Mendengar SBY Setelah KLB Versus 'Realpolitik'

| Selasa, 09 Maret 2021 | 13.03 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - “Jika dua ahli hukum berdebat, maka akan ada tiga pendapat.” 


Itulah adagium yang sudah diajarkan pada kepada mahasiswa fakultas hukum, sejak semester pertama.


Seketat apapun hukum yang dibuat, di tangan para ahli hukum, apalagi ahli hukum yang tengah bermanuver, aturan itu dapat ditafsir berbeda.


Adagium atau pepatah ini pula yang akan merumitkan Partai Demokrat. Sejak 5 Maret 2021, publik dibingungkan oleh hadirnya dua versi Partai Demokrat.


Pengurus versi mana yang sah? Yang mana yang legal? Yang mana yang akan mendapatkan “sertifikat” keabsahan” dari Menkumham? 


Apalalagi pastilah dua kubu yang bertarung itu masing-  masing diback-up oleh ahli hukum.


Yang satu dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Satu lagi hasil KLB Demokrat 5 Maret 2021, yang dipimpin Moeldoko.


Bobot Moeldoko menambah rumit situasi. Ia kini kepala KSP (Kantor Staf Presiden) lingkaran utama presiden yang sedang berkuasa. Ia juga pernah menjabat panglima TNI.


Dibiarkannya KLB ini terjadi, tanpa dibubarkan polisi. Dibiarkannya Moeldoko berpartisipasi dalam KLB tanpa dilarang presiden. Dua hal itu juga menambah komplikasi persoalan.


Kitapun teringat dengan istilah Realpolitik. Istilah ini diciptakan oleh Ludwig von Rochau, di tahun 1853. Sekitar 168 tahun lalu. (1)


Pemenang pertarungan politik acapkali ditentukan oleh Realpolitik. Bukan moral atau etika yang utama, tapi hukum pragmatisme politik yang bekerja.


Siapa yang menguasai opini publik? Siapa yang paling bisa membujuk ketua wilayah dan cabang setelah KLB?


Dan siapa yang paling mampu meyakinkan pemegang lisensi “keabsahan partai politik,” yakni penguasa yang riel itu sendiri? 


Ia yang menguasai sekaligus tiga variabel di atas yang akan menang.


Sila pertama Realpolitik: Bukan etika atau moralitas, tapi mereka yang bekerja sesuai dengan hukum besi politik  itulah yang akan berjaya.


-000-


SBY seperti biasa tampil dengan elegan. Ia memberi pernyataan, jumpa dengan wartawan, setelah KLB Demokrat selesai.


Ia menyatakan kekagetannya. Mengapa Moeldoko, orang yang dulu Ia percaya menjabat ketika SBY menjadi presiden, Ia beri amanah, kok “tega” dan “berdarah dingin” mengambil alih Demokrat.


SBY juga bercerita. Ketum Demokrat yang sah bahkan sudah membuat surat kepada Presiden Jokowi soal manuver pembantu dekatnya. 


Tapi tak ada respon yang signifikan dan akhirnya KLB itu terjadi.


SBY pun memaparkan betapa syarat KLB yang diatur dalam AD/ART Demokrat tak terpenuhi. 


Satu persatu syarat itu, SBY urai. Mulai dari syarat 2/3 jumlah Dewan Pimpinan Daerah, 1/2 jumlah pimpinan cabang. Dan disetujui Majelis Tinggi Partai yang ketuanya adalah SBY sendiri.


Sudah diduga, pihak penyelenggara KLB pasti pula memiliki tim hukum sendiri. Mereka melakukan manuver yang bisa ditafsir “sah” dan legal, sesuai dengan UU kepartaian.


Bagi penyelenggara KLB, pemilik suara, DPD dan DPC, tak perlu hadir secara fisik. Tanda tangan mereka atas KLB sudah cukup. 


Penyelenggara mengklaim sudah mengantongi tanda tangan itu dalam jumlah yang cukup.


KLB pun dianggap sah. Ia menjadi forum tertinggi.


Izin Majelis tinggi tak mereka hiraukan. Mereka menafsir izin Majelis Tinggi itu bertentangan dengan hukum demokrasi. KLB partai menjadi tergantung dari satu orang saja (Ketua Majelis Tinggi). Padahal partai itu milik anggota.


Ketika KLB digelar, yang pertama kali diubah adalah aturan AD/ART. Termasuk menghapus institusi majelis tinggi. Sehingga dalam AD/ART hasil KLB, tak perlu persetujuan Majelis Tinggi untuk memilih ketua umum berikutnya.


KLB juga memberikan kartu anggota khusus kepada Moeldoko. Saat itu pula ditetapkan Moeldoko sah untuk maju dan bertarung memperebutkan Ketua Umum baru.


Forumpun dirancang untuk tidak aklamasi. Moeldoko harus berkompetisi dengan kandidat lain sebagai ketua umum: Marzuki Ali.


Cepat sekali pemilihannya. Cukup dengan voting berdiri, tak usah dihitung lagi, kasat mata, pendukung Moeldoko lebih banyak.


KLB pun memutuskan Moeldoko ketum Demokrat baru. Marzuki Ali yang kalah ditetapkan Ketua Dewan Pembina.


Setelah terpilih, Moeldoko baru hadir secara fisik di arena KLB. Ia pun berpidato, menerima posisi Ketum Demokrat baru, setelah diyakinkan (meyakini) prosedur AD/ART dipatuhi.


-000-


Sebelum KLB, pertarungan Realpolitik sudah terjadi. 


Pertarungan opini publik sudah disebar. Semua pihak memainkan istilah dan citra, menyerang lawan, dan membenarkan posisinya.


Pihak AHY, menghidupkan istilah “kudeta, politik Orde Baru, Istana terlibat, KLB abal- abal, broker politik yang bekerja, uang bermain, Demokrat  is not for sale.”


Pihak pro KLB memainkan isu lain: “Dinasti politik, partai terbuka dan modern diubah menjadi partai keluarga, turunnya perolehan partai sejak pemilu 2014 dan 2019, kekecewaan DPD dan DPC akibat DPP melakukan mahar politik.”


Mengapa istana terlibat? Dimainkan pula isu lain, yang publik tak tahu pasti benar salahnya. SBY dikabarkan acapkali ikut “membiayai” anti kebijakan pemerintah, seperti demo UU Cipta Kerja.


Atas nama stabilitas politik, apalagi di masa sulit, demokrat perlu ditertibkan. Kekecewaan anggota senior yang berujung pada KLB, dianggap momen yang pas menertibkan demokrat.


Ke depan, kita akan menyaksikan dua jenis pertarungan berikutnya dari dua versi demokrat.


Pertama, mereka akan saling berebut dukungan DPD dan DPC. Rebutan tak hanya dengan “wortel” (insentif), tapi juga stick (punishment).


Demokrat versi KLB bisa dipastikan menawarkan “gula gula,” aturan baru yang menambah wewenang DPD dan DPC.


Jika DPD, DPC tak tunduk, mereka akan diancam diganti.


Kedua, dua versi Demokrat saling berebut sertifikat pengurus yang sah dari Kemenkumhan. 


Kini Kemenkumham adalah Yasonna H Lauly. Untuk kasus sebesar KLB demokrat membuat sang menteri mempertimbangkan banyak hal.


Tentu sang menteri akan mendengar arahan presiden (jika ada). Bahkan juga arahan ketum PDIP (jika ada).


Bisa pula, dua versi demokrat ini, Ia ambangkan saja. Ini sudah cukup untuk membuat versi manapun tak lagi beroposisi dengan pemerintah. 


-000-


Bahkan di era reformasi, kita sudah cukup menyaksikan. Aneka partai politik direbut dan lepas dari patron utamanya.


PKB Cak Imin lepas dari Gus Dur. Partai Berkarya Muchdi PR lepas dari Tommy Suharto. PAN Zulkifli Hasan lepas dari Amien Rais. 


Dulu, Golkar juga sempat terbelah antara Golkar Aburizal Bakrie versus Golkar Agung Laksono. Akhirnya kedua kubu itu bersatu dibawah ketum alternatif: Airlangga Hartarto.


Untuk banyak kasus, partai itu lepas dari patron utama ketika sang patron utama beroposisi terhadap pemerintah (presiden). Pihak di dalam partai bermanuver, melawan sang patron. 


Akhirnya, sang patron utama dikalahkan dan ditinggalkan.


Akankah Realpolitik membuat Partai Demokrat versi KLB yang menang dan meninggalkan SBY?


Kita belum tahu apa yang akan terjadi. Realpolitik adalah satu hal. 


Tapi rasa sedih kita melihat mudahnya partai politik terubrak- abrik, adalah hal lain lagi.***


Oleh: Denny JA

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI