Dua Dekade di Bayang-Bayang: Penghubung KY Terus Kawal Etika Hakim Tanpa Kekuatan Struktural

| Kamis, 07 Agustus 2025 | 00.09 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com – Di balik tembok peradilan Indonesia, sekelompok kecil pegawai bekerja dalam keheningan. Mereka bukan hakim, bukan jaksa, dan bukan pegawai kementerian. Namun mereka mengemban mandat besar: menjaga integritas lembaga kehakiman. Mereka adalah para penghubung Komisi Yudisial (KY) — dan mereka telah menjalankan tugas ini selama dua dekade, sering kali tanpa pengakuan formal.


Pada Rabu (6/8), STISPOL Wira Bhakti Denpasar menjadi tuan rumah bagi sebuah diskusi publik bertajuk “Peran Penghubung KY: Dua Dekade Menjaga dan Menegakkan Integritas.” Diskusi ini bukan sekadar perayaan, melainkan seruan perubahan dari sebuah sistem yang membiarkan penghubung KY berjalan dalam ketidakjelasan hukum.

Di Ujung Tanduk Sistem Hukum

Dosen Hukum STISPOL, Dr. I Made Adiwidya Yowana, S.H., M.H.Li., berbicara lantang tentang ironi yang selama ini terjadi.

“Penghubung KY punya tanggung jawab besar, tapi tak punya kekuatan hukum yang memadai. Mereka bukan ASN, tidak diakui secara struktural. Kalau ini dibiarkan, berarti kita tak serius menjaga etika peradilan,” tegasnya di hadapan peserta seminar.

Bagi Adiwidya, penguatan kelembagaan bukan sekadar formalitas administratif, melainkan kebutuhan mendesak jika negara ingin menjaga integritas aparat hukum secara berkelanjutan.

Bekerja dalam Senyap

Di sisi lain, I Made Aryana Putra Atmaja, S.H., M.H., Koordinator Penghubung KY Wilayah Bali, berbicara dengan nada yang lebih tenang — meskipun beban kerjanya tidak ringan.

“Kami terus melakukan edukasi kepada masyarakat, mahasiswa, dan lembaga terkait. Meskipun tidak memiliki status ASN, kami percaya nilai-nilai keadilan harus tetap disuarakan,” ujar Aryana.

Ia menyebut bahwa selama ini, kerja sama dengan kampus, organisasi masyarakat, dan media menjadi jalur alternatif untuk memperluas pemahaman publik tentang etik kehakiman. Namun, keterbatasan wewenang tetap menjadi batu sandungan utama.

Ketika Etika Tak Cukup Didukung Negara

Indonesia selama ini mengalami berbagai krisis kepercayaan terhadap lembaga yudikatif. Mulai dari dugaan suap, putusan kontroversial, hingga lemahnya sanksi etik terhadap hakim yang melanggar.

Dalam konteks itu, penghubung KY seharusnya menjadi garda terdepan dalam membangun ulang kepercayaan publik. Namun tanpa status resmi dan perlindungan hukum, mereka lebih menyerupai sukarelawan negara ketimbang perwakilan institusi formal.

“Tidak bisa bicara integritas kalau orang-orang yang menjaga integritas justru dibiarkan dalam ketidakpastian status,” kritik Dr. Adiwidya.

Apakah Perubahan Akan Datang?

Di akhir acara, pertanyaan yang menggantung bukan sekadar tentang sejarah dua dekade, tapi tentang masa depan. Apakah pemerintah akan mengubah posisi penghubung KY menjadi ASN? Akankah mereka diberikan kantor, anggaran, dan kewenangan seperti perwakilan lembaga negara lainnya?

Untuk saat ini, jawaban itu masih samar. Namun yang jelas, publik semakin sadar bahwa sistem hukum yang sehat tidak bisa dibangun hanya dari puncak menara gading — ia harus dibangun dari fondasi etik yang kuat, dan itu termasuk perlakuan adil terhadap mereka yang mengawasi.
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI
 
BERNASINDONESIA.COM - ALL RIGHTS RESERVED