Fahira Idris: Ambang Batas Sudah Disalahpahami

| Jumat, 29 Juli 2022 | 09.14 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Gugatan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mulai disidangkan. Pada 26 Juli kemarin, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Banyak pihak berharap gugatan ambang batas yang diajukan PKS ini tidak kandas seperti gugatan-gugatan sebelumnya.


Anggota DPD RI Fahira Idris yang juga sempat mengajukan gugatan ambang batas 20 persen mengungkapkan, saat ini di Indonesia makna presidential threshold sudah disalahpahami atau sengaja disalahpahami. Ini karena presidential threshold yang lazim dipraktikkan negara-negara penganut sistem presidensial di dunia, bukanlah untuk membatasi pencalonan presiden, melainkan dalam rangka menentukan persentase suara minimum untuk keterpilihan seorang presiden.

“Indonesia menganut sistem presidensial, tetapi pemberlakuan ambang batas dilakukan di depan atau pada saat pencalonan presiden/wakil presiden. Ini kan sebuah keanehan yang nyata. Praktik lazim di negara penganut sistem presidensial adalah pemberlakuan ambang batas itu sebagai syarat minimum bagi keterpilihan presiden dan ini terkonfirmasi dalam konstitusi kita. Bagi saya, saat ini presidential threshold sudah disalahpahami atau sengaja disalahpahami. Ambang batas hanya dijadikan rule of game atau alat yang menentukan parpol mana saja yang boleh atau berhak mengusung capres/cawapresnya,” ujar Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan Jakarta (28/7).

Menurut Fahira, pasal 6A ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen yang mengamanatkan, bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, adalah praktik ambang batas yang dikehendaki konstitusi.

Artinya, penetapan 20 persen sebagai syarat atau ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden justru tidak mempunyai argumen yang jelas dan kuat dalam sistem presidensial dan di dalam konstitusi.

“Saya berharap teman-teman PKS saat persidangan nanti menjadikan argumen ini sebagai salah satu alasan kenapa PT 20 persen harus digugat. Saya juga berharap para Hakim MK memahami keinginan besar rakyat saat ini yaitu lahirnya lebih banyak calon presiden alternatif pada Pemilu 2024. Sangat disayangkan kalau negara demokrasi sebesar Indonesia ini, parameter kualitas calon presidennya hanya ditentukan oleh besar kecilnya dukungan parpol atas calon presiden tersebut,” pungkas Fahira Idris.

Sebagai informasi, sebelumnya, PKS secara resmi telah melayangkan gugatan judicial review Pasal 222 Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait presidential threshold 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional (6/7/2022). 


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI