Bernasindonesia.com - Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, M.A. menyebutkan bahwa partai politik juga bisa melahirkan pemimpin yang negarawan, bukan hanya politisi, sebagaimana diteladankan oleh partai-partai politik yang dahulu telah melahirkan para negarawan pendiri Indonesia merdeka.
Menurut Hidayat, partai politik pada era Reformasi memiliki peran penting untuk mengulangi sejarah tersebut agar berkontribusi maksimal mempersiapkan dan melahirkan negarawan dalam menyongsong Indonesia Emas 2045. Karena itu, partai politik, termasuk PKS, harus mempersiapkan kader-kadernya menghadirkan kepemimpinan negarawan, bukan sekadar politisi apalagi politikus.
Hidayat Nur Wahid menyampaikan hal itu dalam Forum Diskusi Aktual Berbangsa dan Bernegara dengan tema Kepemimpinan Negarawan yang dihelat MPR bekerja sama dengan DPW PKS Sulawesi Tenggara di Kendari, Sabtu (25/10/2025). Turut berbicara dalam diskusi ini Anggota MPR yang juga Presiden PKS Al Muzammil Yusuf, Wakil Bupati Buton Syarifuddin Safa, Anggota DPRD Sultra Muhammad Poly, dan Ketua DPW PKS Sultra Syafriel Haeba.
Jalur Politik sebagai Wahana Melahirkan Negarawan
Dalam diskusi tersebut, HNW — sapaan Hidayat Nur Wahid — menguraikan pentingnya kepemimpinan negarawan yang dapat dihadirkan melalui jalur politik. UUD NRI 1945 mengatur bahwa pemimpin di Indonesia, baik Presiden maupun Wakil Presiden, dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu (Pasal 6A Ayat 1 UUD NRI 1945).
Kepemimpinan dan keanggotaan di legislatif juga dicalonkan oleh partai politik, bukan organisasi massa maupun perseorangan. Dengan demikian, partai politik menjadi pintu besar — bahkan mungkin satu-satunya — untuk melahirkan kembali pemimpin negara yang berjiwa negarawan agar cita-cita Proklamasi dan Reformasi dapat diwujudkan demi menyongsong Indonesia Emas 2045.
“Masalahnya, sering kali partai politik melupakan sejarah keberhasilannya menghadirkan negarawan dan legalitas yang diberikan oleh konstitusi bahwa partai politik bisa menghadirkan kepemimpinan negarawan. Sering pula muncul dikotomi antara politisi dan negarawan, seolah-olah politisi bukan negarawan dan sebaliknya,” ujar HNW.
Padahal, lanjutnya, fakta sejarah membuktikan bahwa di Indonesia telah lahir partai-partai politik dengan para politisinya yang sekaligus negarawan, baik pada era perjuangan kemerdekaan maupun pada era Reformasi.
Lebih lanjut, HNW menjelaskan pandangan Dr. Yudi Latif yang menyebut bahwa politisi dan negarawan kerap dipandang sebagai dua entitas berbeda. Politisi dianggap fokus pada jabatan dan kekuasaan, sedangkan negarawan memperjuangkan kemaslahatan bangsa dan negara.
Politisi sering kali menggunakan cara apa pun untuk meraih kekuasaan, sementara negarawan mengedepankan integritas dan cara terhormat. Bagi politisi, kemenangan berarti kekuasaan, sedangkan bagi negarawan, kemenangan adalah amanah dan tanggung jawab.
Namun, HNW mengkritisi pandangan tersebut. Menurutnya, sejarah Indonesia membuktikan bahwa partai politik justru melahirkan banyak tokoh yang merupakan politisi sekaligus negarawan.
Warisan Kenegarawanan untuk Indonesia Emas 2045
HNW menegaskan bahwa banyak politisi Indonesia yang juga negarawan, seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Syafruddin Prawiranegara, dan Mohammad Natsir. Bahkan dua proklamator kemerdekaan Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta, adalah politisi yang juga negarawan.
Bung Hatta dan empat tokoh umat Islam — Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Moh. Hasan — menunjukkan kenegarawanan saat menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi kemaslahatan bangsa.
Contoh lain adalah Syafruddin Prawiranegara yang mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi untuk menyelamatkan Indonesia saat Presiden dan Wakil Presiden ditahan Belanda. Setelah Indonesia kembali merdeka, beliau menyerahkan kembali mandat tersebut kepada Bung Karno.
Sementara Mohammad Natsir, melalui pidato Mosi Integral di DPR RIS pada 3 April 1950, mengembalikan Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tindakan negarawan tersebut mendapat dukungan dari berbagai partai, baik Islam maupun nasionalis.
“Perjuangan menghadirkan Reformasi dan amandemen UUD 1945 sejatinya juga melahirkan kembali politisi yang berjiwa negarawan. Maka partai politik sebenarnya sejak dulu hingga kini telah diwarisi semangat kenegarawanan,” tegas HNW.
Ia menambahkan bahwa partai politik Islam, termasuk PKS, perlu melanjutkan peran menghadirkan kepemimpinan negarawan. “Menjadi negarawan dari partai politik itu bisa, dimungkinkan, dan diharapkan. Partai politik perlu melahirkan, mempersiapkan, dan memilih negarawan sebagai calon presiden, wakil presiden, serta wakil rakyat di parlemen. Agar kepercayaan rakyat terhadap partai politik dan demokrasi terus meningkat, dan Indonesia Emas 2045 benar-benar dapat diwujudkan,” pungkasnya

