Ketua MPR Ajak Negara di Dunia Bersatu Hadapi Perubahan Iklim

| Senin, 21 Maret 2022 | 12.58 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi kerja keras DPR RI dibawah kepemimpinan Ketua DPR RI Puan Maharani yang menjadikan momen Indonesia sebagai tuan rumah 144th Inter-Parliamentary Union (IPU) sebagai momentum menyuarakan pentingnya parlemen negara-negara dunia melakukan tindakan nyata dalam menghadapi perubahan iklim. 


Sebagaimana ditegaskan Presiden Joko Widodo saat membuka IPU, bahwa pembicaraan mengenai perubahan iklim sering dibahas di tataran global, namun belum ada aksi nyata yang terlihat di lapangan.


Presiden Joko Widodo menegaskan, untuk menghadapi perubahan iklim, dunia harus bersatu. Negara-negara maju harus berani bergerak menanamkan investasi di berbagai negara berkembang yang memiliki potensi energi baru terbarukan. Untuk itu butuh dorongan parlemen dari berbagai negara yang tergabung dalam IPU untuk menggerakan pemerintahan di masing-masing negaranya melakukan aksi nyata memperbesar investasi di sektor energi baru terbarukan.

"Presiden Jokowi bahkan mengingatkan, kita menghadapi sebuah hal yang mengerikan jika tidak berani memobilisasi berbagai kebijakan dalam menghadapi perubahan iklim, baik ditingkat parlemen maupun di pemerintah. Indonesia sangat serius menghadapi perubahan iklim, khususnya dalam menngembangkan potensi energi baru terbarukan. Salah satunya ditunjukan oleh Presiden Jokowi dan juga parlemen Indonesia dalam menggalakan berbagai potensi energi baru terbarukan di Indonesia yang sangat melimpah, mencapai 418 GigaWatt (GW). Antara lain bersumber dari Matahari/Surya yang bisa mencapai 207,8 GW; Air mencapai 75 GW; Angin mencapai 60,6 GW; Bioenergi mencapai 32,6 GW; Panas Bumi mencapai 23,9 GW; dan Arus Laut mencapai 17,9 GW," ujar Bamsoet di Bali, Minggu malam (20/3/22).

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menjelaskan, salah satu contoh konkrit pemerintah menghadapi perubahan iklim terlihat dari dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK). Selain sebagai upaya mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih awal, maupun Nationally Determined Contribution (NDC) berupa penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030, keberadaan Perpres tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara penggerak dunia yang melakukan penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar di tingkat global menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.

"Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memprediksi potensi perdagangan karbon di Indonesia bisa mencapai Rp 350 triliun.  Besarnya potensi ekonomi tersebut tidak lepas
 karena Indonesia mampu menyerap sekitar 113,18 gigaton karbon. Diperoleh dari luasnya hutan hujan tropis di Indonesia yang merupakan terbesar ketiga dunia dengan luas area 125,9 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton. Luas hutan mangrove mencapai 3,31 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton karbon per hektar atau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove. Serta lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon mencapai sekitar 55 miliar ton," jelas Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, HAM, dan Keamanan ini menerangkan, dengan dukungan parlemen Indonesia, Presiden Joko Widodo juga sudah meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 (Indonesia Green Taxonomy 1.0) yang disusun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan melibatkan berbagai kementerian/lembaga. Menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang telah memiliki standar nasional sektor ekonomi hijau.

"Dari kajian Bank Indonesia berdasarkan penghitungan menggunakan metode Tingkat Pertumbuhan Tahunan Majemuk (Compound Annual Growth Rate/CAGR), Indonesia bisa mendapatkan banyak manfaat jika transisi Ekonomi Hijau serta sistem keuangan berkelanjutan bisa segera diterapkan. Antara lain, kenaikan produk domestik bruto (PDB) diproyeksikan bisa mencapai 0,62 persen per tahun. Hingga tambahan kenaikan cadangan devisa mencapai 51,9 miliar dolar AS. Namun tantangan yang dihadapi Indonesia dalam transisi menuju Ekonomi Hijau juga sangat besar. Antara lain dana yang tidak sedikit dan proyek berkelanjutan yang masih terbatas. Dari kajian Otoritas Jasa Keuangan (OJK), setidaknya Indonesia membutuhkan Rp 745 triliun per tahun hingga 2030. Karenanya butuh dukungan dari berbagai negara maju lainnya untuk melakukan investasi besar-besaran di sektor Ekonomi Hijau Indonesia," pungkas Bamsoet. 
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI