Bernasindonesia.com - Mantan Menteri Hukum dan HAM dan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra menyatakan kesiapan dirinya jika kapan saja Pemerintah memintanya menjadi konsultan dalam pembuatan setiap perjanjian internasional. Hal itu dimaksudkan agar RI tidak kecolongan dan menjadi bahan permainan negara-negara lain karena lemahnya posisi kita dalam perjanjian internasional, dimana kita terlibat sebagai pihak di dalamnya.
Yusril bahkan mengatakan bahwa dia siap menjadi lawyer Pemerintah RI jika ada sengketa di badan-badan arbitrase dan gugatan di berbagai lembaga peradilan atau quasi peradilan di negara lain, termasuk pula pengadilan internasional.
Hal itu dinyatakan Yusril menjawab pertanyaan wartawan sehubungan dengan tanggapannya atas pidato Presiden Jokowi di hadapan relawan (Musyawarah Rakyat) di Jakarta, Sabtu 13 Mei 2013. Dalam pidato itu, Jokowi menyinggung seringnya Pemerintah RI kalah menghadapi gugatan negara-negara lain di berbagai forum dan badan-badan peradilan internasional. Karena itu, kata Jokowi, kita perlu pemimpin masa depan, yang berani dan tangguh mempertahankan kepentingan bangsa dan negara berhadapan dengan negara-negara lain.
Yusril mengatakan kuatnya posisi hukum Pemerintah RI itu harus dimulai ketika merumuskan kebijakan dalam negeri terkait ekspor-impor, penanaman modal dan kebijakan pembangunan industri dalam negeri. Pemerintah harus menciptakan instrumen hukum yang kuat dan mengajak negara-negara lain yang mempunyai posisi yang sama agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh kepentingan negara-negara maju.
Negara-negara maju menurut Yusril, sebenarnya tidak ingin RI menjadi negara industri seperti mereka. Mereka maunya RI selamanya menjadi eksportir bahan-bahan mentah untuk melayani kepentingan industri mereka. Mereka maunya kita menguras habis SDA kita. Sementara hukum pertambangan kita sendiri, tanpa sadar memberi peluang untuk itu. "Ini kesalahan fatal kita sendiri" kata Yusril.
Sementara dalam membuat kontrak dan perjanjian internasional, kita sering lalai dan tidak memperkuat posisi kita sebagai pihak sedari awal. Akibatnya, ketika digugat, kita tidak mampu mempertahankan kepentingan-kepentingan kita. Yusril memberi contoh kontrak yang dibuat oleh beberapa BUMN dengan pihak luar negeri yang menempatkan posisi kita begitu lemah, sehingga rentan menderita kekalahan jika digugat pihak lain di luar negeri.
Secara kenegaraan, Yusril berkeinginan untuk menata ulang kelembagaan yang menjadi _leading sector_ dalam menangani perjanjian internasional. Dahulu perjanjian-perjanjian internasional lebih banyak ditangani oleh Departemen Kehakiman, namun saat ini sejak adanya UU No. 24 Tahun 2000, Perjanjian Internasional, lebih banyak ditangani oleh Kementerian Luar Negeri.
"Saya kira tidak semua urusan luar negeri harus ditangani oleh Kementerian Luar Negeri, sebagaimana tidak semua urusan dalam negeri ditangani oleh Kemendagri", ujar Yusril. "Ke depan, kita harus menata ulang apa yang kita anggap sebagai kelemahan yang kita rasakan sekarang". Demikian keterangan tertulis Yusril menjawab pertanyaan wartawan dari Tokyo, Jepang.