Bernasindonesia.com - Saudaraku, ada yang percaya hidup tak berhenti di liang. Di balik debu terbentang taman atau api, cahaya atau bayangan — ruang tempat jiwa memetik buah dari benih yang ditanam di bumi. Hidup adalah perjalanan moral; setiap langkah dan niat menjadi arah bagi nasib abadi. Surga dan neraka bukan sekadar tempat, melainkan pantulan dari amal perbuatan.
Ada pula yang melihat hidup sebagai pusaran tanpa awal dan akhir. Jiwa bukan garis lurus, melainkan lingkaran: lahir, tumbuh, gugur, lalu mekar kembali dalam wujud lain. Mereka menyebutnya samsara — arus kelahiran dan kematian yang terus berputar, hingga kesadaran mencapai kebebasan murni, moksha, ketika diri larut dalam samudra tak bernama.
Bagi para pejalan sunyi — kaum sufi dan para mistikus — akhirat bukanlah negeri jauh di balik langit. Ia dekat, tersembunyi di balik kelopak kesadaran. Kematian hanyalah tabir yang tersingkap; jiwa kembali ke Rumah Asalnya, ke pelukan Sang Kekasih, tempat ia tak pernah benar-benar pergi. Hidup dan mati hanyalah tarikan napas dari satu cinta abadi.
Sementara para filsuf dan pencinta kebijaksanaan berkata: mungkin yang hidup bukanlah diri kita, melainkan jejak dari apa yang telah kita berikan. Cinta yang kita tabur, gagasan yang kita nyalakan, kemurahan yang kita wariskan — semuanya terus berdenyut dalam dada orang. Kita tiada, tapi gemanya masih bernyanyi di udara.
Di ujung rasionalitas, ilmu pengetahuan berdiri hening, menatap batasnya sendiri. Ia berkata: ketika otak berhenti, kesadaran padam. Namun bahkan para penjaga logika tahu — energi tak pernah musnah, hanya berubah bentuk. Mungkin kesadaran pun demikian: berpindah seperti cahaya yang mencari medium baru, menembus ruang yang belum dinamai.
Maka siapakah yang tahu apa yang menanti purna hidup? Mungkin semuanya benar, mungkin semuanya hanya bayangan dari satu kenyataan yang tak terlukis: bahwa tiada yang benar-benar berakhir — hanya berganti rupa dalam arus cinta yang sama. Hidup telah memberi bocorannya: setiap malam melahirkan fajar, setiap gugur menumbuhkan yang baru. Barangkali kematian hanyalah helaan napas semesta — dan cinta, daya yang menuntun segala yang fana pulang ke sumber cahaya.
Oleh: Yudi Latif

