupsi. Termasuk mengubah atau menyesuaikan skala prioritas program.  Program atau proyek yang tak berkait langsung dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat hendaknya ditunda. Termasuk dalam refokusing anggaran adalah menunda atau membatalkan perjalanan dinas, meminimalisir biaya rapat, honorarium, serta belanja atau pengeluaran lain yang nyata-nyata tidak produktif.

Tentang refokusing APBN, tim ekonomi Prabowo bisa menyimak pengalaman atau contoh kasus ketika dampak Pandemi Covid-19 mendorong pemerintah melakukan realokasi dan refokusing APBN 2020. Berdasarkan kalkulasi saat itu, pemerintah butuh tambahan dana Rp 695,2 triliun untuk tiga fokus pembiayaan, meliputi  pembiayaan kesehatan publik, perlindungan sosial bagi kelompok masyarakat tidak mampu dan pemberian dukungan bagi dunia usaha. Sebagian besar dana tambahan itu didapatkan dari efisiensi dan refokusing anggaran pada Kementerian dan Lembaga (K/L).

Tak kalah pentingnya adalah menutup dan mempersempit ruang korupsi untuk menjadikan setiap sen uang negara bermanfaat untuk rakyat. Dengan bersungguh-sungguh menutup ruang korupsi, pemerintahan presiden terpilih nantinya akan memperoleh tambahan kekuatan untuk membiayai kedua program prioritas itu. Untuk keperluan itu, presiden patut mendorong pejabat kepala inspektorat jenderal pada semua kementerian dan lembaga untuk menjalankan fungsinya dengan efektif di bidang pengawasan.

Nilai kekayaan negara yang hilang karena tindak pidana korupsi sangat besar. Sepanjang periode 2004 – 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setidaknya telah menangani 1.512 kasus. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa kerugian negara mencapai Rp 238,14 triliun selama 10 tahun terakhir (2013-2022). Data ini didapat ICW berdasarkan putusan korupsi oleh pengadilan tingkat pertama hingga kasasi. Kalau kasus korupsi timah yang mencapai Rp 300 triliun itu ditangani dengan baik dan benar, kas negara mestinya bisa mendapatkan tambahan uang masuk.

Mengacu pada sumber daya yang tersedia, program penyediaan Sarapan Bergizi Gratis dan program mendorong anak usia sekolah mengenyam pendidikan, sejatinya bisa direalisasikan Prabowo Subianto selaku presiden terpilih. Bukan semata-mata karena alasan kewajiban konstitusional, melainkan jutaan anak memang nyata-nyata membutuhkannya. Pada tahun 2022, jumlah balita berisiko stunting di Indonesia masih sekitar 4,7 juta jiwa. Salah satu sumber masalah stunting adalah gizi buruk pada ibu dan anak.

Juga karena masalah gizi buruk sebagai salah satu faktornya, angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih tinggi. Data tentang kematian ibu dan bayi merupakan indikator yang lazim digunakan untuk menentukan derajat kesehatan di suatu negara. Sistem pencatatan kematian ibu pada Kementerian Kesehatan memperlihatkan bahwa jumlah kematian ibu pada tahun 2022 mencapai 4.005 dan di tahun 2023 meningkat menjadi 4.129. Dan,  kematian bayi pada 2022 sebanyak 20.882 dan pada tahun  2023 tercatat 29.945.

Faktor kemiskinan menyebabkan ketidakmampuan keluarga menyediakan makanan bergizi. Per Maret 2023, masih ada 25,9 juta penduduk miskin di Indonesia. Mereka adalah warga yang pengeluarannya per bulan di bawah standar garis kemiskinan, yakni Rp 550.458 per kapita per bulan.

Selain anak sekolah, program penyediaan Sarapan Bergizi Gratis diharapkan juga bisa menjangkau puluhan juta warga miskin sebagai wujud nyata pembangunan manusia Indonesia.

Oleh: Bambang Soesatyo

Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur, Universitas Trisakti dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN)


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI