Kasus Anies Bawesdan dan Capres Lain di Masa Lalu

| Jumat, 03 November 2023 | 01.10 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Bagaimana kita menjelaskannya? Ketika seorang calon presiden berkunjung ke daerah, yang datang menyambutnya melimpah ruah di jalan-jalan.


Begitu banyak yang merespon. Begitu crowded. Antusias. Begitu meriahnya. Tapi  ternyata hasil survei elektabilitas capres yang bersangkutan minim saja. Bahkan selalu buncit.

Inilah berita yang hari-hari ini muncul. Misalnya berita itu menyatakan bahwa jalanan tumpah ruah ketika Anies  Baswedan hadir. Tapi surveinya rendah. 

Atau Ini judul beritanya: “Massa AMIN (Anies- Muhaimin) Selalu Tumpah  Ruah, Tapi Hasil Surveinya Minim.” 

Perlu kita katakan. Ini sebenarnya tak hanya terjadi pada calon presiden Anies baswedan. Tapi juga terjadi pada beberapa capres lainnya di masa lalu. 

Setiap pilpres, hingga pilpres yang pertama kali di 2004, gejala serupa berulang terjadi: Ramai sekali yang merespon di alam terbuka, tapi survei elektabilitasnya kecil saja.

Mengapa saya yakin soal ini? Itu karena LSI sudah hadir  sejak pemilu presiden langsung yang pertama,  di tahun 2004.

Bahkan “kejanggalan” itu  tak hanya terjadi di Indonesia.  Ini pun terjadi di negara demokrasi lainnya. Bahwa ada jarak antara mereka yang berkumpul dengan hasil survei elektabilitas sang capres. Bagaimaan kita menjelaskan hadirnya gap ini?

Kita perlu masuk ke dalam psikologi politik kerumunan.  Mereka yang hadir dalam kerumunan satu event calon presiden itu memiliki empat komponen.

Kelompok pertama adalah mereka yang memang pendukung asli, pemilih  tulen sang capres. Mereka datang secara sukarela, berpartisipasi untuk melihat dan  mendukung calon presidennya.

komponen kedua adalah kelompok hore-hore.  Ini sejenis orang-orang yang memang senang berkumpul dengan capres mana pun, sejauh ada “nasi bungkus.” 

Ketiga  adalah kelompok yang digerakkan oleh EO (Event Organizer).  Hal yang biasa dalam berbagai event, calon presiden ketika datang ke satu daerah, diurus oleh seorang, bahkan beberapa EO.

EO itu menjadi panitia profesional yang ditugaskan menghadirkan massa dengan target jumlah tertentu. EO ini   yang memobilisasi orang-orang untuk datang. 

Yang kemudian hadir, pastilah bukan pendukung asli capres yang bersangkutan. Mereka hadir hanya karena digerakkan oleh EO itu.

Kadang EO yang sama digunakan oleh capres yang berbeda. Sang EO pun kadang memobilisasi kerumunan yang sama, orang yang sama, untuk capres yang berbeda.

Keempat, yang jauh lebih banyak lagi, orang yang hadir karena daya tarik Door Prize. Dalan event itu sengaja dihalo- halokan, didengung-dengungkan, akan diundi door price.

Kadang hadiah yang diundi  begitu mencengangkan, begitu menggiurkan. Misalnya pemenang undian adalah sebuah mobil. Atau akan dibagikan beberapa tiket gratis untuk umroh.

Silahkan saja dicek jika melihat begitu banyak kerumunan yang berkumpul menyambut capres.  Coba amati di sana apakah  ada pembagian door price?

Sekali lagi, ini hal yang biasa yang terjadi di semua pertarungan pemilu presiden. Dan ini dialami oleh banyak capres. 

Tapi dengan mengetahui realitas politik kerumunan, kita menjadi lebih kritis. Kita dapat membedakan dalam politik kerumunan  itu, antara pendukung  asli dan yang “seolah- olah” pendukung.  Ada partisipasi, ada mobilisasi.

Kosa kata kita pun bertambah. Dalam politik kerumunan, ada pendukung sejati, ada pendukung seolah- olah. ***

Oleh: Denny JA

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI