Titiek Soeharto di Tengah Gejolak Purnawirawan TNI

| Kamis, 08 Mei 2025 | 07.23 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Beredar video, Titiek Soeharto memapah Jenderal TNI Try Sutrisno. Ia Wapres ke-6 Republik Indonesia. Usianya sudah lebih 90 tahun. Salah satu tokoh purnawirawan penanda tangan *“petisi copot wapres”*. 


Jenderal Try dipegangi tangannya. Ketika berjalan keluar dari acara Halal Bihalal Purnawirawan TNI dengan Presiden Prabowo Subianto. Menuju mobil yang hendak ditumpangi. Titiek Soeharto kemudian disalami jenderal senior lainnya. Jenderal Wiranto dan Luhut Binsar Panjaitan. 

_*“A Picture is Worth a Thousand Words“*_. Begitu kata sebuah peribahasa. *“Satu gambar setara dengan seribu kata”.* Berlaku pula pada video peristiwa. 

Lantas apa makna video peristiwa itu. Adakah suatu makna khusus. Atau sekedar orang yang lebih muda membantu orang yang lebih tua berjalan?. 

Titiek Soeharto adalah putri dari Presiden Soeharto. Sosok di mana Jenderal Try pernah menjadi ajudan. Sekaligus kemudian menjadi Wakil Presiden.

Ia Ibu dari putra satu-satunya Presiden Prabowo Subianto. Begitu istilah yang sering dikatakannya. Status pernikahanya dengan Presiden Prabowo masih menjadi misteri. Tidak ada selembar pun surat cerai dari KUA. 

Kini jabatan resminya sebagai Ketua Komisi IV DPR RI. Akan tetapi mobilitasnya lintas agenda. Lintas protololer. Termasuk begitu mudah keluar masuk dalam agenda-agenda Presiden Prabowo. Bisa dikatakan sebagai *_“unformal  first lady”.*_ 

Makna dibalik peristiwa apa yang tergambar dalam video, kita hanya bisa menganalisanya. Menduga-duga. Ia menjadi titik temu dari pergolakan faksi-faksi dalam tubuh purnawirawan TNI.

Sebagai salah satu penandatangan *“petisi copot wapres”*, Jenderal Try menjadi bulan-bulanan opini publik. Keharuman nama dan reputasi sebagai purnawirawan senior, dihujat pendukung Jokowi.  Wadah resmi purnawirawan menolak forum purnawirawan TNI sebagai representasinya. Sejumlah jenderal senior _*speak up*_, agar menghormati konstitusi. 

Titiek Soeharto sendiri bukan orang baru dalam puncak-puncak pergolakan bangsa. Peran ini tidak banyak dipublikasikan. 

Tahun 1997, ketika krisis menghantam Indonesia. Titiek Soeharto dikirim sebagai negosiator bertemu PM Singapura. Lee Kwan You. Meminta agar Lee membantu menghentikan permainan operator-operator keuangan proxi AS yang bermarkas di Singapura. Kala itu “mengobok-obok” ekonomi Indonesia. 

Titiek tidak sukses menjalankan misinya. AS masih sangat superior kala itu. Lee tidak bisa melawan AS. Ia hanya tidak setuju Presiden Soeharto di “Marcos” kan. Diktaktor korup dari Filiphina. *“Soeharto lebih mulia dari itu”*, kata Lee. Tapi ia tidak bisa membantu ambruknya kekuasaan Soeharto. Juga ekonomi Indonesia. 

Tahun-tahun itu Titiek sudah menjadi titik temu pergolakan AS-Singapura-Presiden Soeharto. Ia ibarat seorang putri raja dikirim misi rahasia, menahan laju serangan musuh. Berinteraksi dengan banyak pihak. 

Era reformasi, peranannya sebagai perangkai beragam faksi tidak ter- _*highlight*_. Peran itu tidak berhenti. Ia sering tampak hadir dalam undangan pejabat, keluarga pejabat, mantan pejabat atau Kasultanan-Kasultanan di ASEAN. Lebih sebagai misi informal. Tidak dalam misi resmi negara. Menjalin komunkasi dengan beragam faksi di luar negeri.   

Di dalam negeri, pada momen ulang tahun, ia sering undang keluarga-keluarga mantan presiden. Juga keluarga-keluarga mantan pejabat. Ia berusaha memecah kebekuan komunikasi, yang oleh banyak media digambarkan sebagai *“suasana pertengkaran”*.

Titiek Soeharto tentu bukan saja menjadi saksi jarak dekat. Bahkan turut merasakan beragam _*vibes*_. Ketika ayahandanya memperoleh tekanan para oposisi dari kalangan militer, seperti petisi 50. 

Dari _*track record*_ -nya sebagai komunikator antar faksi/pihak utama yang bertikai, kita bisa menduga-duga makna gandeng tangan Titiek Soeharto dan Try Sutrisno. Bahwa pemimpin bangsa saat ini “orangnya” sendiri. Bukan orang lain. Pak Try bukan orang lain bagi presiden. Begitu pula, presiden bukan orang lain bagi Pak Try. 

Maka cukup bagi Presiden Prabowo menekankan dalam pidatonya, spirit kejuangan tentara tidak pernah mati. Mengakui para seniornya sebagai gurunya. Bangsa masih banyak kekurangan dalam pengelolaan. Kini sedang berusaha keras mengatasi kelemahan itu. 

Mungkinkah begitu tafsir gandeng tangan itu?  

Oleh: Abdul Rohman Sukardi 

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI
 
BERNASINDONESIA.COM - ALL RIGHTS RESERVED