Indonesia dan Peta Politik Timur Tengah

| Rabu, 18 Juni 2025 | 11.01 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Sebagai disclaimer, telaah ini didasarkan riset digital terbaru (eskalasi 2024-2025). Akurasi rigidnya perlu verifikasi lapangan melalui riset mendalam. Melibatkan pakarnya. Akan tetapi tetap saja data-data yang disajikan ini bisa dipandang cukup. Sebagai pintu telaah awal atas kondisi Timur Tengah terkini.


Bagaimana menjelaskan konflik Iran-Israil yang sedang memanas. Bagaimana antomi konflik yang terjadi. Bagaimana harusnya peran Indonesia. Bisa kita potret melalui data sederhana itu.

Pergolakan Timur Tengah bisa kita sedikit sederhanakan sebagai konflik antara penganut Syiah, Wahabi, Sunni Moderat dan Israil. Empat kekuatan itu silih berganti adu gesek dan menjadi corak dominan anatomi konflik Timur Tengah.

*Poros Syiah* – Dipimpin Iran. Negara inti: Iran (Syiah Ja’fari). Sekutu/proksi: Irak (pemerintah Syiah), Hizbullah (Lebanon), Houthi (Yaman). Tujuan: Melawan pengaruh Barat, Saudi, Israel; memperkuat poros resistensi.

*Poros Wahabi-Salafi* – Dipimpin Arab Saudi. Negara inti: Arab Saudi (Sunni Wahabi). Sekutu: UEA, Bahrain, Mesir, Qatar (pragmatis), GCC (Gulf Cooperation Council: Dewan Kerjasama Teluk). Anggota GCC:  Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA),  Kuwait,  Qatar,  Oman,  Bahrain. Karakter baru kelompok ini: Saudi aktif inisiasi diplomasi regional (plan Gaza alternatif), memperluas peran di Suriah pasca-Assad.

*Sunni murni*. Non Wahabi, non Syiah, non Israil.  Meliputi:  Yordania: Sunni tradisional, netral terhadap Israel secara publik. Turki: Sunni Hanafi & Islamis moderat, vokal kritik Israel meski ada kerjasama ekonomi. Aljazair & Tunisia: Sunni Maliki, tegas menolak normalisasi dengan Israel. Malaysia: Sunni Syafi’i, vokal anti-Israel, tidak Wahabi. (Maroko) kini sudah normalisasi dan turun dari kategori non Israil.

Poros Israil, tentu rezim negara-negara barat. Walaupun perilaku Israil di Gaza telah memerosotkan kepercayaan publik barat terhadapnya. Barat masih mendua sikap soal Israil-Palestina. Tidak benar-benar pro keadilan dan HAM atas Palestina.  

Dibalik sikap mendua barat terhadap Israil, terdapat negara-negara Timur Tengah membangun hubungan dengan Israil. UEA, telah melakukan normalisasi penuh hubungan diplomatiknya dengan Israil (perjanjian Abraham). Baharin: normalisasi penuh. Maroko: normalisasi dan kerjasama ekonomi. Sudan: proses normalisasi. Arab Saudi: belum resmi normalisasi akan tetapi kerjasama militer-intelijen rahasia.  Mesir: damai sejak 1979, hubungan dengan Israil stabil. Yordania: damai sejak 1994 dan ada koordinasi keamanan.

Bagaimana Indonesia. Ia konsisten pada poros Sunni moderat Non Blok. Mayoritas Sunni. Tidak menganut Syiah atau Wahabi. Konsisten mempromosikan Islam _*wasathiyah*_ (moderat) di forum internasional.  Pendukung utama _*two state solution*_ atas konflik Palestina. Akan mengakui Israil jika Israil mengakui Palestina.

Berdasar peta itu, konflik di dataran Timur Tengah amat kompleks. Contoh perang Yaman:  Saudi (Sunni Wahabi/boneka barat) vs Houthi (Syiah Zaidiyah, pro-Iran). Konflik Suriah: Iran, Rusia, Assad vs Turki, Saudi (dulu). Kini Ahmed al-Sharaa (Abu Mohammed al-Julani, HTS) dilantik sebagai Presiden transisi sejak 29 Januari 2025. Suriah pasca Assad: Suni Salafi/Islamis, bukan Alawiyah/Syiah. Menolak infiltrasi Iran. Membuka hubungan baru dengan Arab Saudi, Qatar, Yordania, Turki.    
Konflik Irak: pemainnya Iran dan milisi Syiah vs Sunni lokal dan AS. Palestina-Israil: Iran + Hizbullah + Hamas vs Israel + negara Arab yang netral atau diam. Lebanon: Hizbullah (Syiah) vs Sunni + Kristen lokal.

Data-data itu menunjukkan belum ada kekuatan dominan sunni moderat seperti faksi Sholahudin Al Ayubi. Kekuatannya (suni moderat independen) masih perlu ditumbuhkan. Bahkan kekuatan di internal Palestina, Fatah dan Hamas memiliki kelemahannya tersendiri. Hamas tidak inklusif. Fatah kurang religius.

Konflik Timur Tengah dan spesifik Palestina tidak serta merta bisa dibuat generalisasi sebagai representasi agenda Islam/Muslim global. Penyikapannya harus hati-hati dan _*case per case*_. Ada pertarungan sekte-sekte keagamaan. Ada konflik kepentingan nasional. Ada _*pride*_ historis. Sebagaimana Iran dengan Persia dan Irak dengan Babilonia. Ada kepentingan geoekonomi dan geopolitik.   

Indonesia, sebagai basis muslim sunni moderat terbesar perlu mereposisi secara hati-hati dalam memasuki dinamika konflik Timur Tengah. Setidaknya ada 4 prioritas utama menjadikan Indonesia memiliki kepentingan besar atas Timur Tengah.

_*Pertama*_, pengamanan Ibadah Haji dan Umrah. Jamaah muslim Indonesia memiliki kepentingan untuk memperoleh rasa aman dan kenyamanan dalam melakukan ibadah haji serta umrah.

_*Kedua*_, pengamanan situs bersejarah Al Aqsho. Berikut jaminan keamanan dan kenyamanan ziarah di Masjid Al Aqsho bagi Muslim Indonesia. *_"Janganlah melakukan perjalanan (untuk tujuan ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjid Al-Aqsha."_* - HR. Bukhari (No. 1189), Muslim (No. 1397). Begitu pesan Rasulullah.

Hadits itu menyiratkan bahwa ziarah ke tiga masjid itu sebagai traveling primer. Selebihnya menjadi sekunder.

_*Ketiga*_, misi konstitusi/UUD 1945: turut serta mewujudkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Palestina berhak atas kemerdekaannya. Indonesia konsisten dengan _*two state solution*_. Selain dukungan kemerdekaan atas Palestina, Indonesia juga berkepentingan dengan misi perdamaian di belahan bumi manapun. Termasuk di Timur Tengah.  

_*Keempat*_, kepentingan bisnis. Setiap negara tentu mengamankan investasi ekonomi warganya di belahan dunia manapun berada. Termasuk jika ada kepentingan ekonomi antara Indonesia dan Timur Tengah.

Di luar empat kepentingan itu, tidak relevan memasuki konflik yang tidak bisa memberikan keuntungan bagi Indonesia. Baik keuntungan ekonomis maupun peran geopolitik.      

Oleh: Abdul Rohman Sukardi


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI