Jadi Kapolri, Listyo Sigit Diharapkan Jadi Ikon Anti Diskriminasi Di Tubuh Polri

| Rabu, 27 Januari 2021 | 14.26 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Presiden Joko Widodo melantik Listyo Sigit Prabowo sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Rabu (27/1/2021). Listyo Sigit menggantikan Idham Azis.


Pangkat Listyo Sigit juga naik setingkat, dari komisaris jenderal menjadi jenderal. Pelantikan digelar di Istana Kepresidenan, Jakarta, pukul 09.30 WIB.


Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, berharap mantan Kabareskrim itu bisa menjadi ikon Anti Diskriminasi di tubuh Polri. Kenapa Sigit harus menjadi ikon Anti Diskriminasi? 


"Sebab selama ini sulit sekali bagi Pati non Muslim untuk memegang jabatan tertentu di Polri. Bahkan selama Indonesia merdeka dan selama Polri berdiri, baru dua kali Kapolri dijabat Pati non Muslim, yakni Widodo Budidarmo kerabat Ibu Tien dan Listyo Sigit mantan ajudan Jokowi. Dan Sigit berhasil lolos dari lubang jarum diskriminasi di tubuh kepolisian," ujar Neta dalam keterangannya, Rabu (27/1/2021).


Sebab itu dengan dilantiknya menjadi Kapolri, Sigit harus membawa paradigma baru di tubuh Polri, paradigma yang anti diskriminasi dan Sigit harus mampu menjadi ikonnya.


Setidaknya ada tiga diskriminasi di tubuh Polri yang harus segera dihilangkan Kapolri Sigit, mengingat dirinya sebagai ikon Anti Diskriminasi di Polri. 


Pertama, segera cabut Surat Keputusan Kapolri No: Kep/407/IV/2016 tgl 20 April 2016 yang menyebutkan syarat menjadi Kapolda/Wakapolda harus berpendidikan Sespimti/Lemhanas/Sesko TNI. Sementara pendidikan Diklatpim TK I tidak diakui dan hanya syarat untuk Irwasda ke bawah. Ini jelas sangat diskriminatif dan Polri berpotensi diboikot LAN sebagai lembaga yang membuat Diklatpim untuk seluruh ASN.


Kedua, Pati Polwan Polri selama ini terdiskriminasi dan sangat sulit bagi mereka untuk menjadi Kapolda. Padahal jumlah penduduk perempuan di Indonesia saat ini lebih dari 55 persen. Dalam sejarah Polri baru satu perempuan menjadi Kapolda, yakni Brigjen Rumiyah di Banten.


Ketiga, perwira lulusan Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS) saat ini tidak bisa mengikuti Sespimma, Sespimmen dan Sespimti. Para lulusan SIPSS diarahkan ke pendidikan Diklatpim I, II, dan III. Kebijakan diskriminatif itu dikeluarkan melalui Pengumuman Kapolri, Nomor: PENG/4/I/DIK.2.2/2021 tanggal 8 Januari 2021 tentang penyelenggaraan pendidikan SESPIMMA Angkatan ke-65 dan 66 T.A. 2021. Salah satu isi Poin nomor 3b, yaitu persyaratannya hanya untuk Perwira Lulusan Akpol dan SIP.  Tentunya pengumuman ini sangat merugikan dan sangat diskriminatif bagi lulusan SIPSS. Selanjutnya jika melihat dari ST Kapolri Nomor: ST/299/I/DIK.2.5./2020 Tanggal 29 Januari 2020, pendidikan Diklatpim Tingkat I, terdapat syarat ketentuan usia anggota Polri minimal 47 tahun. Hal ini sangat diskriminatif bagi lulusan SIPSS, karena untuk di level AKP, rata-rata usia lulusan Personel Polri dari SIPSS berada pada usia 32 tahun. Artinya jenjang kariernya akan tertunda sangat lama, sampai usia 47 tahun.


"PW berharap Sigit sebagai Kapolri baru, yang baru lolos dari lubang jarum diskriminasi di tubuh Polri, bisa melihat berbagai kebijakan yang bersifat diskriminatif di tubuh kepolisian. Setidaknya bisa melihat, kenapa perwira SIPSS tidak diperbolehkan ikut Dikbangum Polri, padahal mereka juga personel Polri yang sama dengan lainnya," kata Neta.


Jika di internalnya saja, Neta menilai Polri sudah penuh dengan sikap sikap diskriminasi bagaimana anggotanya yang bertugas di lapang bisa bersikap Persisi dalam melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Bagaimana anggota Polri bisa bersikap adil dalam melakukan penegakan hukum di masyarakat, sementara kehidupan institusinya penuh dengan sikap diskriminasi.


"Sebab itu, setelah dilantik menjadi Kapolri tugas pertama Sigit adalah segera mencabut dan menghapus semua kebijakan yang berbau diskriminasi di tubuh Polri. Sigit harus mampu menjadi ikon Anti Diskriminasi," tukas Neta. (BSI)

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI