Bernasindonesia.com - Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno (1945–1967), Indonesia mengalami berbagai fase politik. Mulai dari masa revolusi, demokrasi parlementer, hingga sistem Demokrasi Terpimpin.
Dalam perjalanan panjang itu, tidak sedikit tokoh bangsa yang pernah berjasa pada bangsa dan negara justru berakhir di balik jeruji besi. Penahanan mereka umumnya bukan karena tindak pidana. Melainkan perbedaan pandangan politik dengan rezim berkuasa.
Setelah masa Demokrasi Liberal (1950–1959) penuh tarik-menarik antarpartai, Presiden Soekarno merasa sistem parlementer menghambat pembangunan dan persatuan nasional. Ia kemudian membubarkan Konstituante dan memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Menandai lahirnya Demokrasi Terpimpin. Sistem di mana seluruh kekuasaan politik dipusatkan di tangan presiden.
Dalam sistem baru ini, Presiden Soekarno berusaha menyeimbangkan kekuatan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Namun, langkah itu membuat banyak tokoh Islam dan sosialis non-komunis tersingkir. Karena dianggap “anti-revolusi” atau “kontra-Nasakom”.
Ironisnya, Sutan Sjahrir, salah satu pendiri Republik dan Perdana Menteri pertama Indonesia, justru menjadi korban politik Soekarno. Sebagai pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sjahrir menentang kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Setelah pemberontakan PRRI/Permesta (1958) — yang sebagian melibatkan simpatisan PSI — Sjahrir dituduh “terlibat dalam kegiatan kontra-revolusioner”. Ia ditangkap pada 1962 tanpa pengadilan dan ditahan di Jakarta.
Karena kondisi kesehatannya memburuk, ia diizinkan berobat ke Zürich, Swiss, namun wafat di sana pada 9 April 1966 sebagai tahanan politik. Sjahrir dikenang sebagai simbol oposisi intelektual terhadap otoritarianisme.
Mohammad Natsir, tokoh Islam terkemuka dan mantan Perdana Menteri RI, juga menjadi korban politik Soekarno. Sebagai Ketua Partai Masyumi, Natsir menolak konsep Nasakom dan mengecam kedekatan Soekarno dengan PKI.
Setelah PRRI meletus, Masyumi dibubarkan tahun 1960. Natsir ditangkap pada 1962 dan dipenjara tanpa pengadilan hingga Soekarno jatuh dari kekuasaan. Ia baru bebas pada 1967, di awal masa Orde Baru.
Sjafruddin Prawiranegara — Pejuang PDRI dituduh pemberontak. Tokoh yang pernah memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada saat Soekarno-Hatta ditawan Belanda (1948–1949) ini, juga ditahan.
Ia ikut menandatangani “Piagam Perjuangan Semesta” yang dianggap mendukung PRRI. Ditangkap tahun 1962 dan ditahan tanpa pengadilan. Dibebaskan setelah kejatuhan Soekarno pada 1967. Nasibnya menjadi ironi sejarah. Dari penyelamat republik menjadi tahanan politik republik yang sama.
Selain Sjahrir dan Natsir, banyak tokoh politik non-komunis lainnya turut mengalami penahanan atau pengasingan. Burhanuddin Harahap – mantan Perdana Menteri, ditangkap tahun 1962. Mohammad Roem – diplomat ulung, ditahan karena dianggap simpatisan Masyumi.
Sumitro Djojohadikusumo – ekonom PSI, melarikan diri ke luar negeri setelah PRRI. Mohammad Isa Anshary – aktivis Islam dan intelektual Masyumi, sempat dipenjara.
Rezim Soekarno juga menekan kebebasan pers. Banyak media ditutup dan wartawan dipenjara karena mengkritik pemerintah. Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman, beberapa kali ditahan dan medianya dibredel.
Surat kabar Islam seperti Abadi dan media independen lainnya dibubarkan karena tidak sejalan dengan garis “revolusi” Soekarno.
Penahanan-penahahan itu tanpa pengadilan. Sebagian besar tahanan politik pada masa Presiden Soekarno tidak pernah diadili. Mereka ditahan berdasarkan keputusan politik atau alasan “keamanan negara”.
Tempat penahanan tersebar di berbagai lokasi. Dari Jakarta hingga Pulau Buru (yang kemudian digunakan pula oleh Orde Baru untuk tahanan politik pasca-1965).
Kebijakan penahanan politik pada masa Presiden Soekarno mencerminkan paradoks besar dalam sejarah Indonesia. Pada satu sisi, Presiden Soekarno adalah simbol pembebasan nasional. Namun pada sisi lain, ia menyingkirkan banyak tokoh yang ikut membangun republik atas nama “revolusi”.
Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan banyak tokoh lain menjadi saksi bahwa perbedaan pandangan di masa Demokrasi Terpimpin seringkali dibayar mahal. Kehilangan kebebasan, bahkan nyawa.
Sejarah tidak untuk dihakimi, melainkan dipelajari. Dari masa Presiden Soekarno kita belajar bahwa kekuasaan tanpa keseimbangan, bahkan dalam tangan seorang pemimpin besar, dapat menelan anak-anak revolusinya sendiri.
Jika Megawati Soekarnoputri kini resah atas penahanan rumah terhadap Presiden Soekarno di akhir masa kekuasaannya, maka keresahan yang sama tentu dirasakan pula oleh anak-anak dan cucu dari tokoh-tokoh bangsa yang dahulu dipenjara oleh Presiden Soekarno.
Sejarah adalah spion kebangsaan untuk tidak terulang kesalahan yang sama. _*Sing uwis ya uwis.*_ Yang sudah ya sudah.
Oleh: Abdul Rohman Sukardi


