Peta Konflik Idiologi Global

| Selasa, 17 Juni 2025 | 10.59 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Dunia kini menjadi kampung raksasa. Tidak ada sekat antar kawasan. Terkecuali sedikit tempat seperti Korea Utara. Masyarakat global sulit menjangkaunya. Sebaliknya, penduduk Korea Utara juga sulit bersapa dengan masyarakat global. Kebijakan negara itu memenjara dirinya sendiri. 


Selebihnya, penduduk global disambungkan bukan saja kecepatan transportasi. Teknologi informasi menjadikan setiap jengkal kawasan di belahan dunia manapun bisa saling bersapa secara _*real time*_. Juga mengikuti perkembangan satu sama lain secara _*real time*_ pula. Maka kejadian di belahan bumi manapun akan meresonansi setiap jengkal bumi lainnya. 

Dinamika kampung global ini bisa kita deteksi melalui konflik idiologi yang sedang berlangsung. Dari _*top 10*_ konflik idiologi dunia, bisa kita jadikan pisau pencermatan. Seperti apa dunia kita saat ini berada.  

Pertarungan antara *“Demokrasi vs. Otoritarianisme”* menempati 20% porsi konflik dunia. *Kapitalisme vs. Sosialisme* – 15%. *Islamisme vs. Sekularisme* – 13%. *Progresivisme vs. Konservatisme Budaya* – 12%. *Ekologisme vs. Ekspansionisme Ekonomi* – 10%. *Identitas Nasionalisme vs. Globalisme* – 9%. *Teknokrasi vs. Demokrasi Partisipatif* – 7%. *Barat vs. Sinosentrisme* – 6%. *Postmodernisme vs. Rasionalisme* – 5%. *Neo-Kolonialisme vs. Kedaulatan Global Selatan* – 3%. 

Data berdasar riset digital ini, menggambarkan sinyalemen benturan peradaban Islam dan barat versi Hutington sudah memudar. Tidak lagi menjadi kerangka dominan dalam menjelaskan dinamika konflik global. *Islamisme vs. Sekularisme* lebih menjelaskan konflik dalam tubuh ummat Islam sendiri. Tidak memberi gambaran pertengkaran antara Barat dan Islam. *Islamic Phobia* juga memberi Gambaran konflik *identitas nasionalisme dan globalisme*. Benturan jutru tampak antara *Cina* dan *Barat* (Sinosentrisme-6%). 

Mari kita urai satu persatu. Proporsi konflik idiologi global itu berikut contoh-contoh aktualnya. 

*Demokrasi vs. Otoritarianisme* (20%). Menggambarkan ketegangan antara sistem pemerintahan partisipatif dan otoriter. Contohnya: Ukraina vs. Rusia (invasi Rusia dianggap sebagai bentuk ekspansi otoriter terhadap negara demokratis). Hong Kong vs. Pemerintah Tiongkok (penindasan gerakan pro-demokrasi). Iran vs. Gerakan Protes Internal (Penolakan terhadap sistem teokratis otoriter), Myanmar (kudeta militer terhadap pemerintah terpilih secara demokratis). Belarus (rezim Lukashenko melawan gerakan demokratis setelah pemilu kontroversial).

*Kapitalisme vs. Sosialisme* – 15%. Menggambarkan ketegangan antara pasar bebas dan sistem ekonomi negara atau kolektivisme. Contoh: Venezuela – Bentrokan antara kebijakan sosialis dan krisis ekonomi. Kuba – Ketegangan kronis dengan AS sebagai simbol kapitalisme. AS vs. Tren Sosialisme Demokratik – Debat politik tentang jaminan kesehatan dan pendidikan gratis. Korea Utara vs. Dunia Barat – Ekonomi tertutup dan sentralisasi total vs pasar terbuka. China vs. Model Ekonomi Global – Kombinasi kapitalisme negara dengan kontrol partai.

Islamisme vs. Sekularisme – 13%. Menggambarkan pertarungan nilai-nilai (yang dianggap) syariah atau agama dalam politik dengan pemerintahan (yang dianggap) sekuler. Contoh: Iran – Penolakan terhadap liberalisme dan sekularisme Barat. Afghanistan (Taliban) – Pemerintahan berbasis hukum Islam secara ekstrim. Mesir – Konflik antara Ikhwanul Muslimin dan rezim militer sekuler. Turki – Polarisasi antara AKP (pro-Islam) dan oposisi sekuler. Nigeria – Boko Haram menolak negara sekuler dan menyerukan negara Islam.

*Progresivisme vs. Konservatisme Budaya* – 12%. Memberi Gambaran ketegangan seputar nilai-nilai sosial seperti gender, seksualitas, dan hak individu. Contoh: Debat Aborsi di AS – Putusan Mahkamah Agung (Roe v. Wade dibatalkan). Hak LGBTQ+ di Uganda/Rusia – Pelarangan hukum terhadap komunitas LGBTQ+. Pendidikan Gender di AS/Eropa – Bentrokan kurikulum inklusif vs nilai-nilai keluarga konservatif. Demonstrasi di Polandia – Hukum aborsi sangat ketat disorot dunia. Konflik nilai di India – Polarisasi antara Hindu konservatif dan kelompok liberal.

*Ekologisme vs. Ekspansionisme Ekonomi* – 10%. Konflik antara keberlanjutan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Contoh: krisis Amazon di Brasil – Penebangan hutan demi pertanian. Eropa vs. Negara-negara Penghasil Batu Bara – Transisi energi vs ketergantungan ekonomi. Protes Iklim Global (Fridays for Future) – Generasi muda menekan pemimpin dunia. Jerman vs. Aktivis Iklim (Lützerath) – Tambang batu bara vs iklim. Konflik tambang nikel/litium di Global Selatan – Industri hijau vs eksploitasi lokal.

*Identitas Nasionalisme vs. Globalisme* – 9%.  Pertarungan antara proteksionisme identitas nasional dengan kerja sama global terbuka. Contoh: Brexit – Inggris keluar dari Uni Eropa sebagai simbol nasionalisme modern. Amerika First (Trump) – Menolak multilateralisme. India (Hindutva) – Penegasan identitas Hindu nasional. Hungaria & Polandia vs. Uni Eropa – Sengketa nilai dan kedaulatan nasional. Perdebatan Imigrasi di Eropa – Migrasi dilihat sebagai ancaman identitas nasional.

*Teknokrasi vs. Demokrasi Partisipatif* – 7%. Konflik terkait dominasi pengambil keputusan oleh elite teknokrat dibandingkan kontrol publik. Contoh: Peran Big Tech (Google, Meta) – Pengaruh terhadap opini dan demokrasi. Pandemi COVID-19 – Keputusan WHO/teknokrat vs penolakan publik di banyak negara. Kecerdasan Buatan & Etika – Siapa yang mengontrol AI?. Kritik terhadap IMF dan Bank Dunia – Kebijakan ekonomi teknokratik global. Cina: Sosial credit system – Pemerintahan melalui algoritma.

*Barat vs. Sinosentrisme* – 6%. Persaingan sistem nilai dan dominasi global antara Barat dan China. Contoh: isu Taiwan – China ingin mengontrol, Barat mendukung kemerdekaan. Uighur di Xinjiang – Barat menuduh pelanggaran HAM, China menolak. China vs. AS dalam teknologi (TikTok, Huawei) – Perebutan dominasi digital. *_Belt and Road Initiative_* (BRI) – _*Soft power China*_ di Global Selatan. Laut China Selatan – Konflik klaim teritorial dan dominasi kawasan.

*Postmodernisme vs. Rasionalisme *– 5%. Debat antara nilai universal, sains objektif vs kebenaran relatif berbasis pengalaman/identitas. Contoh: Woke (kesadaran terhadap ketidakadilan) vs. Anti-Woke di AS dan Inggris – Identitas vs meritokrasi. Debat tentang sains dan gender – Penolakan definisi biologis oleh beberapa kelompok progresif. Universitas sebagai medan ideologi – Pembungkaman lawan ideologis melalui  "cancel culture". Teori Kritis Rasial di AS – Konflik dalam kurikulum dan pendidikan. Sastra dan Seni Modern – Persoalan apakah nilai estetika masih objektif.

*Neo-Kolonialisme vs. Kedaulatan Global Selatan* – 3%. Negara berkembang menolak dominasi politik dan ekonomi negara maju. Contoh: Afrika menolak kehadiran militer Prancis (Mali, Niger) Kritik Global Selatan terhadap WTO/WHO – Ketimpangan kebijakan perdagangan dan kesehatan. Pemberontakan terhadap utang Tiongkok di Afrika – Perangkap utang BRI (_*Belt and Road Initiative*_). Gerakan BRICS – Inisiatif untuk membentuk tatanan baru anti-Barat. Gerakan Non-Blok Baru (Indonesia, India) – Menolak ikut kutub global.

Berdasarkan peta itu, bagaimana seharusnya reposisi Indonesia?. Ikut arus atau memainkan ritemenya sendiri. Tentu jika spiritnya berdaulat atas bangsa sendiri, sudah seharusnya yang kedua menjadi pilihan dan _*concern*_. 

Isu Non  Blok, perdamaian abadi dan keadilan sosial gobal, hanya bagian kecil dari 3% isu dunia. Indonesia perlu menyuarakan lebih lantang idiologi perdamaian dan keadilan sosial masyarakat global. Keadilan di semua sektor. Termasuk keadilan ekonomi antar kawasan di berbagai belahan dunia. 

Indonesia juga bisa memasuki ceruk isu Islamisme vs. Sekularisme – 13%. Menjadi model bertemunya Islamisme dan modernisme. Model Islam otentik-substantif dan bukan Islam labelistik. Indonesia bisa menawarkan solusi untuk mengurai ketegangan idiologi berkedok teologi. 

Indonesia harus bisa menumpangi pergolakan idiologis global itu untuk memasukkan gagasan-gagasan briliannya dalam pembangunan peradaban global. Gagasan “perdamaian abadi dan keadilan sosial masyarakat global” sebagaimana amanat _*Preambule*_ UUD 1945 harus diarusutamakan di tengah pergolakan idiologi global itu.
 
Bersikap pasif hanya akan menempatkan Indonesia pada halaman belakang percaturan global. Sikap proaktif akan memungkinkan terbukanya kemanfaatan ekonomi maupun penguatan geopolitik bagi reposisi Indonesia dalam kancah global. 

Para cendekiawan Indonesia harusnya menjadi penyaji narasi penting untuk agenda ini. Bukan terjebak isu yang tidak prinsipil. 

Oleh: Abdul Rohman Sukardi 
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI
 
BERNASINDONESIA.COM - ALL RIGHTS RESERVED