Bernasindonesia.com - Dalam percaturan geopolitik kontemporer, Indonesia menempati posisi sangat khas. Sekaligus rawan.
Sejak awal berdirinya ASEAN pada 1967, Indonesia dianggap sebagai _*natural leader*_ kawasan. Namun kepemimpinan ini tidak otomatis menjadikan Indonesia berada dalam zona aman.
Secara geografis dan politik, Indonesia justru dikelilingi negara-negara yang memiliki orientasi strategis berbeda-beda. Bahkan terkadang berseberangan.
Malaysia, Singapura, dan Brunei masih memiliki kedekatan historis dengan Inggris dan Amerika Serikat karena konteks Persemakmuran. Papua Nugini jelas berada dalam orbit Australia. Timor Leste memiliki ikatan kuat dengan Portugal.
Sementara negara-negara ASEAN lain terbelah dalam preferensi geopolitik: Vietnam dan Singapura lebih condong ke Barat. Kamboja dan Laos dekat dengan Tiongkok.
Myanmar menjalin hubungan intensif dengan Rusia. Thailand memainkan diplomasi yang sangat cair.
Dalam teori geopolitik klasik, posisi Indonesia ini sangat mirip dengan konsep *Rimland Nicholas Spykman*. Ialah wilayah pesisir dan kepulauan yang menjadi arena pertarungan pengaruh kekuatan besar. Kawasan yang berada dalam Rimland, dapat dengan mudah berubah menjadi titik tekan geopolitik _*(pressure points)*_.
Dengan kata lain, Indonesia tidak dikelilingi musuh. Tetapi ia hidup di lingkungan strategis yang tidak bisa diasumsikan sepenuhnya selaras dengan kepentingannya. Setiap perubahan orientasi politik di negara-negara sekitar dapat membuka pintu bagi kekuatan besar untuk memproyeksikan pengaruhnya ke wilayah yang bersentuhan langsung dengan kepentingan Indonesia.
Ketika tekanan eksternal muncul melalui negara tetangga, Indonesia bisa mengalami kerentanan strategis. Bisa saja tidak dapat diatasi hanya dengan diplomasi formal atau kekuatan ekonomi semata.
Namun, ketika dinamika geopolitik di tingkat negara tampak kompleks dan tidak selalu menguntungkan, Indonesia justru memiliki satu keunggulan yang jarang diperhitungkan. Ialah sumber daya masyarakat sipil—khususnya komunitas Muslim.
Sebanyak 240 juta Muslim (86,7% dari populasi), Indonesia bukan hanya negara Muslim terbesar di ASEAN. Tetapi juga di dunia. Modal demografis ini bukan hanya kuantitas, tetapi juga kualitas. Karena Islam di Indonesia berkembang dalam tradisi moderat, inklusif, dan akomodatif budaya. Sering disebut *Islam Nusantara*.
Kekuatan ini tidak dimiliki oleh negara ASEAN lain dengan dimensi sosial yang sebanding. Dalam konteks ini, Islam Nusantara adalah aset geopolitik. Ia memiliki _*soft power*_ alami sebagaimana dipahami Joseph Nye. Ialah kemampuan mempengaruhi melalui daya tarik budaya, nilai, dan legitimasi moral, bukan mealalui paksaan militer atau ekonomi.
Di mata komunitas Muslim di Asia Tenggara dan Pasifik, Indonesia dipandang sebagai pusat rujukan Islam non-ekstrem, non-kekerasan, dan berbasis masyarakat. Legitimasinya bukan hasil propaganda negara. Tetapi lahir dari sejarah panjang pesantren, ulama lokal, dan institusi Islam mandiri.
Sering terlupakan bahwa di sekitar Indonesia terdapat sejumlah kantong-kantong komunitas Muslim yang secara historis, budaya, atau identitas terhubung dengan Nusantara. Data menunjukkan signifikansi mereka.
Bangsamoro (Filipina Selatan) berpenduduk sekitar 7,1 juta Muslim (sensus 2020). Menjadikannya wilayah Muslim terbesar di Filipina. Patani–Yala–Narathiwat (Thailand Selatan) memiliki mayoritas Muslim. Pattani ± 80% Muslim. Yala ± 68–70% Muslim. Narathiwat ± 82% Muslim. Secara nasional, jumlah Muslim Thailand mencapai sekitar 5–7 juta, (sekitar 7–12% populasi).
Cham Muslims di Kamboja dan Vietnam berjumlah sekitar 500–700 ribu orang, dengan konsentrasi budaya Islam yang kuat. Timor Leste memiliki komunitas Muslim kecil (sekitar 0,03–0,1%), tetapi sejarah migrasi dan hubungan sosial dengan Nusantara cukup panjang.
Papua Nugini memiliki komunitas Muslim yang sedang berkembang, diperkirakan 5–10 ribu orang, sebagian besar adalah mualaf dalam 20 tahun terakhir. Australia memiliki komunitas Muslim lebih besar, sekitar 600 ribu jiwa. Diaspora Indonesia yang semakin signifikan.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa komunitas Muslim di sekitar Indonesia bukanlah entitas kecil yang pasif. Mereka adalah simpul-simpul sosial yang dapat menjadi jembatan antara masyarakat Indonesia dan negara-negara tempat mereka berada.
Jika hubungan kultural, pendidikan, dan kemasyarakatan dibangun secara konsisten, Indonesia memperoleh jejaring strategis yang tidak dapat dibangun melalui perjanjian diplomatik formal. Diplomasi masyarakat-ke-masyarakat _*(Track II Diplomacy)*_ yang dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti NU, Muhammadiyah, dan jaringan pesantren memiliki kekuatan meredakan ketegangan dan membangun kepercayaan di kawasan.
Mereka (NU-Muhammadiyah-Pesantren Indonesia) dapat membuka sekolah, menyediakan beasiswa, mengirim relawan kesehatan, melakukan dialog lintas agama, atau membantu penguatan kapasitas komunitas. Semua itu membuat Indonesia hadir tanpa mencederai kedaulatan negara lain.
Manfaat geopolitik dari pendekatan ini sangat besar.
_Pertama,_ ia menciptakan jaringan sosial lintas batas yang loyal secara kultural kepada Indonesia. _Kedua,_ ia mengurangi potensi negara tetangga diperalat kekuatan besar untuk menekan Indonesia.
_Ketiga,_ ia memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat Islam moderat dunia. _Keempat,_ ia mendukung stabilitas jangka panjang kawasan tanpa biaya tinggi seperti modernisasi militer.
_Kelima,_ ia selaras dengan teori _*Complex Interdependence"_ Keohane dan Nye. Semakin banyak hubungan antar masyarakat, semakin kecil potensi konflik antarnegara.
Islam Nusantara bukan hanya identitas lokal, tetapi instrumen strategis stabilitas kawasan. Indonesia memiliki peluang untuk mengubah identitas kultural menjadi kekuatan geopolitik damai yang efektif.
Di tengah rivalitas global antara AS, Tiongkok, dan Rusia, pendekatan _*soft power*_ berbasis Islam Nusantara adalah modal yang hanya Indonesia miliki. Justru inilah yang dapat membuat Indonesia bukan hanya bertahan, tetapi memimpin kawasan.
Bukan hanya kawasan regional. _*Soft power*_ Islam Nusantara juga bisa dibentangkan di kawasan-kawasan muslim lain di berbagai belahan dunia. Khususnya di komunitas muslim minritas.
Oleh: Abdul Rohman Sukardi

