Bernasindonesia.com - Saudaraku, sekiranya manusia tak memiliki hawa nafsu—tak ingin berkuasa, menimbun harta, mencipta keindahan, dan haus akan pengakuan—mungkin hidup akan menjadi datar dan hening, seperti gurun tanpa angin.
Kita akan berjalan tanpa arah, sekadar mekanisme yang bergerak karena harus, bukan karena mau. Tak ada ambisi, tak ada cita; tapi juga tak ada tawa, cinta, atau doa. Yang tersisa hanyalah keberadaan yang dingin—sunyi tanpa makna, abadi tanpa kegairahan.
Sebab yang menggerakkan kita bukanlah kesempurnaan, melainkan kegelisahan. Manusia hidup karena tak pernah puas; berpikir karena meragukan; mencipta karena takut dilupakan. Dari nafsu untuk menguasai lahir sejarah; dari nafsu menimbun harta lahir peradaban; dari nafsu mencipta keindahan lahir seni; dan dari nafsu untuk diakui lahir reputasi—cermin rapuh tempat manusia memantulkan keberadaannya di mata sesama.
Namun segala yang lahir dari hasrat pun berujung pada kehampaan. Kekuasaan berlalu, harta menguap, nama terhapus oleh debu waktu. Dan di hadapan kefanaan itu, kita dihadapkan pada absurditas yang sama: mengapa semua ini harus ada, bila akhirnya tak tersisa apa-apa?
Barangkali di situlah makna yang paling jujur tersembunyi: bahwa hidup bukan untuk mencapai kekekalan, melainkan untuk menolak kehampaan—meski hanya sekejap. Bahwa kita terus mendaki meski tahu batu itu akan terguling kembali, sebab dalam mendaki itulah manusia menemukan martabatnya.
Hawa nafsu adalah paradoks yang memelihara kehidupan. Ia mengikat kita pada tanah, tetapi juga menyalakan kerinduan akan langit. Ia membuat kita berdosa, namun juga menjadikan kita sadar. Dalam bara hasrat itu, manusia belajar mencinta, menderita, dan memaknai keterbatasannya.
Tanpa itu, kita hanyalah bayang yang lewat sekelebat—tak sempat merasakan getir atau bahagia, tak pernah bertanya, tak pernah berdoa—sekadar hadir lalu pulang diam-diam ke tanah, tanpa tahu bahwa kita pernah ada.
Mungkin, makna hidup bukanlah kemenangan atas kehampaan, melainkan keberanian untuk menatapnya dan tetap melangkah. Dan bila akhirnya kita pun padam, biarlah padam karena pernah menyala—bukan karena tak pernah berani hidup.
Oleh: Yudi Latif

