Yusril: Pemerintah Harus Kerja Keras Perbaiki UU Cipta Kerja

| Senin, 29 November 2021 | 07.55 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah Presiden Joko Widodo tak punya pilihan kecuali bekerja keras memperbaiki UU Cipta Kerja pacsa putusan MK.


Hal itu dinyatakan menanggapi Putusan MK yang menyatakan  UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat. Jika dalam dua tahun UU tersebut tidak diperbaiki, maka UU itu otomatis menjadi inkonstitusional secara permanen. 

“MK juga menyatakan, jika dalam dua tahun tidak dioerbaiki, maka semua UU yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja itu otomatis berkaku kembali. Ini jelas dapat menimbulkan kekacauan hukum,” kata Yusril.

Dalam putusan tersebut, MK juga melarang Pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana terhadap UU Cipta Kerja selain yang sudah ada. MK juga melarang Pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan baru yang berdampak luas yang didasarkan atas UU Cipta Kerja selama UU itu belum diperbaiki. 

Yusril menilai Putusan MK itu mempunyai dampak yang luas terhadap Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kini tinggal lebih kurang tiga tahun lagi sampai tahun 2024.

Kebijakan-kebijakan super cepat yang ingin dilakukan Pemerintah Presiden Joko Widodo sebagian besar justru didasarkan kepada UU Cipta Kerja itu. Tanpa perbaikan segera, kebijakan-kebijakan baru yang akan diambil Presiden otomatis terhenti. 

“Ini berpotensi melumpuhkan Pemerintah yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi,” kata mantan Menkumham dan Mensesneg ini. 

Pemerintah, menurut Yusril dapat menempuh dua cara mengatasi hal tersebut. 

Pertama memperkuat Kementerian Hukum dan HAM sebagai law centre dan menjadi leader dalam merevisi UU Cipta Kerja. 

Kedua, Pemerintah dapat segera membentuk Kementerian Legislasi Nasional yang bertugas menata, mensinkronisasi dan merapikan semua peraturan perundang-undangan dari pusat sampai ke daerah. 

Keberadaan kementerian baru itu sebenarnya sudah disepakati antara Pemerintah dengan DPR pada akhir periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun hingga kini kesepakatan itu belum dilaksanakan karena mungkin terbentur dengan pembatasan jumlah kementerian yg diatur dalam UU Kementerian Negara. 

Sesuai kesepakatan, sebelum kementerian tersebut terbentuk, maka tugas dan fungsinya dijalankan oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Yusril menilai, sejak awal UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan cara meniru Omnibus Law di Amerika dan Kanada itu bermasalah. 

“Kita mempunyai UU No 12 Tahun 2011 tengang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur harus tunduk pada UU itu. MK yang berwenang menguji materil dan formil terhadap UU, menggunakan UUD 45 sebagai batu ujinya jika melakukan uji materil. Sementara, jika melakukan uji formil, MK menggunakan UU No 12 Tahun 2011 itu,” papar Yusril. 

Sebab itu, ketika UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan meniru gaya Omnibus Law diuji formil dengan UU No 12 Tahun 2011, UU tersebut bisa dirontokkan oleh MK. MK akan memutus bahwa prosedur pembentukan UU Cipta Kerja menabrak prosedur pembentukan UU sebagaimana diatur oleh UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.

Oleh karena itu, menurut Yusril, dia tidak heran dan tidak kaget jika MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Masih bagus MK hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Kalau murni inkonstitusional, maka Pemerintah Presiden Jokowi benar-benar berada dalam posisi yang sulit. 

“Karena itu, Yusril menyarankan agar Presiden Joko Widodo bertindak cepat melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Cipta Kerja, tanpa harus menunggu dua tahun,” tutup Yusril. 
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI