Bernasindonesia.com - Majelis Perwakilan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MP KAHMI) Eropa Raya menyelenggarakan diskusi yang dikenal dengan Kajian Jumat Eropa secara daring, Jumat (15/11/24) waktu Eropa.
Diskusi yang mengangkat tema "Wajah Islam dan Dunia Pasca Trump Terpilih Kembali Sebagai Presiden US" ini mengupas kekhawatiran Muslim di Eropa pasca kemenangan Presiden Trump.
Diskusi dipandu oleh Lukmanul Hakim Zaini, Ketua Bidang Kerjasama dan Keorganisasian MP KAHMI Eropa Raya yang juga merupakan mahasiswa PhD di Boku University, Austria bersama narasumber Muhammad Vicky Afris Suryono, mahasiswa master sociology of Law, Lund University, Swedia. Turut hadir ketua MP Kahmi Eropa Raya, Choirul Anam dalam diskusi tersebut.
Choirul Anam mengungkapkan kajian jumat Eropa merupakan upaya kolektif KAHMI di berbagai negara di Eropa untuk memperkuat wajah muslim di Eropa yang rahmatan lil alamin.
"Kami terus berupaya untuk turut berperan serta menjadi duta-duta Muslim di negara Eropa yang merepresentasikan Islam yang indah, islam yang damai, sesuai dengan Quran dan Hadist," kata Anam.
Dalam diskusi selama satu setengah jam, dipaparkan sejarah politik Amerika dengan kemenangan yang silih berganti antara dua partai politik besar di Amerika, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat dalam kaitannya dengan wajah Islam di berbagai era kepemimpinan tersebut.
Digambarkan juga bagaimana pidato-pidato Presiden Trump selama memimpin negeri paman Sam dari tahun 2011 hingga 2018 mengindikasikan kebencian dan anggapan bahwa muslim adalah ancaman.
“sejak tahun 2011 kita sudah mendengar bagaimana Presiden Trump melalui pidatonya menyatakan kepercayaannya tentang Islam yang dianggap membenci Amerika, sehingga diyakini sebagai ancaman bagi negara adidaya tersebut”
Dalam diskusi tersebut narasumber juga menganalisis persona anti-muslim Trump dilihat dari sudut pandang sosial-kognitif.
"dari sudut pandang sosial-kognitif, Trump menggambarkan sosok yang anti-muslim baik dari sisi moral foundation yang dibangun, preferensi tatanan sosial, selective exposure, dan ancaman bagi identitas kolektif Amerika," jelas Vicky.
Lebih lanjut Vicky menjelaskan pentingnya untuk tidak terjebak pada dikotomi epistemology Barat terhadap Islam terlebih dalam isu-isu diskriminasi dan penindasan terhadap umat muslim.
“Kita telah terperangkap dalam epistemologi Barat dengan menggolongkan Islam sebagai sayap kiri atau sayap kanan, yang telah menimbulkan dilema dalam memahami fenomena ini, sebaiknya kita memandang Islam sebagai satu kesatuan”, ungkap Ketua PPI Swedia tersebut
Dalam sudut pandang muslim di Eropa, kemenangan Trump dikhawatirkan membangkitkan momentum partai-partai sayap kanan di Eropa yang akan berujung pada meningkatnya intensitas Islamophobia di Eropa.
Di sisi lain, ada juga anggapan bahwa siapapun Presiden Amerika yang terpilih, tidak akan begitu berpengaruh mengingat kedua partai besar di Amerika sama-sama tidak pro terhadap muslim. Terlebih lagi, negara-negara Islam di Timur Tengah sudah tidak sepenuhnya tergantung pada Amerika.
Namun demikian, upaya-upaya diplomasi dirasakan perlu ditingkatkan pada rezim Trump dalam mengantisipasi kebijakan-kebijakan yang dikhawatirkan anti-muslim..
"Memang secara jumlah, muslim adalah minoritas di Eropa. Muslim di Eropa yang didominasi dari negara timur tengah dimana merupakan korban perang, memiliki citra “low class”.
Namun dengan mengedepankan prestasi akademis misalnya, kita bisa berperan serta mengubah citra muslim di Eropa.”, ungkap Vicky
Diskusi yang dihadiri oleh seluruh anggota MP KAHMI Eropa Raya dari berbagai negara di Eropa ini ditutup dengan pandangan yang sama oleh semua yang hadir, bahwa persiapan dalam antisipasi terhadap Islamophobia, khususnya di Eropa perlu dilakukan. Upaya-upaya anggota MP KAHMI Eropa raya dalam membangun citra positif sebagai bagian dari wajah muslim di Eropa perlu terus ditingkatkan, baik di lingkungan kampus maupun dengan masyarakat di negara tempat tinggal masing-masing.
MP KAHMI Eropa Raya akan terus melihat perkembangan kebijakan-kebijakan Presiden Trump selama seratus hari ke depan dalam kaitan dengan dampaknya terhadap umat muslim di Eropa. Pemerintah melalui kekuatan diplomasinya diharapkan mampu memainkan perannya untuk memastikan Islamophobia tidak bangkit dan berkembang.