Benarkah FPI dan HTI Masih Bergerak di Bawah Tanah?

| Kamis, 07 April 2022 | 01.22 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan bahwa kondisi kebangsaan di Indonesia saat ini semakin tidak mudah. Kelompok-kelompok yang menggunakan agama sebagai alat masih bergerak untuk meraih kepentingannya. 


"Meski kita mampu membubarkan HTI dan FPI bersama pemerintah, tapi mereka masih berkeliaran di bawah tanah dan bergerak dengan cara mereka," ujar Ketua Umum GP Ansor itu dalam pembukaan Konferensi Besar XXV GP Ansor di Kalimantan Selatan, Rabu (30/3).

Sebagai kelompok yang dituding, Sekretaris Umum Front Persaudaraan Islam Ali Alatas menilai pernyataan Yaqut menimbulkan kecurigaan antar sesama elemen bangsa.

"Narasi yang dibangun itu baunya itu seolah-olah ini ada yang perlu diwaspadai, membangun kecurigaan antar sesama elemen bangsa, membangun seolah beradu satu sama lain, ini siap siap seolah kita ingin mengadu satu sama lain," ujar Ali dalam diskusi #Safari24 Total Politik dengan tema "Benarkah FPI dan HTI Masih Bergerak di Bawah Tanah" di Jakarta Selatan (5/4).

Menurut Ali, pernyataan Menteri Agama itu berbahaya sebagai pejabat publik. "Kalau seandainya ini dikatakan oleh Menag (Yaqut) ini justu malah berbahaya, karena dia sifatnya adalah seorang pejabat publik," ujarnya.

Narasi yang dibangun Menteri Agama itu mengesankan orang-orang eks organisasi FPI yang dibubarkan itu tidak boleh berkegiatan lagi. Padahal hak untuk berorganisasi itu dijamin konstitusi.

"Kenapa narasi yang dibangun adalah narasi yang kemudian cenderung pada memisah-misahkan seolah-olah kemudian orang-orang yang HTI-FPI itu, kesan yang ditangkap seolah olah enggak boleh lagi berkegiatan, berikut serta, berkumpul menyatakan pendapat," kata Ali.

Menurut Ali, apabila memang ingin membela toleransi, seharusnya cara-cara yang digunakan tidak cara-cara yang intoleran. 

"Kalau memang seandainya betul katakanlah ingin membela toleransi, harusnya gunakanlah cara  jangan dengan cara intoleran," ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Katib Syuriah PWNU DKI Jakarta Taufik Damas memandang kapasitas Yaqut Cholil Qoumas saat itu sebagai Ketua Umum GP Ansor yang berbicara dalam Konferensi Besar XXV GP Ansor di Kalimantan Selatan, bukan sebagai Menteri Agama. Pernyataan itu disampaikan di internal organisasi.

"Pernyataan itu kan disampaikan dalam forum internal, artinya kapasitas beliau ketika ngomong itu sebagai Ketua Umum GP Ansor, bukan sebagai Menteri Agama," ujar Taufik.

Menurut Taufik, kewaspadaan harus memberikan pencerahan dan pemahaman soal keagamaan dan kebangsaan sehingga tidak selalu dibentur-benturkan di tengah masyarakat.

"Cara berpikir keagamaan dan kebangsaan harus selalu kita asah kemudian didiskusikan menjadi cara berpikir bagaimana menemukan paham keagamaan yang sejalan," ujarnya.

Taufik menekankan kewaspadaan diperlukan dalam konteks pendidikan sehingga tidak perlu dibenturkan. "Kewaspadaan ini dalam konteks mendidik orang, jadi tidak perlu berhadap-hadapan. Karena cara berpikir orang itu tidak bisa dilarang," ujarnya.

Sementara itu, Analis Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menganggap pernyataan Yaqut untuk konsolidasi internal di GP Ansor. Namun, dia menangkap kekhawatiran Yaqut sebagai kewajaran karena melihat kelompok eks HTI dan FPI masih membawa nilai-ilai di luar demokrasi.

"Menteri agama ini ingin mengonsolidasi internal bahwa di luar kelompok mereka ada kelompok hti dan fpi yang secara kultural masih ada membawa nilai-nilai di luar demokrasi," kata Adi.

Menurut Adi, sistem politik sebuah negara ditentukan oleh perilaku politik masyarakatnya. Maka ketika ada ide di luar perilaku politik masyarakat akan cenderung mengakibatkan keributan.

"Baik-buruknya sistem politik ditentukan oleh perilaku masyarakat memandang sistem politik itu. Maka ketika ada ide yang di luar perilaku politik masyarakat maka cenderung mengakibatkan keributan," kata Adi.

Di Indonesia, demokrasi menjadi sistem politik yang dikedepankan di atas suku, agama dan bangsa. Melihat sejarah Indonesia ke belakang, ide-ide soal syariat Islam dan khilafah sudah mewarnai diskursus politik Indonesia.

"Kita di Indonesia menggunakan instrumen-instrumen demokrasi. Kelompok-kelompok politik Islam selalu dicurigai pada saat rezim Soekarno dan Orde Baru karena ingin menampakan landasan negara bukan yang Pancasila dan NKRI, tapi dengan syariat Islam," kata Adi.

Maka kemudian muncul kelompok Islam yang moderat, seperti Gus Dur, Cak Nur, Dawam Rahardjo, Djohan Efendi, dan Ahmad Wahib, lebih melihat Islam secara lebih substantif. 

"Kelompok moderat itu ingin menyampaikan kepada publik bahwa Islam itu tidak harus syariat Islam, potong tangan, Islam itu tidak harus naik onta. Jadi Islam itu terkait sesuatu yang substantif. Kalau demokrasi itu membawa kesejahteraan kenapa tidak dianggap sebagai narasi Islam," ujarnya.

Adi mengkritisi pengusung ide syariat Islam dan khilafah yang tidak memiliki basis implementasi dan acuan yang jelas.

"Ide syarat Islam tidak clear dalam level eksplanatif dan implementasi. Model-model mana negara yang bisa ditiru. Apakah negara-negara Islam di timur tengah itu ada demokrasi. Tidak ada demokrasi di situ," ujarnya.

Ali Alatas menegaskan kalau FPI tidak bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Sebelum FPI lama dibubarkan, Kementerian Agama pernah mewawancarai soal Pancasila dalam rangka perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar FPI.

"Dua-duanya kita ga pernah masalah, dengan Pancasila dan NKRI. Pancasila dan syariat Islam tidak bertentangan," ujar Ali.

Ali menuding ada pihak yang ingin menstigma negatif terhadap FPI. 

"Ada orang-orang yang memang mencari keuntungan konflik atau ekonomi dengan stigma negatif. Kami meminta jangan ada stigma negatif terhadap ajaran Islam, terutama masalah jihad," ujar Ali.

Berbeda dengan Ali, Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, meskipun FPI tidak bertentangan dengan Pancasila dan NKRI, namun kerapkali melakukan kekerasan. 

"FPI pernah melakukan kekerasan pada saat dulu di Monas. FPI itu salah satu penyumbang pelanggaran kebebasan bernegara di Indonesia." ujar Halili.

Dan dalam riset Setara Institute kepada 171 SMA negeri yang baru dirilis, Halili mengatakan penelitiannya mengonfirmasi terjadi radikalisme.

"Riset kami mengonfirmasi itu. Riset kami di 171 SMA negeri mengonfirmasi radikalisme terjadi luar biasa. Ada temuan Ketua OSIS berbeda agama itu tidak bisa diterima. Bahkan seorang guru melarang siswa-siswanya yang muslim memilih calon non muslim," ungkap Halili.

Kemudian pada riset kualitatif pada 2019, Halili mengatakan kecemasan radikalisme di perguruan tinggi meningkat. "Jihad tidak hanya sungguh-sungguh dalam belajar, tapi jihad bagi mereka harus diinstitusionalisasi dalam keyakinan mereka," ujarnya.

Halili mengkerangkai konteks radikalisme itu bertentangan dengan hak-hak warga negara yang dijamin dalam konstitusi Pasal 29 Ayat 2. 

"Negara menjamin hak-hak warga negara. Yang tidak disebut sebagai keyakianan yang diakui oleh negara di luar yang 6 itu seharusnya juga punya hak yang sama," kata Halili.


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI