Anugerah Pahlawan Nasional 2025: Antara Pengakuan, Kontroversi, dan Isyarat Rekonsiliasi Nasional

| Selasa, 11 November 2025 | 02.25 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November selalu menjadi saat yang penuh makna bagi bangsa Indonesia. Namun, pada tahun 2025, suasana tersebut terasa berbeda.


Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh lintas zaman dan latar belakang, dalam sebuah upacara kenegaraan di Istana Negara yang sarat pesan politik dan moral.

Nama-nama penerimanya beragam—dari ulama, presiden, jenderal, sultan, hingga aktivis buruh. Keputusan ini segera memantik perbincangan publik: sebagian menyebutnya sebagai langkah berani untuk mengoreksi sejarah, namun sebagian lain menilainya sebagai langkah kontroversial yang menabrak batas memori kolektif bangsa.

Adigium Sejarah dan Kekuasaan

Ada sebuah adigium klasik yang kembali bergema:

“Sejarah yang benar adalah sejarah yang dimenangkan oleh para penguasa.”

Dalam konteks pemberian gelar Pahlawan Nasional, adagium ini terasa relevan. Sebab, setiap keputusan negara tentang siapa yang layak disebut pahlawan sesungguhnya adalah bentuk tafsir kekuasaan terhadap sejarah.

Pemerintah tampaknya ingin menyampaikan pesan bahwa sejarah Indonesia tidak lagi bisa dilihat secara hitam-putih. Bahwa setiap tokoh, betapapun kontroversialnya, memiliki jasa dan peran dalam perjalanan bangsa. Namun di balik itu, publik juga membaca adanya dimensi politik rekonsiliasi — sebuah cara halus untuk meneguhkan legitimasi moral kekuasaan melalui pengakuan simbolik terhadap para tokoh dari berbagai spektrum sejarah.

Sepuluh Nama, Sepuluh Narasi Bangsa

Berikut daftar penerima gelar Pahlawan Nasional tahun 2025 berdasarkan Keputusan Presiden No. 116/TK/Tahun 2025:

1. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – tokoh pluralisme, demokrasi, dan kemanusiaan; simbol keberanian moral di tengah tekanan politik.

2. Jenderal Besar H. M. Soeharto – presiden kedua RI; tokoh pembangunan sekaligus figur paling kontroversial dalam sejarah politik modern Indonesia.

3. Marsinah – aktivis buruh perempuan yang gugur memperjuangkan keadilan sosial dan hak-hak pekerja.

4. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja – arsitek konsep “negara kepulauan” yang diakui dalam hukum laut internasional.

5. Hajjah Rahmah El Yunusiyyah – pionir pendidikan Islam modern untuk perempuan, pendiri Diniyah Putri di Padang Panjang.

6. Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo – komandan RPKAD, simbol disiplin dan integritas militer, namun terkait peristiwa berdarah 1965.

7. Sultan Muhammad Salahuddin (Kesultanan Bima) – pejuang pendidikan dan perlawanan terhadap kolonialisme di Nusa Tenggara Barat.

8. Syaikhona Muhammad Kholil (Bangkalan, Madura) – ulama besar guru KH Hasyim Asy’ari, penggerak pendidikan Islam dan kebangsaan.

9. Tuan Rondahaim Saragih (Sumatera Utara) – pemimpin rakyat Simalungun yang menolak penjajahan dan sistem tanam paksa.

10. Zainal Abidin Syah (Sultan Ternate) – tokoh integrasi nasional dari Maluku Utara yang memperjuangkan kedaulatan di kawasan timur Indonesia.

Kontroversi dan Tafsir Ganda atas Kepahlawanan

Pemberian gelar ini tidak datang tanpa polemik.

Nama-nama seperti Soeharto dan Sarwo Edhie mengingatkan publik pada sisi kelam masa lalu, sementara Marsinah dan Gus Dur justru menjadi simbol perjuangan terhadap ketidakadilan rezim yang pernah berkuasa.

Konstelasi ini menimbulkan ironi yang menarik: negara kini menempatkan para tokoh yang dahulu berseberangan dalam satu barisan penghargaan yang sama.

Apakah ini bentuk keberanian bangsa untuk berdamai dengan masa lalunya? Ataukah justru bentuk kompromi politik yang mengaburkan batas antara pahlawan dan penguasa?

Apapun jawabannya, jelas bahwa tahun 2025 menandai pergeseran besar dalam tafsir kepahlawanan Indonesia—dari sekadar heroisme di medan perang menuju nilai-nilai perjuangan sosial, intelektual, dan kemanusiaan.

Rekonsiliasi Nasional: Dari Ingatan ke Kesadaran

Jika dibaca secara mendalam, kebijakan ini mencerminkan isyarat rekonsiliasi nasional.
Negara tampaknya ingin mengajak rakyat untuk menatap masa depan dengan lebih jernih tanpa terus-menerus terjebak dalam trauma masa lalu.

Pemberian gelar kepada Soeharto dan Marsinah secara bersamaan bisa dibaca sebagai simbol paling kuat dari upaya itu. Dua sosok dari sisi sejarah yang bertolak belakang kini diakui dalam satu nafas kebangsaan yang sama.
Inilah pertemuan simbolik antara “kekuasaan dan perlawanan”, antara “negara dan rakyat”, dalam bingkai persatuan nasional yang lebih dewasa.

Namun, rekonsiliasi sejati tak cukup berhenti pada seremoni dan simbol. Ia membutuhkan kejujuran sejarah dan keberanian moral untuk mengakui kesalahan, serta menegakkan keadilan bagi para korban masa lalu.

Belajar dari Masa Lalu, Menyatu untuk Masa Depan

Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menutup luka sejarahnya, melainkan yang berani memandangnya dengan jujur dan terbuka.

Gelar Pahlawan Nasional seharusnya bukan sekadar penghargaan, tetapi juga pengingat moral tentang nilai pengorbanan, keberanian, dan integritas—nilai-nilai yang kini semakin langka di tengah praktik kekuasaan yang pragmatis.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya,”
kata Bung Karno.
Tapi bangsa yang bijak adalah bangsa yang belajar dari seluruh pahlawannya—
tanpa memilih hanya yang sesuai dengan selera penguasa.

Anugerah Pahlawan Nasional tahun 2025 menjadi penanda penting dalam perjalanan kebangsaan kita:
bahwa Indonesia kini sedang berusaha membangun sejarah yang lebih inklusif dan rekonsiliatif.
Namun, di balik gemerlap upacara kenegaraan itu, terselip tanggung jawab moral yang lebih besar: membangun bangsa yang jujur terhadap sejarahnya sendiri.

Sebab, kepahlawanan sejati bukanlah tentang dikenang, tetapi tentang memberi teladan dan keberanian moral untuk memperjuangkan kebenaran, meski tak selalu populer.

Oleh: Ariady Achmad 

Jurnalis & Pemerhati Sosial Politik 


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI