Mau Jadi Presiden?

| Senin, 01 Februari 2021 | 07.56 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Pemimpin itu soal nasib. Betul! Banyak orang yang tak layak, tapi jadi pemimpin. Inilah yang disebut "holders of exceptional positions". Orang bodoh yang ambil porsinya orang pintar. Dia jadi kepala daerah atau presiden karena nasib saja. Meski tak memenuhi syarat integritas dan kapasitas.


Sistem pemilu di Indonesia memberi ruang bagi mereka yang tak memenuhi "syarat substansial" untuk menjadi pemimpin. Sebab, untuk menjadi pemimpin di negeri ini hanya butuh popularitas dan akses pendanaan. 


Soal popularitas, pelajari saja apa yang diminati media. Semua sikap dan tindakan disesuaikan dengan kebutuhan media, pasti populer. Blusukan, masuk gorong-gorong, datangi gelandangan, nyebut ke comberan, ikut becek-becek bersama petani, itu yang disukai media. 


Dengan modal popularitas dan akses dana, anda bisa beli tiket partai dan menghipnotis pemilih. Cukup itu saja. Simple! 


Bicara "syarat substansial", pemimpin idealnya adalah orang yang banyak membaca. Ini bukan hanya soal pengetahuan dan wawasan saja. Tapi terutama soal mental. Orang yang banyak baca, setidaknya dia pertama, mau mendengar banyak ide dan gagasan. Kedua, peduli pada data. Ketiga, menganggap penting analisis dan kajian.


Pemimpin yang tak suka, atau miskin bacaan, ia sulit mendengar pendapat orang lain. Cenderung tak peduli pada data, tak menyaring banyak pandangan, dan abai terhadap kajian. Yang penting kerja! 


Tidak sabar, dan ingin serba cepat. Instan dan spontan. Pokoknya, dengar atau lihat masalah, langsung selesaikan. Tak berpikir tingkat efektifitas dan dampaknya. Yang penting, selesaikan!


Lihat orang gak bisa nyebrang, bikin pelabuhan. Beli kapal-kapal, agar masyarakat bisa nyebrang. Gak berpikir kemampuan biayanya, seberapa besar manfaatnya, dan bagaimana cost kedepannya. Pokoknya dermaga harus dibuat. Ya, sepi. Mangkrak. Kenapa? Karena tidak berbasis pada kajian.


Ingin setiap daerah tumbuh ekonominya, bikin tol. Bila perlu, semua provinsi ada tol. Pertanyaanya: apakah masyarakat di wilayah itu butuh tol? Kalau gak butuh, tol sepi. Gak mampu biaya perawatan. Bangkrut, dijual. Semua ini karena program tak berbasis kajian. 


Ada juga yang gak tahan lihat gelandangan. Main kasih rekomendasi kerja di BUMN. Gak melihat dulu apa masalah mereka, berapa banyak jumlahnya, dan dimana sebaran wilayahnya. Gak mengkaji lebih dulu program menteri sebelumnya, mana yang belum efektif. Apa yang salah dan perlu dibenahi dari program sebelumnya. Pokoknya, kasih kerjaan. Emang mereka lagi cari kerja?


Selain memperlebar telinga, menajamkan mata, dan membuat peka syaraf otak, membaca juga memberi wawasan dan kekayaan pandangan. Dengan membaca, seorang pemimpin punya banyak alternatif dalam membuat keputusan. Ini akan mempengaruhi kematangannya dalam membuat setiap kebijakan.


Selain membaca, seorang pemimpin mesti gaul. Maksudnya, banyak relasi. Ketika ia jadi pemimpin, ia kenal banyak orang dengan Latar belakang profesi dan kemampuannya, lalu menyiapkan orang-orang yang layak untuk diajak berkolaborasi mengelola negara. Tahu integritas dan kapasitas mereka. Bukan hanya berpikir bagaimana menang, tapi juga bagaimana mengisi kemenangan itu. Nah, disini seorang pemimpin butuh teknokrat handal dan berintegritas. 


Idealnya, seorang pemimpin punya latar belakang aktifis yang akrab dengan persoalan-persoalan bangsa. Aktifis di dalam atau di luar pemerintahan. Lepas apapun profesinya, keakraban dengan problem bangsa akan membantunya untuk memahami dan memetakan persoalan. 


Aktifis itu terlatih berpikir cerdas, bertindak cepat dan terukur. Tidak seperti akademisi tulen yang terkungkung oleh teori-teori dan muter-muter dalam wacana. Aktifis itu paham masalah, tahu teorinya, cepat keputusannya. 


Poinnya, sebelum jadi pemimpin, ia mesti paham apa masalah yang dihadapi bangsa ini. Ada gagasan di otaknya bagaimana menyelesaikan masalah itu.


Bayangkan, jika seorang pemimpin gak punya data. Gak paham masalah. Gak tahu apa-apa soal bangsa. Bagaimana dia punya gagasan dan program. Akibatnya, banyak pemimpin yang gak paham apa yang diucapkan dan dijanjikan saat kampanye. Sebab, yang membuat janji itu timsesnya, bukan dirinya. Dia gak paham janji itu. Paham saja enggak, bagaimana mau melaksanakan.


Model _man of contradictions_ di negeri ini banyak. Karena tak memenuhi "syarat substansial" sebagai pemimpin!


Oleh: Tony Rosyid

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa



Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI