Paradoks: Haji di Cerca, Belanja Wisata di Puja

| Jumat, 26 Desember 2025 | 06.02 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Berulang kali muncul tudingan ibadah haji dan umrah hanya menguntungkan Arab Saudi. Sekaligus merugikan bangsa Indonesia. Dianggap menyebabkan devisa lari ke luar negeri.


Pandangan semacam ini terdengar sederhana. Tetapi sesungguhnya problematik. Baik secara keimanan, logika ekonomi, maupun konsistensi berpikir. Tudingan itu bukan hanya mengabaikan data. Melainkan menutup mata terhadap realitas ekonomi Indonesia sendiri dan bahkan sarat paradoks.

Haji merupakan persoalan iman. Dalam ajaran Islam, haji merupakan rukun Islam kelima. Wajib ditunaikan bagi mereka yang mampu secara fisik dan finansial.

Negara tidak berada dalam posisi menilai—apalagi menghalangi—niat ibadah warganya selama dilakukan secara sah.

Dalam kerangka negara-bangsa modern, berhaji adalah hak warga negara. Sama halnya dengan hak bepergian ke luar negeri untuk pendidikan, bisnis, atau wisata.

Menggugat haji semata-mata dengan alasan ekonomi menafikan dimensi spiritual yang menjadi dasar keberangkatan jutaan umat Islam. Berpotensi berbenturan dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin konstitusi.

Menariknya, bahkan jika diskusi diturunkan sepenuhnya ke ranah ekonomi, anggapan haji merugikan Indonesia tidak berpijak pada fondasi kokoh. Karena ibadah haji dan umrah dalam banyak aspek nyata-nyata menggerakkan ekonomi nasional.

Sebelum seseorang berangkat haji, terdapat proses panjang. Biaya haji tidak datang dari ruang hampa. Melainkan akumulasi kerja keras bertahun-tahun. Banyak calon jamaah termotivasi bekerja lebih giat, berusaha lebih tekun, menabung secara disiplin. Bahkan membangun usaha demi mencapai kemampuan finansial untuk berhaji.

Motivasi ekonomi berbasis tujuan spiritual ini menciptakan etos kerja, budaya menabung, serta perputaran uang di dalam negeri. Setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) saat ini berkisar Rp25 juta per jamaah. Dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Hingga beberapa tahun terakhir, dana kelolaan haji tercatat lebih Rp160 triliun. Dana itu ditempatkan pada instrumen keuangan domestik: Surat Berharga Negara, perbankan syariah, investasi langsung.  Jauh sebelum jamaah menginjakkan kaki di Tanah Suci, dana haji terlebih dulu menjadi sumber pembiayaan pembangunan nasional dan penopang stabilitas fiskal negara.

Pada tahap penyelenggaraan, dampak ekonomi semakin nyata. Indonesia setiap tahun memiliki kuota haji lebih 220 ribu jamaah. Terbesar di dunia. Angka ini belum termasuk haji khusus dan jutaan jamaah umrah yang berangkat sepanjang tahun.

Penyelenggaraan haji dan umrah melibatkan rantai ekonomi panjang di dalam negeri. Mulai maskapai penerbangan, katering, penyedia perlengkapan haji, transportasi darat, hotel embarkasi, asuransi, perbankan, hingga ribuan tenaga kerja.

Maskapai nasional seperti Garuda Indonesia memperoleh kontrak strategis dalam pengangkutan jamaah haji. Setiap musim haji, ratusan ribu kursi penerbangan terisi jamaah, menghasilkan pemasukan signifikan. Membantu menjaga keberlangsungan industri penerbangan nasional.

Industri UMKM pun terlibat luas. Produksi kain ihram, koper, tas, mukena, hingga jasa manasik dan pelatihan—. Seluruhnya berputar di dalam negeri.

Dari sisi valuasi, belanja haji reguler per jamaah berkisar Rp90–100 juta. Dengan kuota lebih dari 220 ribu jamaah per tahun, total belanja haji reguler Indonesia dalam satu musim haji berada pada kisaran Rp19,8 hingga Rp22 triliun per tahun.

Angka ini mencerminkan omzet tahunan ekosistem haji Indonesia, yang sebagian besar berputar di dalam negeri. Melalui pembiayaan penerbangan, layanan embarkasi, katering, perlengkapan, jasa travel, perbankan, dan tenaga kerja.

Sementara itu, umrah rata-rata menelan biaya Rp25–35 juta per orang. Dengan jumlah jamaah umrah Indonesia sebelum pandemi sekitar 1,3 hingga 1,5 juta orang per tahun, nilai ekonomi umrah saja dapat mencapai sekitar Rp32,5 hingga Rp52,5 triliun per tahun. Sebagian dibelanjakan di Arab Saudi, tetapi porsi sangat besar justru terserap di dalam negeri. Mulai dari biaya administrasi, penerbangan, akomodasi domestik, perlengkapan, hingga jasa travel dan tenaga kerja.

Jika digabungkan, total nilai ekonomi haji dan umrah Indonesia dalam kondisi normal dapat dengan mudah melampaui Rp50 hingga Rp70 triliun per tahun. Menjadikan salah satu sektor jasa berbasis keagamaan terbesar dalam perekonomian nasional.

Soal uang dibelanjakan di Arab Saudi, perlu ditempatkan dalam konteks secara adil. Arab Saudi tentu memperoleh manfaat ekonomi dari penyelenggaraan haji dan umrah. Namun menyimpulkan Indonesia dirugikan adalah lompatan logika. Dalam ekonomi global, arus keluar-masuk devisa merupakan keniscayaan. Pertanyaan kuncinya: untuk apa, dalam konteks apa, dan dibandingkan dengan aktivitas ekonomi yang mana.

Paradoks para pencerca terlihat jelas. Berdasarkan data BPS dan Kementerian Pariwisata, jumlah perjalanan wisatawan Indonesia ke luar negeri dalam kondisi normal mencapai 8 hingga 11 juta perjalanan per tahun. Pengeluaran wisatawan Indonesia di luar negeri diperkirakan mencapai lebih dari 11 - 15 miliar dolar AS per tahun. Jika dikonversi ke rupiah setara Rp165 hingga Rp225 triliun.

Singapura, Jepang, Korea Selatan, Eropa, dan Amerika Serikat menjadi penerima manfaat utama dari belanja wisatawan Indonesia. Baik untuk belanja, hiburan, maupun konsumsi. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan total belanja jamaah haji dan umrah.

Atas fakta itu, hampir tidak pernah terdengar kritik moral atau nasionalistik terhadap fenomena itu. Tidak ada yang menuding para wisatawan itu merugikan bangsa. Padahal motif perjalanan mereka sepenuhnya konsumtif dan tidak memiliki dimensi spiritual.

Ketika konteksnya haji—sebuah ibadah—barulah muncul tudingan keras tentang “uang lari ke luar negeri”. Jika logika devisa digunakan secara konsisten, kritik semestinya lebih dahulu diarahkan pada gaya hidup wisata luar negeri. Bukan pada ibadah yang merupakan hak konstitusional warga negara.

Ibadah haji juga membawa manfaat sosial-ekonomi jangka panjang. Tetapi luput dari perhitungan makro. Jamaah haji kembali ke Tanah Air sering kali mengalami perubahan sikap. Peningkatan etos kerja, serta kepedulian sosial.

Tidak sedikit kemudian lebih aktif dalam kegiatan filantropi, pendidikan, dan penguatan ekonomi umat. Peningkatan zakat, infak, dan sedekah pasca-haji turut berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dan penguatan ekonomi lokal. Dampak ini tidak tercatat langsung dalam neraca pembayaran. Tetapi nyata dalam denyut kehidupan sosial masyarakat.

Menyederhanakan ibadah haji sebagai aktivitas hanya menguntungkan Arab Saudi dan merugikan Indonesia adalah cara pandang sempit. Ia mengingkari data ekonomi, mengabaikan konteks global, dan tidak konsisten jika dibandingkan dengan sikap terhadap aktivitas warga negara lain yang justru menyedot devisa jauh lebih besar ke luar negeri. Pandangan semacam ini, sadar atau tidak, sering kali lebih mencerminkan bias dan fobia daripada kepedulian tulus terhadap kepentingan bangsa.

Haji pada akhirnya adalah ibadah. Ia juga realitas sosial dan ekonomi yang kompleks. Bagi Indonesia, haji bukan beban, melainkan bagian dinamika ekonomi nasional. Menggerakkan kerja, tabungan, industri, dan layanan di dalam negeri.

Mencercanya tanpa data dan tanpa konsistensi bukan hanya keliru. Tidak adil bagi jutaan warga negara yang menunaikannya sebagai panggilan iman. Sekaligus bagian dari kontribusi mereka terhadap kehidupan ekonomi bangsa.

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI
 
BERNASINDONESIA.COM - ALL RIGHTS RESERVED