Kebijakan Korektif sebagai Upaya Memulihkan Perekonomian Nasional

| Selasa, 28 Oktober 2025 | 11.48 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Koreksi terhadap segala sesuatu yang salah atau menyimpang sepatutnya dipahami sebagai keniscayaan. Sejarah peradaban telah memberi bukti bahwa pada waktu yang tidak pernah diperkirakan, koreksi akan menemukan prosesnya melalui kebijakan, langkah, atau cara.


Demikianlah yang disaksikan oleh semua elemen masyarakat Indonesia ketika dinamika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto hari-hari ini terus mengaktualisasikan langkah-langkah korektif di sektor tata kelola keuangan negara dan daerah.

Sebagaimana telah disimak bersama, Presiden Prabowo menugaskan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memulai rangkaian koreksi tersebut. Awalnya, Menkeu berfokus pada koreksi tata kelola keuangan negara dan daerah. Namun, di luar perkiraan, Menkeu juga mengungkap beberapa faktor lain yang merusak perekonomian, misalnya maraknya penyelundupan berbagai produk manufaktur.

KKN dan Pengendapan Dana Pemda Hambat Efektivitas Anggaran

Bagi masyarakat kebanyakan, sangat wajar jika awal koreksi berfokus pada aspek tata kelola keuangan negara-daerah. Bukankah hari-hari ini korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sedang marak? Korupsi yang telah menyebabkan kerugian negara hingga ribuan triliun rupiah menjadi contoh nyata sekaligus penjelasan gamblang tentang rendahnya efektivitas tata kelola keuangan negara-daerah.

Selain faktor korupsi yang per kasus nilainya bisa mencapai puluhan triliun rupiah, perlu pula diungkap endapan dana pemerintah daerah (Pemda) di perbankan. Data ini layak disorot untuk menggambarkan rendahnya efektivitas pengelolaan anggaran.

Bayangkan, ketika Presiden menargetkan efisiensi anggaran tahun 2025 sebesar Rp306,9 triliun, total dana milik Pemda yang mengendap di perbankan per Agustus 2025 mencapai Rp233,11 triliun.

Sebagai fakta tidak produktif, pengendapan dana Pemda di bank telah berlangsung bertahun-tahun dan sering dipertanyakan. Tahun 2023, jumlah dana Pemda di perbankan mencapai Rp203,42 triliun, dan tahun 2024 tercatat Rp192,57 triliun. Tujuan pengendapan dana oleh Pemda tak pernah dijelaskan dan sulit dipahami secara rasional.

Maka, efisiensi anggaran yang diterapkan oleh Presiden, termasuk koreksi atas dana bagi hasil (DBH) ke daerah, menjadi langkah yang masuk akal.

Sudah barang tentu sejumlah pihak merasa terganggu oleh kebijakan efisiensi dan koreksi yang dimulai pemerintah. Namun, kehendak baik dan keberanian melakukan koreksi itu patut didukung, diperkuat, diawasi bersama, serta dijaga konsistensinya.

Semua berharap hasil terbaik bagi rakyat dan negara. Kalaupun perlu diingatkan, tentu tentang pentingnya menerapkan asas kehati-hatian (prudence), agar rangkaian koreksi tersebut tetap kalkulatif dan kredibel, sehingga tidak menimbulkan guncangan pada perekonomian nasional.

Efektivitas dan hasil koreksi tentu butuh proses dan waktu. Namun, sebagai terapi kejut (shock therapy), langkah-langkah korektif seperti sekarang ini sangat diperlukan, sebab efektivitas tata kelola keuangan negara-daerah memang masih rendah.

Langkah-Langkah Korektif dalam Pemulihan Perekonomian Nasional

Koreksi pertama dimulai dengan menguatkan likuiditas perbankan. Pemerintah menarik Rp200 triliun dana miliknya dari Bank Indonesia (BI) untuk disalurkan ke lima pemerintah daerah. Likuiditas perbankan yang menguat menjadi dukungan bagi sektor riil. Jika sektor riil kondusif dan prospektif, likuiditas itu akan diserap oleh seluruh subsektor sehingga produktivitas dunia usaha nasional dapat dipulihkan.

Koreksi kedua menyasar penyerapan anggaran pada program Makan Bergizi Gratis (MBG). Di tengah kritik masyarakat terhadap pengelolaan program yang kurang efektif, pemerintah menegaskan bahwa anggaran MBG yang tidak terserap sesuai jadwal akan ditarik kembali.

Koreksi berlanjut dengan pemotongan dana bagi hasil (DBH) yang ditransfer ke daerah. Selain itu, pemerintah menolak pembebanan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Whoosh, pembangunan family office, serta menolak suntikan dana untuk INA.

Rangkaian koreksi tersebut masih menjadi materi diskusi publik. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat pada dasarnya menyepakati langkah-langkah korektif tersebut. Melalui koreksi tata kelola keuangan negara-daerah, Presiden Prabowo — melalui Menteri Keuangan — mengajak semua pihak bersikap bijaksana.

Sikap bijak pertama yang harus dikedepankan adalah keberanian untuk jujur. Harus diakui bahwa efektivitas pengelolaan keuangan negara-daerah masih rendah. Karena tata kelola tidak efektif, korupsi marak. Karena kurang kreatif dalam merumuskan kebijakan, anggaran Pemda bernilai triliunan rupiah hanya mengendap di bank. Padahal, dana sebesar itu dapat dimanfaatkan untuk membangun fasilitas umum atau meningkatkan layanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan.

Selain keberanian bersikap jujur, Presiden juga mengajak masyarakat untuk realistis terhadap kondisi keuangan negara dan fakta bahwa kinerja perekonomian nasional belum cukup kuat dalam menciptakan lapangan kerja baru.

Dengan berpijak pada realitas tersebut, pemanfaatan potensi nasional, termasuk dana negara, sudah sepatutnya diprioritaskan untuk memulihkan produktivitas perekonomian nasional agar mampu menciptakan lapangan kerja.

Menetapkan Skala Prioritas demi Kesejahteraan Rakyat

Secara tidak langsung, Presiden Prabowo mengajak seluruh pihak untuk bersepakat menetapkan skala prioritas yang berfokus pada upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Lebih dari tujuh juta anak muda Indonesia kini berstatus pengangguran. Kecenderungan meningkatnya angka pengangguran tak terhindarkan karena produktivitas dunia usaha nasional nyaris stagnan akibat pertumbuhan penjualan yang melambat serta lemahnya permintaan konsumen.

Beberapa perusahaan besar yang tidak mampu bertahan memilih berhenti berproduksi. Fenomena ini tampak dari kebangkrutan PT Sepatu Bata dan PT Sritex. Data Mahkamah Agung (MA) juga menunjukkan hal serupa; tahun 2024 terdapat 195 perkara pailit, dan sepanjang 2025 sudah puluhan perkara diputuskan.

Indikator lain yang perlu diwaspadai adalah menurunnya daya serap dunia usaha terhadap kredit perbankan.

Gambaran perekonomian rakyat yang diklasifikasikan dalam kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pun memprihatinkan. Data Kemenkop dan UKM mencatat bahwa pada 2021 jumlah pelaku UMKM mencapai 64,2 juta unit dengan daya serap tenaga kerja yang besar.

Namun, pascapandemi Covid-19, kondisi UMKM sangat menyedihkan. Menurut asosiasi UMKM, sekitar 30 juta unit usaha bangkrut. Pertumbuhan UMKM dalam beberapa tahun terakhir belum jelas, sementara BI mencatat bahwa pertumbuhan kredit perbankan untuk UMKM hingga akhir 2024 turun ke level terendah, yakni 3 persen.

Sebagai upaya meringankan beban pelaku UMKM, Presiden Prabowo telah merealisasikan kebijakan penghapusan utang bagi mereka yang terdampak.

Wajar jika Presiden Prabowo terus mencari langkah-langkah baru untuk memulihkan dinamika dan produktivitas perekonomian nasional. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengaktualisasikan rangkaian kebijakan korektif yang bertujuan meningkatkan efektivitas pemanfaatan seluruh potensi nasional, terutama dalam optimalisasi anggaran negara-daerah.

Oleh: Bambang Soesatyo 

Anggota DPR RI / Ketua MPR RI ke-15 / Ketua DPR RI ke-20 / Ketua Komisi III DPR RI ke-7 / Dosen Pascasarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Pertahanan (Unhan), dan Universitas Jayabaya


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI