Isu Sparatisasi Sudah Tidak Efektif?

| Selasa, 01 Juli 2025 | 00.12 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Aceh mengungkapkan nada kemarahan ketika pulaunya diberikan ke Sumatera Utara oleh Mendagri. Gubernur Aceh membuat surat terbuka yang nadanya mengingatkan relasi Aceh-Jakarta berlumuran darah. Pulau itu bisa memercik api pertengkaran kembali. Sebelum akhirnya dilerai Presiden Prabowo.


Jauh diujung timur, isu sparatisasi itu masih sering mencuat: Papua Merdeka. KKB masih sering beraksi. Personil keamanan Indonesia terus berjatuhan menjadi korban. Satu dua. 

Pertanyaan krusial kita bersama adalah: _“masihkan narasi sparatisasi mampu menjadi alat tekan atau alat bargaining efektif terhadap pemerintah pusat”_.  _“Mampukah narasi sparatisasi menakut-nakuti Indonesia di panggung internasional?”._ Sehingga harus tunduk pada para penutut sparatisasi itu?

Untuk menjawabnya kita gunakan pendekatan *komprehensif-multi perspektif*. Termasuk menjadikan Timor Leste sebagai _*bench mark*_.

Timor Leste merupakan tipikal sempurna penanaman DNA kolonial. Suku bangsa satu pulau bisa dipisah oleh romantisisme hegemonik negara penjajahnya. Indonesia yang datang untuk menyatukan kembali (sesama bangsa Nusantara) dianggapnya sebagai penjajah. Melupakan penjajah sesungguhnya: Eropa-Portugal.

*“Timor Leste negara kaya minyak. Merdeka dari Indonesia akan mengantarkan seperti Dubai dan Singapura. Negara kecil tapi kaya. Rakyatnya akan jauh lebih makmur”*.  Begitu narasi angin surga yang dijanjikan para pemuja kemerdekaan Timor Leste. 

Kini sudah 23 tahun Merdeka. Timor Leste justru terjebak dalam kemiskinan parah. Impor pangan. Fasilitas pendidikan seadanya. Kesehatan minim fasilitas dan tenaga medis. Ketenagakerjaan menjadi masalah besar. 

Kita bisa belajar 5 aspek dari Timor Leste. 

_*Pertama*_, kepemilikan SDA tidak menjamin akan kaya. Perlu investor (jika miskin modal dan SDM) dan kemampuan bargaining yang setara untuk memperoleh _*sharing*_ yang adil dalam kerjasama. Tanpa kekuatan instrumen bargaining, posisinya akan dirugikan. Sebagaimana kasus eksplorasi celah Timor bersama Australia. Kini Cadangan minyak sudah menipis, Timor Leste belum beranjak kaya. Bahkan terancam bangkrut. 

_*Kedua*_,  jumlah penduduk yang sedikit, kualitas SDM belum kuat dan kapasitas kelembagaan lemah. Jumlah penduduknya 1,5 juta. Terlalu kecil untuk menggerakkan pasar domestik atau ekonomi skala besar. 

_*Ketiga*_, terjepit secara geopolitik. Berbeda dengan Singapura, ia berada pada posisi strategis selat Malaka. Singapura jualan fasilitas jasa perlintasan jalur strategis internasional. Timor Leste  terjepit secara geopolitik.

_*Keempat*_, bukan aliansi strategis negara kuat. Seperti Israil dibela Amerika. Juga tidak sama dengan Singapura sebagai bagian aliansi pemenang PD II. Sejak era itu, Singapura menjadi satelit negara-negara barat. Untuk mengamanan kepentingannya di Asia Tenggara. Timor Leste tidak diposisikan seperti itu. Apalagi pasca minyaknya terkuras, Australia tidak memberi dukungan signifikan. 

_*Kelima*_, pergeseran geopolitik global. Hegemoni negara-negara barat sedang merosot. Tahun 1997-8 negara-negara barat mampu menghentikan skenario *“tinggal landas”*-nya Indonesia. Tapi tidak mampu menghentikan munculnya hegemoni Asia. RRC menjadi kekuatan besar menggeser negara-negara barat. Mereka kini lebih sibuk menghadapi kemunculan RRC yang semakin kuat dan berharap dukungan negara-negara lain seperti Indonesia. Bahkan Indonesia diprediksi memiliki kekuatan ekonomi ke-4 dunia tidak lama lagi. Kisaran 2050. 

Realitas terbaru itu menjadikan permusuhan terhadap Indonesia bukan pilihan rasional. Justru merugikan negara-negara barat. Indonesia penghubung Samudera Hindia–Pasifik, 9 dari 10 jalur pelayaran dunia lewat perairan Indonesia. 

Pada era dunia multipolar saat ini, negara-negara besar (AS, Tiongkok, UE, Rusia, India) lebih berkepentingan menjaga stabilitas dan akses ke sumber daya Indonesia. Daripada memecahnya dan menciptakan ketidakpastian politik. Indonesia, Brasil, Turki, Afrika Selatan menjadi *middle power*: penjaga keseimbangan kekuatan global. Merupakan bunuh diri ketika harus merecoki Indonesia dengan mendukung sparatisasi. 

Kasus Timor Leste kini sepi dukungan dari Australia dan Portugal. Aliansi mereka, negara-negara barat, sedang menghadapi kemerosotan hegemoninya. Merecoki Indonesia bukan pilihan yang menguntungkan. Timor Leste terjepit. Harus merayu Indonesia untuk bisa masuk ASEAN. 

Bagaimana dengan Aceh dan Papua?. Potensi SDA memang lebih kaya dari Timor Leste. Aceh juga berada dalam posisi strategis. Pintu masuk selat Malaka. Akan tetapi tidak memiliki bargaining memaksimalkan potensinya itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran sendiri. Ia akan menjadi potensi untuk dirugikan dalam skema investasi asing. Sebagaimana Timor Leste dengan Australia dalam kasus minyak celah Timor. 

Di luar potensi itu, Aceh dan Papua posisinya mirip Timor Leste. Kelebihan eksistensi Aceh di selat Malaka tetap kalah pamor oleh Singapura. Juga oleh terusan Thailand jika beroperasi. Mengendalikan selat Malaka melalui Aceh juga tetap memerlukan Indonesia dalam memasuki wilayah Indonesia yang lain. Kepentingan internasional lebih efisien mengendalikan satu pintu: Indonesia. 

Penduduk Aceh sekitar 5 juta jiwa. Begitu pula Papua. Jika Papua diasumsikan dengan OAP (Orang Asli Papua) jumlahnya lebih sedikit. Tidak cukup bisa untuk menggerakkan pasar domestik. 

Dari berbagai aspek di atas, isu sparatisasi sudah tidak terlalu efektif lagi. Tidak akan mengundang dukungan eksternal untuk membelanya. Termasuk oleh negara-negara besar. Justru merugikan kepentingannya ketika harus berhadapan dengan Indonesia. 

Oleh: Abdul Rohman Sukardi 


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI
 
BERNASINDONESIA.COM - ALL RIGHTS RESERVED