Efektivitas Hukum Lingkungan dalam Pengendalian Bencana Ekologi

| Kamis, 04 Desember 2025 | 11.02 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Indonesia merupakan salah satu negara paling kaya sumber daya alam. Namun juga paling rentan bencana ekologis. 


Kebakaran hutan - gambut terus berulang. Banjir bandang di kawasan deforestasi. Longsor menghancurkan permukiman daerah perbukitan. Pencemaran sungai oleh aktivitas industri. Semua menunjukkan kerangka hukum lingkungan belum mampu membendung laju kerusakan. 

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberi payung hukum cukup lengkap. Namun keberadaannya belum signifikan mencegah bencana. 

Kerusakan lingkungan meningkat dari tahun ke tahun. Terakhir mendapat konfirmasi tragis melalui bencana banjir dan longsor di pulau Sumatra. Akhir November – Desember 2025. Data terbaru BNPB: korban meninggal 604 jiwa, 464 orang hilang, 2.600 orang luka-luka. Menyasar 1,5 juta penduduk. Sebanyak 570 ribu orang mengungsi. Infrastruktur rusak parah: sekitar 3.500 rumah rusak berat. Ribuan rumah rusak sedang atau ringan. Ratusan jembatan putus dan fasilitas pendidikan terancam. 

Data ini menunjukkan meskipun ada regulasi, ketika bencana datang—kombinasi hujan ekstrem-longsor—kerusakan dan korban sangat besar. Para peneliti hidrologi menunjukkan faktor utama bukan anomali cuaca. Tetapi degradasi hulu DAS akibat deforestasi masif dan alih fungsi lahan. 

Masalah mendasarnya pada kesenjangan antara hukum tertulis dan praktik penegakannya. Teori efektivitas hukum, seperti dikembangkan Tom R. Tyler, menjelaskan:  hukum efektif bila dipandang memiliki legitimasi, keadilan, dan konsistensi. Ketika hukum dianggap tegas pada masyarakat kecil namun lemah terhadap korporasi dan elite maka kepatuhan publik menurun. 

Pada tingkat regulasi, hukum lingkungan kerap memuat celah dan multitafsir. Proses AMDAL sering dianggap formalitas pengesahan proyek. Bukan instrumen analisis risiko ekologis yang sesungguhnya.  

Banyak kawasan sensitif seperti gambut dalam, hutan primer, maupun kawasan hulu DAS tetap diberi izin eksploitasi. Meskipun secara ilmiah sangat rentan kerusakan. Deforestasi masih berlangsung. Walaupun menggerus jutaan hektar hutan selama dua dekade terakhir.

Kerusakan ekologi bukanlah insiden alamiah. Melainkan buah keputusan regulatif yang membuka ruang eksploitasi tanpa kendali. Teori regulasi dan _*“regulatory capture,”*_ sebagaimana dikemukakan George J. Stigler, menjelaskan regulasi bisa diarahkan melayani kepentingan modal ketimbang publik.

Regulasi hanya satu sisi persoalan. Penegakan hukum lingkungan menghadapi tantangan serius dalam hal profesionalisme aparat. Penyidikan kasus lingkungan jauh lebih kompleks dibanding kasus pidana biasa. Membutuhkan keahlian teknis tentang ekologi, hidrologi, dan analisis forensik lingkungan. 

Aparat penegak hukum tidak dibekali kemampuan tersebut sulit membuktikan pelanggaran secara ilmiah. Di sisi lain, kasus-kasus besar sering kali terhambat karena pengaruh politik dan ekonomi. 

Fenomena _*regulatory capture*_ tampak nyata ketika lembaga pemerintah yang seharusnya mengawasi justru bergerak seiring kepentingan pelaku usaha. Beberapa kasus pencemaran industri, perusakan hutan, dan pelanggaran izin tambang menunjukkan kesamaan pola: perusahaan besar sering lolos dengan sanksi minimal. Sementara masyarakat lokal dan korban lingkungan menanggung dampaknya. 

Keterbatasan sarana dan prasarana memperburuk keadaan. Jumlah penyidik PPNS lingkungan sangat tidak sebanding dengan luas kawasan yang harus diawasi. Teknologi pemantauan pun jauh tertinggal; pengawasan hutan, tambang, atau kawasan rawan longsor masih banyak dilakukan secara manual. 

Padahal kerusakan ekologis dan risiko bencana memerlukan deteksi dini berdasarkan data ilmiah. Seperti citra satelit, drone, sensor kualitas air/udara, dan sistem peringatan dini. Akibatnya, kerusakan sering baru terdeteksi ketika sudah mencapai skala bencana. 

Efektivitas hukum juga ditentukan tingkat kesadaran masyarakat dan perilaku elite. Masyarakat lokal sering kali kurang informasi mengenai status izin, peta konsesi, atau data kualitas lingkungan. Sehingga tidak mampu menjalankan kontrol sosial. 

Sementara itu, kelompok elite — baik politisi maupun korporasi besar — memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah kebijakan lingkungan. Ketika keuntungan ekonomi jangka pendek lebih dominan daripada keselamatan ekologis jangka panjang, hukum lingkungan kehilangan daya cengkeramnya. 

Contoh paling nyata bagaimana beberapa daerah sangat bergantung pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor tambang dan Perkebunan. Pemerintah lokal enggan menindak pelanggaran karena khawatir menggangu pemasukan.

Solusinya tidak bisa hanya berfokus pada pengetatan peraturan. Diperlukan reformasi komprehensif. Menyentuh aspek kelembagaan, teknologi, dan tata kelola politik. Terutama di daerah rentan seperti Sumatra. 

Peraturan perlu diperbaiki dengan menetapkan standar baku kerusakan lingkungan yang jelas dan tidak multitafsir. Menerapkan sistem perizinan berbasis kinerja _*(performance-based licensing)*_. Moratorium izin di kawasan yang secara ilmiah terbukti rawan bencana (hulu DAS, lahan gambut, lereng curam). 

Aparat penegak hukum harus diperkuat melalui pendidikan dan sertifikasi lingkungan. Pembentukan unit khusus yang independen. Penggunaan bukti ilmiah dan teknologi modern seperti citra satelit dan forensik lingkungan untuk mendeteksi pelanggaran. Sistem pengawasan harus dimodernisasi, dengan sensor dan pemetaan digital _*real-time*_ agar peringatan dini dan intervensi cepat bisa dilakukan.

Seluruh informasi lingkungan — seperti peta konsesi, status izin, data pemantauan kualitas lingkungan — harus dibuka secara transparan. Agar masyarakat dapat ikut serta dalam pengawasan dan kontrol sosial. Pada aspek sosial-politik, dibutuhkan keberanian menindak pelanggaran tanpa pandang bulu. Termasuk terhadap perusahaan besar dan pejabat berpengaruh. 

Penindakan tegas terhadap aktor besar akan memulihkan legitimasi hukum di mata masyarakat dan meningkatkan kepatuhan sukarela _*(voluntary compliance)*_. Pemerintah perlu mengembangkan skema insentif ekonomi yang mendorong masyarakat dan pelaku usaha untuk menerapkan praktik ramah lingkungan. Misalnya melalui pembayaran jasa lingkungan, pendanaan restorasi, atau insentif fiscal bagi usaha ramah lingkungan.

Efektivitas hukum lingkungan bergantung pada lebih dari sekadar keberadaan undang-undang. Ia bergantung pada konsistensi, integritas, ilmu pengetahuan, kapasitas institusional, dan komitmen politik. Tanpa perubahan mendasar pada cara kita membuat, menegakkan, dan mematuhi hukum, bencana ekologis akan terus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. 

Hukum hanya akan efektif ketika ia menjadi perangkat yang hidup. Didukung institusi kuat, masyarakat sadar, dan negara yang benar-benar menempatkan keselamatan ekologis sebagai prioritas pembangunan. Jika tidak, tragedi seperti di Sumatra 2025 akan terus terulang, dalam siklus yang sulit diputus.

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI