Bernasindonesia.com - Langit Jakarta tidak berubah merah karena senja. Ia membara oleh kobaran kemarahan rakyat.
Itu terjadi saat rumah anggota DPR dan kediaman Menteri Keuangan dijarah oleh massa yang tergerak oleh rasa frustrasi mendalam.
Kejadian ini bukan sekadar vandalisme, melainkan simbol luka kolektif yang akhirnya meledak. Rakyat tak lagi melihat pejabat sebagai wakil, tetapi sebagai jarak yang memisahkan.
Di Makassar, kemarahan itu mencapai puncaknya. Malam itu, kantor DPRD kota luluh lantak. Pagar jebol, pos penjaga dan ATM hancur, api melahap ruang paripurna.
Rapat yang tengah berlangsung langsung terhenti: anggota dewan dan wali kota dievakuasi. Tiga orang tewas, lima luka-luka. Dua korban diduga terjebak api, satu lagi dilaporkan terjatuh saat mencoba menyelamatkan diri.
Detik-detik itu berubah menjadi puing harapan, lampu mati, dan tangis di antara reruntuhan simbol negara.
Ketika simbol demokrasi dibakar, yang rusak bukan hanya gedung fisik, tetapi juga kepercayaan. Api itu bukan sekadar menjilat kayu dan besi, melainkan juga pondasi solidaritas.
Ini bukan sekadar kerusuhan. Ini adalah jeritan sosial yang menuntut didengar, perlahan, dan sungguh-sungguh.
-000-
Mengapa Indonesia hari ini kembali terseret ke pusaran api?
Ada tiga akar mendasar:
1. Kesenjangan yang Menjadi Luka Kolektif
Di gedung tinggi pusat kota, pesta dan rapat para elit berjalan megah. Di kampung-kampung, rakyat pusing dengan harga beras, minyak goreng, dan cicilan utang yang mencekik.
Ketimpangan ini bukan sekadar soal uang, melainkan soal martabat. Ketika rakyat merasa dipandang sebelah mata, amarah berubah jadi letupan sosial.
2. Erosi Kepercayaan pada Lembaga
Aparat dipandang lebih sibuk mengamankan penguasa ketimbang rakyat. Parlemen dianggap gedung bisu, hanya sibuk merawat privilese.
Lembaga negara yang mestinya jadi pelindung, kini dilihat sebagai lawan. Dan ketika benang kepercayaan itu putus, rumah-rumah pejabat jadi sasaran, sebagai simbol negara yang dianggap berkhianat.
3. Ledakan Emosi di Era Ketidakpastian
Harga melonjak, ancaman pandemi baru, geopolitik global yang tak menentu—semua ini membuat rakyat hidup dalam kegelisahan permanen.
Satu video kerusuhan diunggah di media sosial, lalu dalam hitungan menit jadi bahan bakar amarah nasional.
Di titik itu, massa tak lagi menimbang logika: semua simbol kekuasaan sah untuk digulingkan.
-000-
Mengapa Dukungan untuk Prabowo Perlu Dipertegas
Bangsa ini ibarat kapal besar yang dihantam badai. Di tengah teriakan massa, di tengah bara api yang membesar, kita dihadapkan pada ujian sejarah: apakah kapal ini akan karam, ataukah selamat berlabuh.
Dalam situasi genting ini, mempertegas dukungan pada Presiden Prabowo bukan sekadar pilihan politik. Ia juga pilihan moral.
Ada tiga alasan mendasar:
1. Kapal Besar Butuh Nakhoda yang Tetap
Sebuah bangsa di tengah krisis ibarat kapal besar yang dihantam gelombang samudra. Badai bukan hanya menakutkan karena ombaknya, tetapi juga karena bisa membuat awak kehilangan arah.
Bila di saat genting ini nakhoda diganti, kompas bisa berubah haluan, koordinasi awak pecah, dan kapal kehilangan stabilitas.
Kita sudah melihat contohnya dalam sejarah: negara-negara yang mengganti kepemimpinan di tengah gejolak justru terjerumus ke dalam kekacauan lebih dalam—Libya pasca-2011, Mesir di masa Arab Spring.
Indonesia tak boleh mengulang kesalahan itu.
Prabowo telah berada di kursi kendali, mengenal peta bahaya, dan memahami koordinat tujuan. Dengan mempertahankan nakhoda yang sama, kapal Indonesia masih punya peluang untuk menembus badai.
Kontinuitas bukan sekadar teknis pemerintahan, melainkan syarat moral agar bangsa tidak karam di samudra sejarah.
-000-
2. Ketegasan yang Jadi Energi Psikologis
Dalam situasi di mana rakyat ketakutan, psikologi massa sering lebih menentukan daripada data ekonomi.
Rakyat ingin merasakan kehadiran seorang figur yang tegak berdiri di garis depan. Sebuah bangsa bisa runtuh bukan karena angka defisit, melainkan karena rasa takut yang menyebar lebih cepat daripada api.
Ketegasan seorang pemimpin adalah vaksin psikologis bagi rakyatnya. Prabowo, dengan latar belakang militernya, dengan wajah keras namun jujurnya, memberi pesan sederhana namun kuat: negara ini tidak akan menyerah.
Ketegasan ini menular, membuat aparat berani menjaga ketertiban, membuat rakyat yakin bahwa kapal negara tetap tegak di ombak.
Di tengah kerusuhan, simbol keberanian jauh lebih penting daripada laporan panjang penuh angka. Figur tegas memberi rakyat keyakinan bahwa bangsa ini tidak sedang ditinggalkan.
Ketegasan Prabowo bukan sekadar karakter pribadi; ia adalah energi kolektif yang menyuntikkan rasa percaya di saat keputusasaan mengintai.
-000-
3. Figur Pemersatu di Tengah Luka
Kerusuhan besar selalu lahir dari luka kolektif: ada yang merasa ditinggalkan, ada yang merasa terhimpit, ada yang merasa dipermalukan oleh elit.
Luka ini hanya bisa disembuhkan oleh figur yang memiliki legitimasi moral untuk merangkul semua pihak.
Prabowo berada pada posisi unik: ia pernah jadi oposisi keras, ia pernah merasakan pahitnya kekalahan, dan kini ia memikul tanggung jawab sebagai presiden.
Ia tahu rasanya berada di luar lingkar kekuasaan, sekaligus tahu beratnya memikul amanah ketika berada di dalam.
Pengalaman ganda inilah yang membuatnya bisa menjadi jembatan. Bagi rakyat kecil, ia bukan sekadar presiden, tetapi seseorang yang pernah jatuh bangun bersama mereka.
Bagi elit, ia adalah pemimpin yang kini memegang otoritas sah. Dengan posisi ini, Prabowo dapat mengundang semua pihak masuk ke meja rekonsiliasi.
Dukungan padanya berarti memberi bangsa kesempatan untuk sembuh, agar luka kolektif tidak diwariskan pada generasi berikutnya.
-000-
Apa yang Perlu Ditambahkan dalam Leadership Prabowo?
Namun, mendukung bukan berarti menutup mata. Justru dari kerusuhan ini kita belajar, ada hal-hal yang perlu ditambahkan agar leadership Prabowo lebih kokoh di era baru:
1. Big Spending Government
Krisis sosial tak bisa dipadamkan hanya dengan pidato atau angka statistik. Api di jalanan hanya akan padam jika dapur rakyat kembali berasap.
Big spending government bukanlah pemborosan, melainkan investasi moral: memastikan perut rakyat terisi, anak-anak tetap bersekolah, dan pasar rakyat kembali hidup.
Subsidi tepat sasaran, program padat karya yang menyerap pengangguran, serta proyek infrastruktur yang menyalurkan pekerjaan adalah bentuk nyata negara hadir di rumah-rumah rakyat kecil.
Dalam sejarah Indonesia, kita mengenal program padat karya di era Soeharto yang mampu menahan guncangan sosial.
Di banyak negara, seperti AS saat Roosevelt meluncurkan New Deal, big spending justru menyelamatkan bangsa dari jurang resesi.
Maka, Prabowo perlu mengadopsi strategi serupa—mengubah anggaran negara menjadi energi kehidupan.
Dengan begitu, rakyat tidak lagi melihat negara sebagai mesin birokrasi yang dingin, melainkan sebagai tangan hangat yang menolong mereka berdiri di kala jatuh.
-000-
2. Saluran Alternatif: Telinga Kedua Presiden
Seorang presiden di era modern sering terkepung oleh laporan yang dipoles: kabar buruk dilembutkan, kritik dipotong, hingga suara rakyat terlambat terdengar.
Padahal, di akar rumput, keresahan sudah lama bergemuruh.
Maka, Prabowo memerlukan telinga kedua: kanal independen yang bebas dari kepentingan birokrasi, berani menyampaikan realitas apa adanya.
Early warning system ini bisa berupa tim lintas disiplin—akademisi, sosiolog, aktivis, bahkan tokoh budaya—yang memantau denyut sosial.
Suara yang paling bisa menggambarkan peta harapan dan kecemasan rakyat adalah lembaga survei yang kredibel.
Presiden SBY dan Presiden Jokowi terbukti banyak terbantu membaca dinamika masyarakat melalui riset berkala lembaga survei.
Dengan cara ini, Presiden bisa membaca tanda-tanda krisis sebelum meledak. Bayangkan jika gejala kerusuhan hari ini sudah tercium sebulan lalu: negara bisa hadir lebih awal, bukan setelah api menjalar.
Telinga kedua ini ibarat radar kapal di tengah badai; tanpa itu, bahaya akan terlihat terlambat.
Prabowo perlu membuka ruang dialog inklusif dengan semua pihak, termasuk kritikus. Dengan melibatkan suara-suara yang selama ini terpinggirkan dalam proses kebijakan, kepemimpinan beliau tak hanya tegas, tetapi juga menjadi cermin keadilan yang menyatukan bangsa di tengah krisis.
Dengan saluran ini, Prabowo tidak hanya menjadi presiden yang merespons krisis, melainkan pemimpin yang mampu mencegah krisis sebelum lahir.
-000-
3. Perlu Eksekutor yang Kuat
Gagasan besar presiden seringkali lahir dengan visi yang indah. Namun rakyat baru benar-benar percaya ketika visi itu menyentuh kehidupan sehari-hari.
Di era Prabowo, banyak inisiatif strategis telah digulirkan—seperti MKG (Makan Gratis untuk Generasi Emas), Koperasi Merah Putih, hingga Sekolah Rakyat di daerah tertinggal.
Semua itu adalah gagasan yang bisa menjadi game changer dalam membangun keadilan sosial. Namun tanpa eksekutor yang kuat, gagasan hanya akan berhenti sebagai slogan.
Di sinilah pentingnya pilot project. Sebelum program besar diluncurkan secara nasional, harus ada percontohan di wilayah terbatas, yang dikawal langsung oleh tim eksekutor tangguh.
Dari pilot project itu bisa dipelajari hambatan di lapangan: apakah distribusi makanan tersendat, apakah koperasi benar-benar memberdayakan anggota, apakah sekolah rakyat mampu menutup kesenjangan pendidikan.
Eksekutor yang kuat bukan sekadar pejabat birokrasi, melainkan problem solver yang turun ke lapangan, mendengar keluhan rakyat, dan segera mencari jalan keluar.
Mereka harus disiplin terhadap target, transparan dalam penggunaan anggaran, serta berani mengambil keputusan cepat.
Jika eksekusi tepat, rakyat tidak hanya mendengar janji, tetapi merasakan perubahan nyata: anak-anak makan bergizi setiap hari, pedagang kecil mendapat akses modal koperasi, dan anak miskin bisa bersekolah tanpa takut putus di tengah jalan.
Hanya dengan kombinasi gagasan besar, pilot project yang matang, dan eksekutor yang tangguh, kepemimpinan Prabowo dapat menjelma dari visi politik menjadi denyut kehidupan rakyat banyak.
-000-
Krisis adalah guru yang keras, tapi juga guru yang jujur. Ia mengingatkan kita bahwa negara bukan sekadar mesin birokrasi, melainkan rumah besar dengan fondasi keadilan dan empati.
Jika dukungan pada Prabowo dipertegas, sekaligus leadershipnya diperkaya dengan big spending yang menyalakan ekonomi rakyat.
Juga perlu telinga kedua sebagai early warning system, dan eksekutor tangguh yang mampu menghidupkan gagasan besar, maka bara kerusuhan hari ini bisa berubah menjadi obor pencerahan bangsa.
Sebagaimana pepatah Jawa berkata: “Satria pinandhita sinisihan wahyu” — pemimpin sejati bukan hanya berani, tetapi juga berhikmat, tahu kapan mendengar, dan peka pada tanda zaman.
Indonesia akan menemukan dirinya kembali: bukan sebagai bangsa yang runtuh oleh api, melainkan sebagai bangsa yang ditempa oleh api untuk menjadi lebih kuat.***
Oleh: Denny JA